Sabtu, 27 Agustus 2016

The Adventures of Priscilla, Queen of the Desert


Tahun rilis: 1994
Sutradara: Stephan Elliott
Bintang: Hugo Weaving, Guy Pearce, Terrence Stamp
My rate: 4/5

Setelah menulis soal peran lama Lee Pace sebagai si cantik Calpernia Addams, kali ini saya ingin mengulas film alumni The Hobbit lainnya, yaitu Lord Elrond alias Hugo Weaving dalam The Adventures of Priscilla, Queen of the Desert. Film ini rilis 7 tahun sebelum LOTR: The Fellowship of the Ring, tetapi karena saya menonton Priscilla setelah menonton semua film LOTR, kesannya jadi kuat sekali karena Lord Elrond yang saya kenal mendadak tampil dalam balutan gaun berkilau, korset, sepatu hak tinggi, wig, dandanan tebal, dan tak lupa dansa sambil lipsync menyanyikan lagu-lagu ABBA. 

Film ini mengisahkan tiga penampil pertunjukan drag queen di sebuah klub malam di Sydney: Mitzi alias Anthony Belrose (Hugo Weaving), Bernadette (Guy Pearce), dan Felicia alias Adam (Terrence Stamp). Mitzi dan Felicia adalah penampil yang terbilang sangat sukses di kelab tersebut dengan pertunjukan drag queen andalan mereka. Sementara itu, Bernadette yang paling tua di antara mereka adalah mantan penampil serta transpuan. Suatu hari, Mitzi menerima telepon dari seorang wanita pengelola hotel bernama Marion, yang mengundang grupnya untuk melakukan pertunjukan di hotelnya. Ketiganya menempuh perjalanan jauh dengan bus yang dimodifikasi dan dinamai Priscilla dari Sydney ke hotel di Alice Spring, kota terpencil di Australia Tengah, dan film ini berfokus pada petualangan mereka di perjalanan.

Ketiga karakter ini memiliki 'masalah' mereka masing-masing. Mitzi menyimpan rahasia soal kehidupan pribadinya di masa lalu yang berkaitan dengan Marion; Bernadette baru saja ditinggal mati kekasihnya akibat suatu kecelakaan aneh di kamar mandi, padahal ia sudah menghabiskan tabungannya untuk operasi kelamin demi kekasihnya itu. Felicia, yang paling muda, santai dan nampak paling serampangan, punya keinginan yang nampak sederhana yaitu berdiri di puncak berbatu King's Canyon sambil mengenakan kostum drag queen lengkap dan sepatu hak tinggi, namun pada akhirnya ia juga berhadapan dengan suatu kejadian yang cukup mengguncangnya selama perjalanan mereka.

Selama perjalanan ini, ketiganya mengalami berbagai petualangan dan bertemu dengan beragam karakter, termasuk sekelompok orang Aborigin, pemilik bar dan penduduk kota kecil yang homofobik, wanita Asia penampil bar yang nyentrik, montir baik hati yang naksir Bernadette, hingga tentu saja Marion sendiri. Pada akhirnya, ketika mereka mengakhiri perjalanan dan tiba di Alice Springs untuk tampil, mereka harus mengalami beberapa kejadian lagi sebelum akhirnya mulai pelan-pelan membereskan semua masalah hidup mereka.

Film ini kalau saya bilang seperti gabungan antara road movie dan outcast movie (film yang mengisahkan karakter yang di kehidupan sehari-hari sering diremehkan, diabaikan, atau diejek). Sutradara Stephan Elliott memang sengaja mengusung tema LGBT yang saat itu belum populer di dunia perfilman Australia. Selain mendapat berbagai penghargaan sinematik, film ini juga dipuji karena mengusung tema LGBT dalam cara yang positif. 

Kesan pertama yang saya tangkap sepanjang menonton film ini adalah: quirky! Mungkin karena kostum-kostum yang berwarna-warni, adegan-adegan yang berkesan absurd seperti adegan ikonik Felicia berdandan lengkap dan duduk di atas 'kursi' berbentuk sepatu hak tinggi yang dipasang di atas bus yang melaju sambil lipsync menyanyikan lagu opera, serta beberapa adegan flashback-nya yang sedikit berkesan surealis. Akan tetapi, film ini tetap mengalir seperti sebuah drama komedi yang enak diikuti, dan setiap karakternya punya keunikan tersendiri. Tema quirky ini juga nampak pada film-film Australia sejenis seperti Muriel's Wedding dan Strictly Ballroom (dua-duanya pun bagus). Dan...film ini entah kenapa membuat saya tiba-tiba jadi kepingin menumpuk lagu-lagu ABBA di playlist laptop saya. Lagu-lagu grup pop tahun 70-an ini memang cukup banyak ditampilkan di film ini.

Film ini bukan tipe film penceramah, tapi ada banyak adegan yang walau nampak remeh, singkat atau absurd, namun menyampaikan beberapa pesan yang sangat dalam. Misalnya, setelah bersenang-senang di sebuah bar kota kecil dan hendak melanjutkan perjalanan keesokan harinya, mereka melihat bus mereka dicoreti kata-kata "AIDS fuckers go home" oleh homofobik setempat. Mereka melanjutkan perjalanan dengan ketenangan penuh harga diri, sebelum Felicia mampir di sebuah toko kecil dan membeli sekaleng besar cat pink untuk mengecat ulang seluruh bagian bus tersebut.

Adegan ini sangat kontras dengan adegan ketika mereka bertemu rombongan orang Aborigin yang sedang berkemah di tengah gurun. Awalnya, Mitzi, Bernadette dan Felicia yang jelas-jelas sangat 'putih' itu dipandang dengan asing (ingat sejarah panjang penindasan orang Aborigin di tangan pendatang kulit putih; bahkan hingga kini, orang Aborigin masih banyak yang berusaha memperjuangkan hak-hak mereka). Akan tetapi, begitu ketiga tamu asing ini ikut bernyanyi dan menari setelah sebelumnya berdandan dulu, orang-orang Aborigin ini justru sangat menerima mereka, dan semuanya bersenang-senang sampai pagi. Saat nonton adegan ini, kesannya ceria tapi diam-diam nyesek: saya pikir, inilah dia, mereka yang dianggap outcast bersenang-senang bersama.

Intinya, sebagai sebuah drama komedi, film ini punya segalanya: karakter dan cerita yang menarik, alur yang asyik diikuti, kostum dan musik yang asyik, dialog yang lucu dan cerdas, dan tentu saja...kesenangan ketika saya akhirnya bisa melihat Lord Elrond dalam kostum dugem malam Sabtunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?