Sabtu, 29 Desember 2018

Review: Nobody Knows


Tahun rilis: 2004
Sutradara: Hirokazu Kore-eda
Bintang: Yūya Yagira, Ayu Kitaura, Hiei Kimura, Momoko Shimizu, You, Hanae Kan
My rate: 5/5

Jika ditanya siapa sutradara Jepang paling legendaris, kebanyakan orang akan spontan menyebut Akira Kurosawa. Tetapi, jika ditanya siapa sutradara Jepang legendaris yang masih hidup, saya akan dengan cepat menyebut Hirokazu Kore-eda. Master dalam menganyam potret adegan kecil kehidupan untuk menceritakan narasi besar secara puitis, Kore-eda mampu menjadikan film bertema serius bahkan tragis menjadi tontonan yang indah dan membius, tanpa memanipulasi emosi. Bahkan jika tema film tersebut adalah "anak-anak yang diabaikan oleh ibu mereka".

Nobody Knows (Dare mo Shiranai) memotret rutinitas empat anak bernama Akira, Kyoko, Shigeru, dan Yuki, yang dibawa ibu mereka hidup berpindah-pindah. Dari keempat anak ini, hanya Akira yang diperkenalkan pada penghuni apartemen atau pemilik bangunan, sementara tiga anak lainnya "diselundupkan" agar tidak terlihat penghuni lain. Keempat anak yang berbeda ayah ini tidak diizinkan sekolah atau bermain di luar, dan sang ibu sering meninggalkan rumah untuk bekerja.

Walau menjalani kehidupan tertutup, Akira dan saudara-saudaranya digambarkan saling menyayangi, dan bahkan menemukan kebahagiaan kecil dalam rutinitas harian mereka. Masalah mulai timbul ketika sang ibu tidak lagi kembali ke rumah, dan keempat anak tersebut harus bertahan hidup sendiri sementara uang yang ditinggalkan untuk mereka semakin menipis.

Nobody Knows terinspirasi dari kisah nyata, yaitu kasus pengabaian anak di Sugamo, Tokyo, yang terjadi pada tahun 1988. Dalam kasus tersebut, polisi yang bertindak atas laporan warga menemukan tiga anak yang terkurung di sebuah rumah dalam keadaan lemah dan kelaparan, bersama mayat salah satu saudara mereka yang meninggal kelaparan (ada satu anak lagi yang tidak ditemukan). Nuansa tragis kasus tersebut (yang rupanya merupakan masalah cukup serius di Jepang) jelas mengundang kontroversi dan berbagai spekulasi, walau sang ibu yang bertanggung jawab sudah ditangkap. Akan tetapi, Kore-eda tidak berminat untuk mengulik sisi sensasional dari kasus ini.

Kore-eda memiliki pertanyaan unik: dalam hari-hari selama masa pengabaian tersebut, ketika bermain ke luar rumah saja terlarang, apa yang dilakukan anak-anak tersebut sebagai rutinitas mereka? Bagaimana mereka mengatasi kebosanan atau memilih makanan supermarket merek apa yang akan dimakan berikutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah "kekosongan" yang hadir di dalam berita-berita kriminal (yang biasanya hanya berfokus pada hasil akhir serta riwayat korban/pelaku yang ada hubungannya dengan kasus).

Dengan musik pengiring yang relatif irit (dan bahkan bisa dibilang "ceria" dalam saat-saat tertentu), Kore-eda berfokus pada "pot bunga" dari mi gelas yang berderet di balkon, jemuran yang memenuhi apartemen kecil, pemerah kuku yang tumpah di karpet dan tidak mau hilang walau sudah digosok, kaki yang dipaksa masuk ke sepatu kekecilan (adegan sederhana yang dampaknya setara dengan "cerita pendek" Ernest Hemingway: "Baby shoes. For sale. Never worn"). Bahkan sang ibu, yang di sinetron pasti akan dipotret sebagai wanita bengis dengan mata melotot permanen, tidak terlihat seperti "penjahat", dan bicara dengan nada lebih kekanakan dari anak-anaknya sendiri. Hal-hal ini membaurkan batas antara rutinitas normal di keluarga yang tidak normal dengan kasus kriminal, membuat kita menyadari bahwa inilah alasan begitu mudahnya kasus serupa lewat di depan mata tanpa disadari.

Kore-eda tidak bermain dengan terlalu banyak penjelasan, tetapi dia memasukkan banyak rincian yang mengizinkan imajinasi penonton untuk bermain tanpa kesulitan, misalnya saat Akira menghitung biaya belanja, listrik, air, dan gas di atas buku latihan matematikanya; sesuatu yang menurut saya sangat efektif dalam menegaskan perannya dalam film tersebut tanpa banyak kata. Kore-era juga memanfaatkan keahliannya mengarahkan aktor cilik nonprofesional, menciptakan kesan alami dalam interaksi antar anak-anak beda ayah yang dipaksa membentuk keluarga kecil mereka sendiri akibat persamaan nasib.

Nobody Knows digarap selama setahun, dan Kore-eda memiliki cara unik dalam menggarap filmnya. Dia akan menghabiskan satu musim membuat film di lapangan, lalu menghabiskan beberapa minggu menyunting hasilnya sebelum kembali melakukan syuting pada musim berbeda. Hasilnya adalah kesan alami dalam interaksi para aktor cilik di dalam film tersebut, karena Kore-eda pada dasarnya memotret "perkembangan" mereka selama tinggal bersama (mungkin tidak lepas dari fakta bahwa Kore-eda juga merupakan pembuat film dokumenter).

Sama seperti Shoplifters, Like Father Like Son, After the Storm, dan Still Walking, Kore-eda menggarap Nobody Knows sebagai caranya memandang ulang konsep keluarga tradisional dalam budaya Jepang. Akan tetapi, ini bukan berarti dia membenci konsep keluarga. Sederhananya, menurut Kore-eda, "keluarga itu berharga, tetapi juga merepotkan". Banyak dari kita mungkin bergantung pada keluarga sebagai jangkar psikologis (bahkan finansial), namun ada kalanya suatu peristiwa besar yang memorakporandakan fondasi keluarga tersebut memaksa kita berpikir ulang tentang apa maknanya menjadi bagian dari keluarga. Jika ingin optimis, film-film Kore-eda, pada akhirnya, menunjukkan pada kita bahwa orang-orang yang memiliki asal berbeda ternyata bisa membentuk keluarga versi mereka sendiri jika terdorong keadaan, lengkap dengan segala kesenangan dan tantangannya.

1 komentar:

  1. Filemnya sangat mengharukan, mengingatkan saya akan Akira Kurosawa , kutipan: " Tragedi adalah bagian dari kehidupan Jepang yang sering dilanda gempa, tsunami dan perperangan.
    Saya mencoba menulis blog tentang hal ini, semoga anda juga suka i http://stenote-berkata.blogspot.com/2018/04/wawancara-dengan-akira.html

    BalasHapus

Gimana pendapat Anda?