tag:blogger.com,1999:blog-8657456736124531872024-03-04T20:44:40.736-08:00Gubuk SinemaNonton Sampai Mata MerahPutri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.comBlogger70125tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-41284545374164855202020-06-27T05:18:00.000-07:002020-06-27T05:18:59.384-07:00Review: Aterrados (Terrified)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT50rzY7MdIBX6ih9phlzCLbOAcqqMaP5gDqGTkck1fme19IRJ-aPGf37-zICuiB73e1zhnOiqbymK_tVkeXpe0K5E-zS4l9AVryuV_CvoYqEjcv7XOTjdUYa2Ajp5GpIV2cINIvcjuws/s1600/aterrados+terrified+movie+review.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjT50rzY7MdIBX6ih9phlzCLbOAcqqMaP5gDqGTkck1fme19IRJ-aPGf37-zICuiB73e1zhnOiqbymK_tVkeXpe0K5E-zS4l9AVryuV_CvoYqEjcv7XOTjdUYa2Ajp5GpIV2cINIvcjuws/s640/aterrados+terrified+movie+review.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2017</b><br />
<b>Sutradara: Demian Rugna</b><br />
<b>Bintang: Maximiliano Ghione, Elvira Onetto, Norberto Gonzalo, George E. Lewis, Demian Salomon, Natalia Senorales, Julieta Vallina</b><br />
<b>My rate: 4/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Bagaimana jadinya jika film horor dilucuti dari plot, drama, dan eksposisi sehingga hanya menyisakan unsur seramnya? Anda akan berakhir dengan <i>Aterrados</i>, film horor Argentina yang cukup membelah penilaian penonton karena presentasi uniknya. Demian Rugna cukup berhasil menuangkan premis yang cukup janggal ini ke layar, dengan cara yang sedikit mengingatkan pada landasan film-film horor Jepang ternama era 1990-an dan awal 2000-an: kengerian sejati berasal dari hal-hal yang tak bisa kita jelaskan.<br />
<a name='more'></a><br />
<i>Aterrados</i> tidak mengikuti alur film horor tradisional yang mengarah pada "solusi" untuk memecahkan misteri atau menjelaskan kengeriannya. Misteri pembuka hanya menjelaskan awal dari kengerian, dan itu pun terpisah dalam beberapa sketsa horor yang awalnya terlihat tak berhubungan: sepasang suami-istri terganggu suara-suara benturan aneh di rumah mereka, tetangga mereka yang terganggu aktivitas <i>poltergeist</i> dan memasang kamera di rumahnya, seorang anak yang sudah meninggal mendadak bangkit dari kubur dan duduk tenang di meja makan rumahnya seolah tidak ada apa-apa. Semua kengerian ini terjadi di komplek perumahan yang sama, tetapi seolah tidak memiliki kaitan satu sama lain.<br />
<br />
Plot cerita mengental ketika tiga orang penyelidik paranormal dan seorang inspektur polisi senior bekerja sama untuk mengungkap misteri di balik tiga kejadian aneh (yang dua di antaranya berujung tragedi) itu. Mereka berbagi tugas penyelidikan dengan mendiami ketiga rumah tersebut sendiri-sendiri, menerapkan metode penelitian masing-masing sambil menyelidiki setiap lubang, sudut, dan area gelap, bergulat dengan deretan fenomena supernatural yang semakin lama semakin janggal, mengerikan, bahkan membahayakan.<br />
<br />
Satu kata yang mendeskripsikan pengalaman menonton film ini adalah: sabar! Jangan mempercepat film atau melompatinya. Anda mungkin sudah khawatir duluan membaca "instruksi" ini, seperti ketika membaca ulasan film drama "nyeni" yang lambat dan mungkin membosankan bagi sebagian orang. Akan tetapi, ini hanya karena <i>Aterrados</i> menggunakan cara bercerita yang tidak konvensional. Alur cerita berpindah-pindah dan maju mundur, terutama pada awal hingga pertengahan, sebelum kembali ke narasi linear saat para penyelidik memulai misi mereka. Kengerian, inti utama dari horor, tetap dipertahankan dalam intensitas cukup tinggi.<br />
<br />
Rugna mengambil rute yang sama dengan film-film horor Jepang tahun 90-an dan 2000-an yang memilih jalur misteri serupa: kita, para penonton, tidak berada dalam posisi sebagai pihak ketiga serba tahu. Misteri terungkap oleh karakter maupun penonton dalam waktu bersamaan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti kita jadi tahu segalanya; seperti horor yang terus mengikuti para karakter dalam <i>Ju-On</i> atau <i>Ringu</i>, tidak ada "solusi" pasti untuk memecahkan misteri serta "mengalahkan" sang hantu. Itu sebabnya berbagai horor dalam <i>Aterrados</i> terasa mencekam: kita tidak bisa memahami sebabnya, tetapi mereka terpampang tanpa kenal ampun di depan mata.<br />
<br />
Film horor sering berfokus pada gaya menakut-nakuti tertentu; ada yang mengandalkan misteri di balik bayangan serta sudut gelap, ada juga yang memilih cara lebih eksplisit, menggunakan darah dan imaji mengejutkan untuk membuat <i>shock</i> penonton. <i>Aterrados</i> memberi paket lengkap jenis-jenis imaji horor yang bisa Anda nikmati dalam satu film, bahkan tanpa perlu menunggu lama! Anda bisa ikut merinding saat sang suami di sketsa horor pertama mendengar suara-suara benturan misterius dari balik tembok, ikut menjerit bersamanya saat melihat fakta di balik suara benturan tersebut, merasakan ketakutan perlahan muncul saat melihat hasil rekaman aktivitas <i>poltergeist</i> tetangga mereka, hingga memandang kaku tanpa bisa berpaling saat melihat sorotan jarak dekat ke sosok sang anak yang bangkit dari kuburannya dan pulang ke rumahnya (lengkap dengan efek khusus yang sangat meyakinkan walau filmnya berbujet rendah).<br />
<br />
Perbandingan terdekat yang bisa saya lakukan untuk film ini barangkali <i>Noroi </i>(2005)<i>, </i>horor supernatural Jepang yang secara mengejutkan berhasil memanfaatkan konsep film <i>found footage</i> secara segar, dan bahkan tidak ternoda oleh eksploitasi popularitas <i>Paranormal Activity</i> yang habis-habisan itu. Seperti <i>Aterrados, Noroi </i>memulai film dengan sederet kejadian janggal yang terjadi pada beberapa karakter yang sepertinya tidak saling berhubungan, sehingga membuat kita bertanya-tanya. Baru setelah film memasuki paruh kedua, keping-keping teka-teki mulai tersambung, dan kita mulai menyadari detail-detail kecil yang tadinya terlewatkan namun ternyata memegang peran penting dalam cerita.<br />
<br />
Akan tetapi, sekali lagi, <i>Aterrados</i> tidak memberi kepuasan bagi kita untuk memecahkan misteri, tidak seperti <i>Noroi </i>yang masih memberi penjelasan walau berakhir dalam cara yang membuat depresi. Rugna menggunakan bayangan, sudut gelap, dan darah secara efektif, menciptakan sederet imaji menyeramkan mulai dari yang misterius hingga yang berdarah-darah. Tidak ada <i>jumpscare </i>murahan: setiap kejutan dari Rugna dijamin membuat Anda senam jantung. Alur yang tidak konvensional membantunya meletakkan adegan-adegan mengejutkan secara efektif dan tidak terduga, bahkan jika Anda sudah veteran dalam hal menonton film horor.<br />
<br />
Satu hal yang membuat saya senang adalah dominasi aktor-aktor senior dalam film ini. Bukannya saya tidak menyukai aktor muda dalam film horor, tetapi terkadang, memunculkan sekumpulan karakter berpenampilan secakep model (tidak peduli selusuh apapun kostum dan gaya rambut mereka) sebagai satu geng terkadang bisa cukup mengikis unsur realisme, yang kerap berperan dalam menekankan cengkeraman horor pada benak penonton. Penampilan Norberto Gonzalo, Elvira Onetto, dan George Lewis sebagai trio paranormal senior, plus Maxi Ghione sebagai kapten polisi senior yang kerap terganggu gejala hipertensi saat menyelidiki, menambah "kesegaran logis" dalam film ini, membuatnya terasa lebih membumi bahkan dengan kemunculan sosok-sosok supernatural.<br />
<br />
<i>Aterrados </i>bukan suguhan horor konvensional, dan terus terang, saya sedikit ragu memberi rating 4 dari 5 untuk film ini. Akan tetapi, walau cukup membelah opini, saya tetap mengakui keunggulan <i>Aterrados </i>sebagai film horor, bukan film "seni eksperimental" atau "<i>post-horror</i>" yang lebih bernafsu berceramah dan membuat bingung penonton ketimbang menakut-nakuti. Bahkan setelah melucuti penjelasan berlebih dan plot ruwet, Demian Rugna tetap berhasil menyuguhkan tontonan yang cukup koheren sekaligus tidak kehilangan kengeriannya.<br />
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-9791679014776960492020-06-05T22:37:00.001-07:002020-06-05T22:37:21.751-07:00Review: Ginger Snaps<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKSIAm_z6FACP5DiEHcWih2wfAuX098IIS38UwG2Hqize-nbU-kaSON7MFsmo5MyMsUTmqK9d_qZUORAMUBKhgxUDpCkl05oo3GtNFsB6RO0ofabYU9YQcJdTPhlbRI6xmZE4Wl-0PY6Y/s1600/ginger_snaps_ginger.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="788" data-original-width="1400" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgKSIAm_z6FACP5DiEHcWih2wfAuX098IIS38UwG2Hqize-nbU-kaSON7MFsmo5MyMsUTmqK9d_qZUORAMUBKhgxUDpCkl05oo3GtNFsB6RO0ofabYU9YQcJdTPhlbRI6xmZE4Wl-0PY6Y/s640/ginger_snaps_ginger.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2000</b><br />
<b>Sutradara: John Fawcett</b><br />
<b>Bintang: Katharine Isabelle, Emily Perkins, Mimi Rogers, Kris Lemche, Jesse Moss</b><br />
<b>My rate: 4/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Film horor bertema manusia serigala biasanya memiliki benang merah tema: transformasi dan dualisme dalam kepribadian manusia. Jadi, agak mengherankan melihat genre horor ini terasa sangat maskulin, padahal tema-tema yang dibahas adalah pengalaman universal manusia. <i>Ginger Snaps</i>, salah satu karya paling terkenal dari sutradara Kanada John Fawcett, sukses membalik pakem film-film manusia serigala dengan mengadopsi pengalaman remaja wanita yang, dalam banyak hal, sangat sesuai dengan tema manusia serigala, termasuk segala horornya.<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karakter utama <i>Ginger Snaps</i> adalah dua bersaudari Ginger (Isabelle) dan Brigitte (Perkins). Keduanya sangat dekat dan digambarkan terobsesi dengan kematian, bahkan membuat tugas sekolah ekstrem yang menggambarkan berbagai diorama kematian mereka. Ketika menyelidiki rangkaian kematian hewan peliharaan di sekitar rumah, mereka diserang makhluk misterius yang menggigit Ginger sebelum keduanya berhasil melarikan diri.<br />
<br />
Ginger mulai menunjukkan berbagai perubahan setelah digigit makhluk tersebut. Sifatnya semakin beringas, berani secara seksual, dan bahkan makin menjauh dari Brigitte. Akan tetapi, perubahan itu disertai dengan perubahan fisik seperti munculnya bulu halus dan ekor serta gigi yang perlahan meruncing. Ketika Ginger semakin kesulitan mengendalikan perubahan dirinya serta keganasannya, bahkan mulai memakan korban, Brigitte harus berjuang melawan waktu untuk mencari penangkal serta menyelamatkan Ginger dan dirinya sendiri.<br />
<br />
John Fawcett dan penulis naskah Karen Walton sejak awal sudah berniat menjadikan <i>Ginger Snaps </i>sebagai antitesis dari film-film manusia serigala pada umumnya. Meminjam pengalaman remaja perempuan yang kerap "dihantui" efek transformasi diri mereka saat pubertas, <i>Ginger Snaps </i>memasukkan banyak sekali tema intim seperti hubungan darah (secara harfiah dan metafora), menstruasi, hubungan yang naik-turun dengan saudara perempuan, tekanan sosial di dunia sekolah, paduan rasa takut serta penasaran saat mulai dekat dengan kaum pria, dan rasa tidak dipahami.<br />
<br />
Ginger dan Brigitte diperkenalkan sebagai remaja perempuan tipe <i>outcast</i> yang di film horor lain biasanya akan otomatis diberi cap "emo" secara dangkal, tetapi karakter keduanya terasa segar dan otentik. Keduanya saling menyayangi sampai ke tahap berjanji untuk mati sama-sama, tetapi mereka juga kadang bertengkar hebat sampai rasanya hubungan mereka tidak akan bisa diperbaiki lagi. Isabelle dan Perkins sukses memotret dinamika persaudaraan remaja perempuan yang sama-sama memasuki masa pubertas, tercabik antara ikatan persaudaraan dan rasa ingin menjelajah serta "lepas" dari ikatan yang mereka buat sendiri.<br />
<br />
Fawcett dan Walton tidak hanya menempelkan sosok manusia serigala sebagai metafora untuk pubertas dan dilema psikologis perempuan secara dangkal. Banyak adegan film ini memotret keseharian remaja yang realistis: berbicara sengit dengan sang ibu seolah apa pun yang dia katakan salah, bertukar ejekan saat menggosipkan teman sekelas, memilih-milih merek pembalut di toko ketika Ginger akhirnya menstruasi (sambil setengah membungkuk sepanjang adegan karena menahan kram perut), hingga menatap bengong ke omongan orang-orang dewasa yang berlagak mencoba memahami mereka tetapi akhirnya malah berakhir menggurui. Berbagai adegan, percakapan, dan pertengkaran berlangsung di kamar mandi, satu dari sedikit tempat di mana remaja putri bisa mendapat sedikit privasi.<br />
<br />
Dalam film manusia serigala pada umumnya, transformasi mendadak di bawah sinar bulan biasanya menjadi adegan paling ikonik. Sebaliknya, <i>Ginger Snaps</i> menerapkan rentang waktu satu bulan sejak Ginger tergigit hingga adegan perubahannya menjadi serigala, sehingga memaksa penonton memberi perhatian ekstra pada proses transformasi fisik dan emosionalnya. Bahkan ketika Ginger mulai tampak lebih seperti monster ketimbang manusia, kita masih bisa berempati padanya, dan tidak memandangnya sebagai monster. Ginger mungkin perlahan memeluk sisi monsternya, tetapi kita masih bisa melihat ketakutannya ketika dia merasa kehilangan kendali dan tidak memahami tubuhnya sendiri.<br />
<br />
Daya tarik lain dari <i>Ginger Snaps</i> adalah paduan sempurna komedi gelap, drama, dan horornya. Penonton film horor veteran mungkin tidak akan gemetar ketakutan menonton film ini, tetapi karakter, dialog, dan jalan cerita yang kuat memberi film ini pesona sendiri. Saya justru merasa lebih menikmati saat-saat ketika Ginger dan Brigette sama-sama menghadapi transformasi misterius Ginger ketimbang ketika sang monster akhirnya muncul, karena itulah momen ketika kemampuan akting Isabelle dan Perkins benar-benar diuji.<br />
<br />
Ini bukan berarti efek khusus menjadi kelemahan <i>Ginger Snaps</i>. Fawcett berkeras menggunakan efek praktis untuk menciptakan tampilan Ginger yang bertransformasi serta manusia serigalanya, membuat Katharine Isabelle harus duduk selama tujuh jam setiap hari untuk didandani demi syuting adegan transformasi, dan dua jam setelah syuting untuk mencopot dandanannya. Sosok monster ini juga tidak muncul sampai adegan klimaks, dan sosoknya setengah tersembunyi oleh bayang-bayang dari setting malam hari serta ruangan sempit. Jadi, jika Anda tipe yang merasa bahwa efek khusus monster manusia serigala sering terlihat kikuk, film ini tidak akan terlalu sering "menyiksa" mata dengan tampilan tersebut.<br />
<br />
<i>Ginger Snaps</i> tidak mendapat banyak publikasi saat pertama kali rilis sehingga kerap terlupakan. Akan tetapi, film ini membawa darah segar ke jajaran sinema horor remaja serta film bertema manusia serigala. Porsi pas antara berbagai genre, akting mumpuni, serta interpretasi unik terhadap transformasi manusia serigala dalam sosok-sosok remaja perempuan menjadikan <i>Ginger Snaps</i> suguhan unik yang cukup memuaskan.<br />
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-67470834217810274642020-04-11T19:50:00.000-07:002020-04-16T08:56:03.394-07:00Review: The Two Popes<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitCImhuUdzQkqHzpwiHQrkWTCTD8do0R4gRpicMyLXclc3ZH4fE8uR_2jJpFCXBMmAZAh47Y8IhcJNcSMnwgrxi6eX5Nik2wE-euVF7_eJAz4HuJuw5TbGsnPz4GrbyGbN8oaQbGq-cFM/s1600/the+two+popes.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1000" data-original-width="1600" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEitCImhuUdzQkqHzpwiHQrkWTCTD8do0R4gRpicMyLXclc3ZH4fE8uR_2jJpFCXBMmAZAh47Y8IhcJNcSMnwgrxi6eX5Nik2wE-euVF7_eJAz4HuJuw5TbGsnPz4GrbyGbN8oaQbGq-cFM/s640/the+two+popes.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2019</b><br />
<b>Sutradara: Fernando Meirelles</b><br />
<b>Bintang: Anthony Hopkins, Jonathan Pryce</b><br />
<b>My rate: 4/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Lepas dari berbagai kritik dan percakapan tentang film <i>The Two Popes</i> (termasuk dialog-dialog kedua Paus yang sejak awal sebenarnya sudah diakui sebagai fiksi), Fernando Meirelles sukses menghadirkan pengalaman sinematik yang menonjolkan akumulasi pengalaman kedua aktor utamanya dalam sebuah <i>cinematic masterclass</i>.<i> The Two Popes</i> juga dengan sukses membawa imajinasi kita masuk ke adegan belakang layar yang lebih intim dari imaji TV populer menguarnya asap putih pertanda Paus baru telah terpilih, dengan detail-detail mengagumkan yang membentuk latar belakang sempurna untuk "dramatisasi dua pemikiran" ini. </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Anthony Hopkins dan Jonathan Pryce berperan sebagai Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio yang kelak menjadi Paus Fransiskus. Bagian pertama film bergantian menampilkan rincian adegan pemilihan Paus yang berujung pada terpilihnya Kardinal Ratzinger alias Paus Benediktus pada tahun 2005, serta keseharian Bergoglio yang melayani umat di tengah komunitas pinggiran di Argentina. Tujuh tahun kemudian, paduan antara adegan film serta potongan berita memunculkan <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Vatican_leaks_scandal" target="_blank">skandal</a> kebocoran dokumen-dokumen rahasia Vatikan terkait beberapa dugaan tindakan tidak etis, sesuatu yang membuat Kardinal Bergoglio memutuskan menemui Paus Benediktus di rumah musim panasnya untuk memberikan surat pengunduran dirinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Acara pemberian surat pengunduran diri yang dikira singkat ternyata berbuntut pada perdebatan panjang antara Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio; mulanya tentang respons masing-masing terkait skandal, lantas melebar ke peran gereja dan Tuhan. Di sini, perbedaan sudut pandang mereka terhadap peran gereja dan tugas-tugas pemimpin agama mulai berbenturan, walau kemudian perbincangan keduanya menghangat saat mereka berbagi info tentang kesenangan masing-masing.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perdebatan kembali berlanjut saat keduanya kembali ke Vatikan, di mana perbincangan keduanya berlanjut dalam klimaks di Kapel Sistine. Kardinal Bergoglio pun mengungkapkan beban moral masa lalunya saat gagal melindungi teman-temannya dari tekanan brutal diktator Argentina yang didukung militer. Paus Benediktus pun membalikkan permintaan pengunduran diri Kardinal Bergoglio dengan kejutannya sendiri: keinginannya untuk pensiun dengan Bergoglio sebagai penggantinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Film ini diangkat dari drama panggung <i>The Pope</i> karya Anthony McCarten, jadi wajar jika aspek pertunjukan serta dialog panggung mendominasi film, menuangkan inti cerita yang berupa pertentangan antar "dua dunia" yang diwakili sepasang pemimpin umat, yang walau memiliki tujuan sama, namun meyakini cara berbeda. Sejak awal, Meirelles sudah menyelipkan tanda-tanda perbedaan kontras antara Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio lewat hal-hal eksplisit: Bergoglio mengutip nama pemain bola dalam acara ibadah, Benediktus (saat masih Kardinal Ratzinger) berkali-kali menegaskan soal "gereja tidak boleh berubah" dalam setiap percakapannya, Bergoglio menyenandungkan <i>Dancing Queen</i>-nya ABBA saat mencuci tangan di toilet Vatikan, dan Benediktus ngotot berbahasa Latin saat bertemu rekan-rekan kardinal. Perbedaan ini tidak bisa lebih gamblang lagi bahkan seandainya Meirelles menjejalkannya ke dalam karung, mengikatnya dengan batu bata, dan melemparkannya ke wajah saya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di tangan aktor yang kurang pengalaman, percakapan-percakapan ini tidak akan lebih dari sekadar representasi mentah antar dua pemikiran bertentangan. Akan tetapi, Anthony Hopkins dan Jonathan Pryce dengan sukses menerjemahkan "jiwa" dari kedua pemikiran tersebut, menghadirkan dimensi psikologis dan spiritual yang mampu membuat kita semua berhenti sejenak untuk memikirkan keduanya, tidak peduli ide mana yang diam-diam kita rangkul. Dialog keduanya diselingi momen-momen renyah saat Bergoglio "terpaksa" ikut mencicipi makanan kesukaan Benediktus (yang diam-diam tidak disukainya), atau saat keduanya mendiskusikan musisi favorit serta partisipasi tim negara masing-masing dalam Piala Dunia. Hopkins dan Pryce juga sukses menyeimbangkan antara momen manusiawi dengan momen saat mereka bertindak sebagai perwakilan dua dunia yang bertentangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tentu saja, suara-suara kritik tidak terbatas pada perbedaan yang dibuat terlalu gamblang dan hitam-putih. Walau Meirelles jelas-jelas bilang jika filmnya bukan reka ulang sejarah melainkan fiksi hasil dramatisasi, hal itu tidak menghentikan orang untuk mengecek macam-macam <a href="http://decentfilms.com/reviews/twopopes" target="_blank">fakta</a> (karena yang digambarkan di film ini, pada akhirnya, orang-orang sungguhan): mulai dari batas usia pensiun kardinal hingga kutipan-kutipan asli Paus Benediktus dan Fransiskus yang menunjukkan aspek lebih dinamis dari model kepercayaan mereka. Ada juga yang mengkritik bahwa film ini lebih cocok dibilang "<a href="https://www.washingtonpost.com/world/europe/what-oscar-hopeful-the-two-popes-misses-about-francis-and-benedicts-relationship/2019/12/26/0a65dc6e-25a7-11ea-9cc9-e19cfbc87e51_story.html" target="_blank">komedi <i>bromance</i></a>" yang simplistik, dan tidak memberi penonton informasi lebih dalam tentang aspek formal di tubuh Vatikan yang mendasari film ini sendiri.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pribadi, sebagai orang yang bukan penganut Katolik, mengenyampingkan hal-hal terkait pembahasan agama dan politiknya saat pertama kali menonton karena lebih ingin memelototi aspek-aspek teknis dalam <i>The Two Popes, </i>yang sukses membetot perhatian saya selama dua jam walau isinya "ngomong melulu". Salah satu kesuksesan teknis film ini tentu saja adalah pembuatan ulang <i>setting </i>Vatikan yang sebagian besar tidak disorot di tempat aslinya. Plaza St. Peter harus dibuat dengan komputer, dan kru harus "meminjam" beberapa area di Italia untuk menciptakan Vatikan versi mereka, misalnya Vila Farnese di Capranola dan Royal Palace of Caserta. Union VFX, studio efek khusus yang menggarap film ini, bahkan membuat model tiga dimensi Basilika Santo Petrus untuk...menciptakan efek sambaran petir. Ya, ternyata, pada tahun 2013, kamera mobil seseorang yang diparkir di dekat Basilika Santo Petrus berhasil merekam <a href="https://www.fxguide.com/fxfeatured/the-visuals-of-two-popes/" target="_blank">petir</a> yang menyambar puncak basilika, sehingga Union VFX memutuskan mereka ulang adegan itu agar lebih autentik. Niat <i>banget</i>!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Yang paling mengagumkan tentu saja <a href="https://www.architecturaldigest.com/story/the-two-popes-movie-set-design-interview" target="_blank">penciptaan Kapel Sistine</a> yang menjadi lokasi percakapan klimaks, lengkap dengan freskonya yang mengagumkan. Karena kru tidak bisa syuting di Kapel Sistine sungguhan, desainer produksi Mark Tildesley bersama krunya membangun area berdinding plester putih, lalu menggunakan teknik mirip tato untuk "menempelkan" motif lukisan Kapel Sistine ke dinding. Hasil tekniknya begitu mengesankan hingga pakar sejarah yang mengawasi proyek mereka terkagum-kagum dengannya (Tildesley dan krunya bahkan berkesempatan bertemu Paus Fransiskus langsung).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Percakapan kedua Paus dibuat lebih hidup dengan sinematografi ala César Charlone, yang sebelumnya menggarap film-film kejahatan, thriller, dan komedi macam <i>The Pope's Toilet, City of God</i>, dan <i>Blindness</i>. Hasilnya tampak dari paduan <i>close up </i>ekstrem, sorotan miring <i>Dutch angle</i>, dan pergerakan kamera alami yang membuat dialog antar keduanya lebih hidup, kontras dengan sorotan muram ke masa lalu Kardinal Bergoglio pada era kediktatoran di Argentina atau pergerakan kamera dari atas yang memamerkan kemegahan <i>setting</i> Vatikan. Ketika Charlone tidak menyorot wajah atau tangan dari dekat, dia akan menyorot objek-objek mini yang berperan penting dalam adegan atau peran karakternya. Mungkin ada yang menganggap sinematografi dinamis ini sedikit mengganggu, tapi saya pribadi menyukainya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, ada sentuhan kecil memikat yang menarik perhatian saya. Setelah adegan Kardinal Bergoglio menyiulkan <i>Dancing Queen</i>-nya ABBA di kamar mandi (dan harus menjelaskannya pada Kardinal Ratzinger yang mengira itu lagu pujian), kita melihat adegan prosesi yang mendahului pemilihan Paus baru dalam Konklaf Kepausan. Suara para penyanyi gereja yang menyenandungkan <i>Litani Orang Kudus</i> (<i>Litany of the Saints</i>) perlahan membaur dengan irama versi orkestra dari <i>Dancing Queen</i>, yang entah bagaimana ternyata bisa menyatu sempurna dalam adegan epik terbukanya pintu ke Kapel Sistine. Potongan permainan musikal kecil namun menarik yang secara resmi menyegel perhatian saya sampai film berakhir. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Intinya, anggaplah <i>The Two Popes </i>sebagai dramatisasi dari benturan dua pemikiran yang diwakili oleh dua petinggi agama terkemuka, tetapi jangan menganggapnya setara dengan reka ulang sejarah. Bahkan jika Anda bukan Katolik atau tidak tertarik dengan aspek religius dan politis yang dibeberkan, nikmati saja keindahan <i>setting</i>, dialog menawan, serta penampilan prima Anthony Hopkins dan Jonathan Pryce yang levelnya bukan lagi berakting, melainkan dengan apik menampilkan sebuah pertunjukan <i>cinematic masterclass </i>yang berjiwa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-62690548659898733482020-02-14T14:58:00.002-08:002020-04-16T08:56:23.570-07:00Review: Little Fish<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzGOVZ-fUrdz0ADX0zLSFFLsw2AHnqFa3VkG90vnPQWWeBa2BYd-jBIxB-hh8kVTFvLpqI82pvZmGW1Fc3l7YMaY7nR8hZR5RGqNKYeY6Q95nJT2p7ChGy6AR0Et6tfGtVJpaHVUjnfwY/s1600/little+fish.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjzGOVZ-fUrdz0ADX0zLSFFLsw2AHnqFa3VkG90vnPQWWeBa2BYd-jBIxB-hh8kVTFvLpqI82pvZmGW1Fc3l7YMaY7nR8hZR5RGqNKYeY6Q95nJT2p7ChGy6AR0Et6tfGtVJpaHVUjnfwY/s640/little+fish.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2005</b><br />
<b>Sutradara: Roman Woods</b><br />
<b>Bintang: Cate Blanchett, Hugo Weaving, Sam Neill, Dustin Nguyen, Martin Henderson, Noni Hazlehurst</b><br />
<b>My rate: 3.5/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sejak mengalami masa kebangkitan pada awal tahun 1970-an, sinema Australia telah menunjukkan perubahan cukup drastis dari masa awal perkembangannya. Tren memotret cerita dari latar belakang sejarah "gersang" lanskap Australia serta literatur klasiknya berganti menjadi drama urban yang memotret wajah warna-warni Australia modern dengan persoalan kontemporernya. Film drama indie <i>Little Fish</i> mungkin berfokus pada beberapa karakter kecil yang akan terbenam dalam lingkungan sosial Australia modern, namun drama kecil ini pandai memotret kegelisahan dan ketidakpastian sosok-sosok di luar glamornya brosur wisata: mereka yang hanya ingin mencapai standar hidup seperti orang-orang lainnya, namun dibebani jangkar personal yang tidak kunjung lepas.<br />
<a name='more'></a><br />
<br />
Tracy (Cate Blanchett) adalah mantan pecandu narkoba berusia 32 tahun yang berusaha hidup bersih. Bekerja sebagai manajer di tempat penyewaan video, Tracy bercita-cita menjadi pemilik bisnis, namun masa lalunya membuatnya selalu gagal meminjam dana dari bank. Tracy tinggal di rumah kecil bersama ibunya (Hazlehurst) dan adiknya, Ray (Henderson). Tracy sesekali berkunjung ke rumah ayah tirinya, Lionel (Hugo Weaving), yang juga pecandu dan kini hanya bisa mengenang kejayaan masa lalunya sebagai pemain rugbi.<br />
<br />
Sebentuk harapan datang dalam kehadiran Johnny (Nguyen), mantan kekasih Tracy yang sebelumnya juga pecandu, namun kini telah menjadi pialang saham di Kanada. Akan tetapi, ketika beberapa rahasia terungkap, Tracy yang putus asa harus bekerja sama dengan Ray, Johnny, dan Lionel untuk melakukan satu misi besar terakhir demi mendapat modal yang dibutuhkannya untuk berbisnis, walau itu berarti menantang bahaya sekali lagi.<br />
<br />
Lepas dari posisi geografisnya yang cukup dekat dengan kita, sinema Australia relatif "kalah" saing dalam hal popularitas dibandingkan Hollywood atau sinema dan drama Korea, misalnya. Akan tetapi, dari beberapa sinema Australia yang saya bahas di sini, hampir semua menunjukkan karakteristik unik serupa sejak booming-nya pada awal tahun 1970-an dan 1980-an. <i>Little Fish</i> adalah produk periode 1990-an hingga 2000-an, ditandai dengan mulai bermunculannya film-film berbujet kecil yang memotret Australia era kontemporer.<br />
<br />
<i>Little Fish</i> menunjukkan ciri-ciri kontemporer ini. Satu hal yang menyolok, latar belakang sebagian besar adegannya bukan di area populer di Sydney, tetapi Cabramatta, yang terkenal dengan komunitas Vietnam keturunan "manusia perahu" yang menjadi pengungsi pada tahun 70-an saat Vietnam Utara mengambil alih Vietnam Selatan. Keluarga kulit putih Tracy dan komunitas Vietnam yang mengelilingi kehidupannya seolah menjadi potret kecil Australia: para karakternya menunjukkan perbedaan menyolok antar kelas berbeda dalam komunitas mereka masing-masing.<br />
<br />
Satu hal yang terus muncul sepanjang film: imaji air, yang sepertinya juga menjadi simbol untuk hal yang dialami tokoh-tokohnya (terutama Tracy). Tracy digambarkan menghabiskan waktu luangnya dengan berenang di kolam renang umum, dan kenangan masa kecilnya saat keluarganya bersama Lionel masih utuh hadir dalam bentuk perjalanan ke pantai. Adegan pembuka film ini juga menggambarkan aktivitas pasar tradisional Vietnam saat Tracy berjalan melaluinya dengan pandangan setengah kabur dan limbung, seolah dia masih tertinggal di dalam air. Tracy seolah memandang lingkungan sekitarnya dari balik "dinding" air: dia ada di antara mereka, tetapi sekaligus seolah tidak hadir di sana. Dia merasa terasing, sulit melebur walau ada di keramaian.<br />
<br />
Kelimbungan ini juga tampak dalam perjuangan Tracy untuk hidup bersih. Setelah bebas dari cengkeraman narkoba dan mendapat pekerjaan, Tracy merasa tidak puas dengan hidupnya yang begitu-begitu saja. Ketika bos tempat penyewaan videonya menawarkan kerja sama untuk mengembangkan bisnis, Tracy dengan bersemangat mulai mencari pinjaman, namun sejarah narkoba serta penipuan kartu kredit yang dulu pernah dilakukannya membuatnya selalu gagal meminjam walau rencana bisnisnya solid. Tracy berusaha hidup lurus karena masyarakat mengecam kehidupan masa lalunya yang kelam, namun masyarakat yang sama seolah menahan upayanya untuk menata kembali hidupnya walau dia sudah meninggalkan masa lalunya.<br />
<br />
Karakter di sekitar Tracy juga mengalami problem yang mirip. Lionel, ayah tiri yang disayanginya, adalah orang yang sama yang memperkenalkan heroin pada Tracy, namun Tracy tidak bisa memutuskan hubungan dengannya walau Lionel masih "memakai". Adik Tracy, Ray, kehilangan kaki dalam kecelakaan, dan hanya bisa melakukan pekerjaan bergaji kecil. Bahkan Johnny, mantan pacar Tracy yang nasibnya terlihat jauh lebih baik, merasa terasing di tengah keluarga besarnya, yang merupakan potret "imigran panutan" dari kalangan komunitas Vietnam. Mereka bagaikan sedang berenang: kepala mereka timbul-tenggelam di permukaan air, berusaha keras agar tak tenggelam.<br />
<br />
<i>Little Fish</i> tidak menggunakan pendekatan dramatis. Tracy dan para karakter lainnya digambarkan berbicara dan bersikap "layaknya orang biasa". Alih-alih <i>long shot</i>, Woods memilih banyak adegan <i>close-up</i> serta penggunaan musik yang minimalis untuk menciptakan "keintiman dari keseharian". Makanya, saya merasa agak kebingungan ketika <i>mood</i> film ini mendadak berubah di seperempat bagian terakhirnya, dan plot tambahan terkait polisi korup yang bekerja sama dengan gembong narkoba kawan Lionel terasa seperti sempalan yang tidak perlu. Rata-rata ulasan publik dan kritikus pun menyorot perubahan mendadak <i>mood</i> ini, yang seolah diselipkan hanya karena skenarionya entah bagaimana harus berakhir.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Lepas dari bagian akhir yang agak kedodoran, para bintang dalam <i>Little Fish</i> sukses memerankan sosok-sosok di luar tipe yang biasanya mereka perankan. Cate Blanchett, yang peran-perannya kerap memanfaatkan sorot mata dingin serta keanggunan tenangnya, sukses memerankan mantan pecandu narkoba yang hidup setengah limbung dan perlahan dikuasai keputusasaan. Yang paling menyolok mungkin Hugo Weaving, yang dalam film ini benar-benar habis-habisan merombak dirinya menjadi sosok yang patut dikasihani sekaligus membuat jijik. Dustin Nguyen sebagai Johnny pun berhasil keluar dari peran-peran pembantu serta karakter petarung yang kerap melekat pada dirinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Little Fish</i> mungkin sebuah drama indie kecil, namun kemampuannya menyorot keputusasaan diam-diam seorang mantan pecandu narkoba saat berusaha hidup bersih patut dipuji, terutama karena sang sutradara dengan piawai berhasil mengurai kisahnya tanpa berpatokan pada aspek-aspek dramatis, baik dari segi karakter, musik, maupun cara pengambilan gambar. Paling tidak, kisah kecil ini menunjukkan bahwa "jalan menuju pertobatan" ternyata tidak semulus kata para polisi moral, walau mereka juga yang paling nyaring menuntut pertobatan itu.</div>
<br />Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-70520863506618281102019-12-14T12:41:00.000-08:002020-04-16T08:56:32.529-07:00Review: Ali: Fear Eats the Soul<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkzGUWB1Lw6gxa5BCN4FUa2pOApvpdvqNPDCIJ_ACQI5Ha0ff5ZtcEnSZWGLJVRndbjf95AHRtBKnAUJ_ivyxsnTt4V8J7XYdipgjZZQlsraOBVDF8iSeBw5guO1NeGzvyQz0YfznDi0I/s1600/152id_110_w1600.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="900" data-original-width="1600" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkzGUWB1Lw6gxa5BCN4FUa2pOApvpdvqNPDCIJ_ACQI5Ha0ff5ZtcEnSZWGLJVRndbjf95AHRtBKnAUJ_ivyxsnTt4V8J7XYdipgjZZQlsraOBVDF8iSeBw5guO1NeGzvyQz0YfznDi0I/s640/152id_110_w1600.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 1974</b><br />
<b>Sutradara: Rainer Werner Fassbinder</b><br />
<b>Bintang: Brigitte Mira, El Hedi Ben Salem, Barbara Valentin, Irm Hermann, Rainer Werner Fassbinder</b><br />
<b>My rate: 5/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<i>Ali: Fear Eats the Soul </i>bukan proyek Fassbinder yang termegah. Digarap dengan terburu-buru di antara dua proyek berbujet besar, Fassbinder tadinya meniatkan <b>film drama</b> ini sebagai semacam latihan serta mengisi jadwal di antara penggarapan film <i>Martha</i> dan<i> Effie Briest</i>. Sederhana tetapi kuat, <i>Ali </i>justru<i> </i>mendapat status sebagai salah satu film terbaik Fassbinder. Menggantikan melodrama dengan keheningan, teknik visual, serta simbol-simbol kecil untuk menggambarkan cinta antar ras yang nyaris mustahil, Fassbinder mengikis semua "kecengengan" visual dan menggantikannya dengan tikaman tajam ke jantung kesepian kolektif para penontonnya.<br />
<br />
<a name='more'></a><br />
Ali berkisah tentang Emmi (Mira), wanita usia 60-an pembersih jendela di Jerman Barat yang hidup sendirian karena anak-anaknya sudah memiliki kehidupan sendiri dan tidak menghiraukannya. Saat berteduh dari hujan di sebuah bar yang sering didatangi pekerja imigran, Emmi bertemu dengan buruh asal Maroko usia 40-an bernama Ali (Salem), dan Ali mengajaknya berdansa setelah ditantang teman-temannya. Ali mengantar Emmi pulang, dan mereka menghabiskan malam berdua, diikat oleh rasa kesepian masing-masing.<br />
<br />
Ali dan Emmi kemudian menjadi dekat, dan akhirnya memutuskan menikah ketika anak pemilik apartemen Emmi mencurigai hubungan mereka. Emmi dikucilkan oleh para tetangga dan teman-teman Jermannya, sementara Ali menerima perlakuan rasis. Pengucilan dan tentangan dari orang-orang di sekitar mereka membuat Emmi mengadopsi perilaku rasis teman-temannya, sedangkan Ali mencari penghiburan dari Barbara (Valentin), bartender yang menaruh hati padanya. Pada akhirnya, keduanya harus menghadapi sisi gelap masing-masing sebelum mampu melewati lingkungan sekitar yang menatap dan memperlakukan hubungan mereka dengan kejam.<br />
<br />
Membaca ringkasan cerita <i>Ali: Fear Eats the Soul</i> mungkin menimbulkan bayangan akan kisah cinta mendayu-dayu penuh melodrama dan eksploitasi emosi. Akan tetapi, Fassbinder mengambil rute berbeda, menjadikan filmnya penuh dengan keheningan, dialog yang disampaikan dengan nada datar, namun dengan efek yang begitu menusuk. Ada kecanggungan samar yang sengaja dimasukkan Fassbinder ke sini, sesuatu yang menurut saya wajar karena Emmi dan Ali adalah dua sosok dengan latar belakang dan bahasa yang sangat berbeda. Menjadikan mereka langsung "klik" karena alasan klise seperti "cinta sejati" justru akan membuat hubungan keduanya terlihat sangat tidak alami. Di tangan Fassbinder, kekakuan mereka terlihat sangat wajar, manusiawi.<br />
<br />
Fassbinder menggunakan kamera serta komposisi untuk menggambarkan dinamika para karakter sekaligus tema besar filmnya, dan hal ini jelas terlihat bahkan sejak adegan awal. Ketika Emmi masuk ke bar, dia duduk dengan canggung, sementara Ali, para pekerja imigran, bartender, dan gadis-gadis bar menatapnya seolah dia bukan bagian dari mereka. Di tengah alunan musik Arab, Emmi terbata-bata memesan minuman dan berceloteh karena gugup sekaligus kesepian. Ali mendatanginya, menyapanya dengan lembut, dan mengajaknya berdansa. Kamera menyorot keduanya di bawah lampu merah lembut, dan seketika, keduanya sama-sama menjadi tontonan ketika kamera berpindah ke teman-teman Ali serta para karyawan bar, yang ganti menatap keduanya dengan aneh.<br />
<br />
Fassbinder kerap memasukkan Ali dan Emmi ke dalam bingkai-bingkai sempit, misalnya di antara celah pintu, terapit dinding dan tempat tidur, atau terhalang garis-garis perabot. Di tangan Fassbinder, hal ini menimbulkan dua kesan. Ali dan Emmi terlihat dekat serta intim saat mereka berbahagia berdua. Akan tetapi, ketika keburukan dunia luar mulai mengancam memisahkan dan mengorupsi mereka, bingkai-bingkai sempit menjadi terasa mengekang dan memenjarakan. Mereka berdua juga sering disorot dari jauh, sehingga kesan isolasi yang dirasakan keduanya tercermin dalam visualnya.<br />
<br />
Cinta mungkin mengaitkan hati Ali dan Emmi, namun Fassbinder memilih menonjolkan aspek kesepian, isolasi, dan keterasingan. Banyak hal dalam film ini yang mencerminkan kehidupan Fassbinder sendiri. Pemeran Ali, El Hedi Ben Salem, juga imigran asal Maroko yang mengalami kehidupan sulit saat pindah ke Jerman Barat karena tidak siap dengan perbedaan budaya serta isolasi yang dialaminya. Ben Salem dan Fassbinder sempat menjalin hubungan, namun paduan antara kebiasaan mabuk akibat stres serta sifat pemarah Ben Salem membuat mereka berpisah. Ben Salem pada akhirnya menggantung dirinya pada tahun 1977 setelah menikam tiga orang di Berlin. Sineas Jerman-Mesir Viola Shafik akhirnya menjadikan kisahnya film dokumenter bertajuk <i>My Name is Not Ali </i>(2012).<br />
<br />
Fassbinder juga memasukkan elemen dari pengalaman masa lalunya ke tokoh Emmi. Dalam film tersebut, Emmi yang ingin diterima lagi oleh teman-temannya setelah menikahi Ali berkomplot untuk mengucilkan pekerja baru yang berasal dari Yugoslavia. Ibu Fassbinder juga sempat mengalami efek diskriminasi setelah kembali ke Jerman dari Polandia pasca Perang Dunia Kedua. Rasisme terhadap "pekerja tamu" (<i>Gastarbeiter</i>) di Jerman Barat pasca Perang Dunia Kedua juga bukan rahasia, terutama setelah peristiwa Pembantaian Munich yang membuat orang-orang Timur Tengah serta Afrika Utara seperti Ben Salem dan Ali dipandang penuh curiga.<br />
<br />
Aspek rasisme selektif juga menjadi tema yang dijelajahi dengan cukup gamblang. Awalnya, orang-orang seperti penjaga toko, teman-teman, serta keluarga Emmi terang-terangan mengecam hubungan Emmi dan Ali. Ketika keduanya memutuskan berlibur panjang, orang-orang yang sama menyadari bahwa keduanya ternyata "bermanfaat" (Emmi adalah pelanggan setia toko tersebut. Anak-anaknya menyadari mereka membutuhkan bantuan Emmi untuk menjaga bayi. Teman-teman Emmi yang rata-rata janda senang karena mereka bisa minta bantuan Ali untuk mengerjakan ini-itu). Satu-satunya orang yang sepertinya menyayangi Ali dengan tulus selain Emmi hanya Barbara si bartender, namun melankoli hadir ketika kita menyadari bahwa Ali menyayangi bartender ini hanya karena dia bisa memasak <i>couscous</i>, sementara Emmi yang istri Ali menolak memasaknya di apartemen mereka lantaran malu.<br />
<br />
<i>Ali: Fear Eats the Soul</i> "merayakan" kekakuan, keheningan, dan kecanggungan yang muncul ketika dua orang yang begitu berbeda memutuskan mendekatkan diri karena tidak punya alternatif lain untuk mengusir rasa kesepian. Bukan berarti film ini steril dan bebas dari eksplorasi emosional. Dengan menyingkirkan melodrama, Fassbinder langsung menusukkan pisau sinemanya ke jantung para penonton serta masyarakat di sekitarnya. Jika Anda, seperti saya, merasa canggung dan tidak tahu harus bereaksi bagaimana melihat Emmi dan Ali yang begitu intim sekaligus beracun terhadap satu sama lain, nikmati saja, karena itulah yang diinginkan Fassbinder: dia tidak sempat membumbui filmnya dengan hiasan melodrama ala <b>film romantis</b> pada umumnya, karena dia terlalu sibuk mendeskripsikan kebenaran.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-21146339483068105862019-06-13T18:04:00.000-07:002020-04-16T08:56:41.404-07:00Review: BuyBust<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgohYyncJQIkWFNx2ijqtNBVSlFFCTE16ZWPhqRhFzSnYXa7eW84DlXNcAcOpzE-EoqHxnz_oEz-err_ViKeJyu-brVrqpt0fLklzTo7QqUwWv3KpXyRUJzrIZgbnPs3TgSfQrKjiRolFA/s1600/buybust+action+movie.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="754" data-original-width="1340" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgohYyncJQIkWFNx2ijqtNBVSlFFCTE16ZWPhqRhFzSnYXa7eW84DlXNcAcOpzE-EoqHxnz_oEz-err_ViKeJyu-brVrqpt0fLklzTo7QqUwWv3KpXyRUJzrIZgbnPs3TgSfQrKjiRolFA/s640/buybust+action+movie.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2018</b><br />
<b>Sutradara: Erik Matti</b><br />
<b>Bintang: Anne Curtis, Brandon Vera, Alex Calleja, Nonie Buencamino, Levi Ignacio, Ricky Pascua, Joross Gamboa, Lao Rodriguez</b><br />
<b>My rate: 3.5/5</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<i>BuyBust</i> adalah jawaban Filipina untuk film laga sekelas <i>The Raid</i>, yang memadukan ketegangan operasi polisi khusus dengan koreografi laga rumit di tengah konstruksi urban sempit, dan dilakukan oleh aktor-aktor yang bukan Jackie Chan, Jet Li, Keanu Reeves, atau aktor-aktor laga gaek Hollywood. <i>BuyBust memiliki </i>"ruang pergerakan" horizontal, di mana para karakter polisinya menembus berbagai halangan, rintangan, dan serangan di sebuah perkampungan kumuh. Aksi dan kekerasan yang berdarah-darah serta berkesan eksploitatif mungkin sedikit mengaburkan latar belakang politik dan sosial di Filipina era Duterte yang coba diangkat sutradaranya, namun koreografi adegan aksi yang cantik membuat napas tetap tertahan sepanjang durasi.<br />
<a name='more'></a><br />
<i>BuyBust </i>memotret misi tim satuan elit PDEA (Philippine Drug Enforcement Agency) untuk memasuki sebuah perkampungan kumuh dan menemukan ketua geng narkoba bernama Biggie Chen. Satuan tersebut dipimpin Rico (Vera), yang dengan ramah menyambut anggota baru dari kesatuan lain bernama Nina Manigan (Curtis). Teban (Calleja), seorang pengedar narkoba yang ditangkap dan dipaksa menjadi informan, ikut dalam misi penangkapan tersebut. Misi tim tersebut dikendalikan oleh Detektif Dela Cruz (Rodriguez) dan Detektif Alvarez (Buencamino).<br />
<br />
Satuan PDEA dibagi menjadi dua unit dan diperintahkan untuk memasuki perkampungan kumuh yang dikuasai geng narkoba. Walau tadinya mereka berniat melakukan misi tersebut dengan sesedikit mungkin gangguan, kedatangan mereka ternyata disambut para anggota geng narkoba yang balas menyerang, menandakan ada pengkhianat di antara mereka. Setelah salah satu tim dihabisi, tim lain yang berisi Nina dan Rico harus berjuang menyelamatkan diri, baik dari serbuan anggota geng maupun masyarakat perkampungan yang sudah muak dengan razia brutal tak berkesudahan oleh polisi.<br />
<br />
Bahkan tanpa membaca sejumlah <a href="https://www.hollywoodreporter.com/review/buybust-film-1127222" target="_blank">ulasan</a> yang mengaitkan <i><a href="https://variety.com/2018/film/reviews/buybust-review-1202874011/" target="_blank">BuyBust</a></i> dengan kebijakan keras <a href="https://www.rappler.com/entertainment/movies/208778-buybust-movie-review" target="_blank">Duterte</a>, Anda yang cukup mengikuti berita tentang "perang lawan narkoba" di Filipina sudah akan tahu ke mana tema film ini menunjuk. Erik Matti, sang sutradara, bahkan sudah terkenal cukup nyaring dalam hal kritik terhadap Duterte. Membenturkan satuan antinarkoba dengan geng pengedar dan masyarakat kampung kumuh dalam film aksi brutal seolah mengejawantahkan wujud terbrutal dari kenyataan sadis: kematian warga sipil, kekerasan tak henti, serta korupsi dalam tubuh institusi yang melaksanakan "misi mulia" itu sendiri.<br />
<br />
Tetapi, <i>BuyBust</i> bukan thriller politik yang memuat rincian rumit terkait keruwetan pelaksanaan perang antinarkoba di Filipina. Sama seperti <i>The Raid</i>, jalinan cerita dalam <i>BuyBust </i>hanyalah pintu untuk memanjakan mata dengan adegan-adegan aksi. Walau koreografi pertarungannya tidak serumit <i>The Raid</i>, kehadiran Brandon Vera yang seorang atlet MMA serta dedikasi Anne Curtis yang digembleng bela diri <a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Arnis" target="_blank">Kali</a> dan pertarungan dengan pisau membuat setiap adegan pertarungan sangat memuaskan. Jika Anda tidak familiar dengan dunia film kontemporer Filipina, ketahuilah bahwa peran sebagai Mannigan yang keras dan jago berkelahi dengan sadis adalah peran yang sangat berbeda bagi Anne Curtis, yang sebelumnya dikenal sebagai aktris film-film drama romantis.<br />
<br />
Adegan-adegan perkelahian dalam film ini bahkan lebih "kotor" dari <i>The Raid</i>. Ketika masyarakat kampung kumuh yang muak menyerang balik para polisi, mereka merancang jebakan cerdas di setiap lorong-lorong sempit. Matti dengan luwes menggerakkan kamera untuk menciptakan kesan klaustrofobik, mengajak kita menyusuri lorong sempit dengan napas terengah, berharap tidak ada balok kayu, pisau dapur, atau parang melayang dari sudut sempit yang tidak terduga (jangan tanya bagaimana rasanya ketika hujan mulai mengguyur dan adegan pertarungan menjadi dua kali lebih menegangkan karena banjir!).<br />
<br />
Menyelipkan narasi "kebijakan keras Duterte" terdengar sia-sia di film ini. Hal tersebut seolah hanya alasan untuk menyelipkan sedikit elemen cerdas di dalam pameran kekerasan. Akankah Anda menaruh simpati pada seorang ibu yang anaknya dihajar ketika sang ibu ternyata bisa balik menghajar dengan pot bunga, gayung, pisau dapur, dan benda apa saja yang bisa diraih tangannya? Matti memang tampak mengambil posisi lebih netral dalam film ini, dan berfokus pada bagaimana kekerasan, pada akhirnya, memakan korban dari semua kelompok tanpa pandang bulu.<br />
<br />
Pada awal-awal film, para polisi masih berusaha bertindak sebagai "pelindung" rakyat, memastikan agar masyarakat kampung kumuh tersebut tidak terluka. Akan tetapi, ketika kepentingan mulai berbenturan dan tidak ada jalan keluar lain kecuali kekerasan (yang tidak hanya diizinkan, tetapi bahkan disarankan), para polisi pun tidak ragu-ragu menghajar penduduk kampung kumuh tersebut, bahkan para wanita dan ibu-ibu juga tidak luput. Para polisi ini tidak lagi membedakan antara masyarakat biasa dan anggota geng narkoba. Yang mereka pikirkan hanya keluar dari sana, walau itu berarti harus memenggal kepala seorang gadis remaja. Kekerasan adalah satu-satunya bahasa, dan semua orang, bahkan anak-anak, menanggung akibatnya.<br />
<br />
Koreografi kekerasan brutal di film ini sedikit mengikis kedalaman plot. Memang ada plot tentang pencarian dalang pengkhianatan di balik misi satuan ini, namun semuanya terasa dangkal atau terburu-buru. Ketika sang tokoh utama perlahan menguak siapa yang membuat satuannya terbunuh dengan tragis, semuanya selesai terlalu cepat, membuat saya tanpa sadar menyeletuk, "lho, sudah selesai?" Tapi itu tidak jadi masalah, karena Matti menghadiahkan banyak ketegangan dan pasokan adrenalin cukup banyak dalam adegan-adegan aksinya. Dari awal saya toh tidak menonton <i>BuyBust </i>karena ingin melihat kritik sosial. <i>No, I wanna see some action</i>.<br />
<br />
Satu hal lagi yang membuat <i>BuyBust </i>terasa lebih "menyayat" dibandingkan <i>The Raid</i> mungkin adalah realisme di balik pameran kekerasannya. Matti dan timnya membangun replika perkampungan (<i>barangay</i>) seluas 8.000 meter persegi, lengkap dengan detail-detail yang mirip kampung kumuh sungguhan; sebuah mikromosmos urban dari lembaran kardus, seng, kayu rapuh, plastik, lampu-lampu kawat kecil, dan kawat kandang ayam. Tidak ada yang namanya "salju dan penjual mi ayam gerobak." Sinematografer Neil Derrick Bion memasukkan kameranya ke sudut-sudut tersulit kampung buatan tersebut, membuatnya tampak nyaris glamor namun juga gelap di saat yang bersamaan. Beberapa adegan nampak sedikit terlalu gelap, dan efek kamera bergoyang (<i>shaky cam</i>) mungkin akan mencegah Anda menikmati adegan aksi secara maksimal, tetapi hal ini juga tidak terlalu mengganggu keseluruhan suguhan aksi.<br />
<br />
<i>BuyBust</i> mungkin menonjolkan aksi ketimbang cerita, namun penggarapannya membayar tuntas "ketimpangan" tersebut. Anda tidak perlu paham dunia perpolitikan negara tetangga atau bahkan mengerti bahasa Tagalog. Cukup nikmati film ini sebagai kisah <i>survival</i> ketika para karakter yang terperangkap dalam mimpi buruk urban di Manila harus berusaha keluar dengan selamat, bahkan jika itu berarti harus berkelahi di kampung kumuh dengan alat dapur sebagai senjata.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-86375960593590994722018-12-29T10:02:00.001-08:002020-04-16T08:56:52.350-07:00Review: Nobody Knows<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQK5S46mnxjP329dRFLr8g5AWfyGBtnFS5T6Lqq3xVyQJ6_4PqlTc0C8R0WingSjBxeA83k6lyZ6JYPtvEbivdUEEcT1U3dyaS3LTHLW5EaF6OF_n5z3hMWe6noccG2hndO7Ui18kAXEc/s1600/nobody+knows.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjQK5S46mnxjP329dRFLr8g5AWfyGBtnFS5T6Lqq3xVyQJ6_4PqlTc0C8R0WingSjBxeA83k6lyZ6JYPtvEbivdUEEcT1U3dyaS3LTHLW5EaF6OF_n5z3hMWe6noccG2hndO7Ui18kAXEc/s640/nobody+knows.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 2004</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Sutradara: Hirokazu Kore-eda</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Bintang: Yūya Yagira, Ayu Kitaura, Hiei Kimura, Momoko Shimizu, You, Hanae Kan</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>My rate: 5/5</b></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Jika ditanya siapa sutradara Jepang paling legendaris, kebanyakan orang akan spontan menyebut Akira Kurosawa. Tetapi, jika ditanya siapa sutradara Jepang legendaris yang masih hidup, saya akan dengan cepat menyebut Hirokazu Kore-eda. Master dalam menganyam potret adegan kecil kehidupan untuk menceritakan narasi besar secara puitis, Kore-eda mampu menjadikan film bertema serius bahkan tragis menjadi tontonan yang indah dan membius, tanpa memanipulasi emosi. Bahkan jika tema film tersebut adalah "anak-anak yang diabaikan oleh ibu mereka".</div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
<i>Nobody Knows (Dare mo Shiranai) </i>memotret rutinitas empat anak bernama Akira, Kyoko, Shigeru, dan Yuki, yang dibawa ibu mereka hidup berpindah-pindah. Dari keempat anak ini, hanya Akira yang diperkenalkan pada penghuni apartemen atau pemilik bangunan, sementara tiga anak lainnya "diselundupkan" agar tidak terlihat penghuni lain. Keempat anak yang berbeda ayah ini tidak diizinkan sekolah atau bermain di luar, dan sang ibu sering meninggalkan rumah untuk bekerja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Walau menjalani kehidupan tertutup, Akira dan saudara-saudaranya digambarkan saling menyayangi, dan bahkan menemukan kebahagiaan kecil dalam rutinitas harian mereka. Masalah mulai timbul ketika sang ibu tidak lagi kembali ke rumah, dan keempat anak tersebut harus bertahan hidup sendiri sementara uang yang ditinggalkan untuk mereka semakin menipis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Nobody Knows </i>terinspirasi dari kisah nyata, yaitu kasus pengabaian anak di Sugamo, Tokyo, yang terjadi pada tahun 1988. Dalam kasus tersebut, polisi yang bertindak atas laporan warga menemukan tiga anak yang terkurung di sebuah rumah dalam keadaan lemah dan kelaparan, bersama mayat salah satu saudara mereka yang meninggal kelaparan (ada satu anak lagi yang tidak ditemukan). Nuansa tragis kasus tersebut (yang rupanya merupakan <a href="https://www.japantimes.co.jp/news/2014/07/20/national/social-issues/nearly-400-children-abandoned-in-japan-since-2011-survey/#.XCemwVwzbIU" target="_blank">masalah cukup serius </a>di Jepang) jelas mengundang kontroversi dan berbagai spekulasi, walau sang ibu yang bertanggung jawab sudah ditangkap. Akan tetapi, Kore-eda tidak berminat untuk mengulik sisi sensasional dari kasus ini.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kore-eda memiliki pertanyaan unik: dalam hari-hari selama masa pengabaian tersebut, ketika bermain ke luar rumah saja terlarang, apa yang dilakukan anak-anak tersebut sebagai rutinitas mereka? Bagaimana mereka mengatasi kebosanan atau memilih makanan supermarket merek apa yang akan dimakan berikutnya? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah "kekosongan" yang hadir di dalam berita-berita kriminal (yang biasanya hanya berfokus pada hasil akhir serta riwayat korban/pelaku yang ada hubungannya dengan kasus).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan musik pengiring yang relatif irit (dan bahkan bisa dibilang "ceria" dalam saat-saat tertentu), Kore-eda berfokus pada "pot bunga" dari mi gelas yang berderet di balkon, jemuran yang memenuhi apartemen kecil, pemerah kuku yang tumpah di karpet dan tidak mau hilang walau sudah digosok, kaki yang dipaksa masuk ke sepatu kekecilan (adegan sederhana yang dampaknya setara dengan "cerita pendek" Ernest Hemingway:<i> "Baby shoes. For sale. Never worn"</i>). Bahkan sang ibu, yang di sinetron pasti akan dipotret sebagai wanita bengis dengan mata melotot permanen, tidak terlihat seperti "penjahat", dan bicara dengan nada lebih kekanakan dari anak-anaknya sendiri. Hal-hal ini membaurkan batas antara rutinitas normal di keluarga yang tidak normal dengan kasus kriminal, membuat kita menyadari bahwa inilah alasan begitu mudahnya kasus serupa lewat di depan mata tanpa disadari.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kore-eda tidak bermain dengan terlalu banyak penjelasan, tetapi dia memasukkan banyak rincian yang mengizinkan imajinasi penonton untuk bermain tanpa kesulitan, misalnya saat Akira menghitung biaya belanja, listrik, air, dan gas di atas buku latihan matematikanya; sesuatu yang menurut saya sangat efektif dalam menegaskan perannya dalam film tersebut tanpa banyak kata. Kore-era juga memanfaatkan keahliannya mengarahkan aktor cilik nonprofesional, menciptakan kesan alami dalam interaksi antar anak-anak beda ayah yang dipaksa membentuk keluarga kecil mereka sendiri akibat persamaan nasib.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Nobody Knows</i> digarap selama setahun, dan Kore-eda memiliki cara unik dalam menggarap filmnya. Dia akan <a href="http://articles.latimes.com/2005/feb/09/entertainment/et-nobody9" target="_blank">menghabiskan satu musim</a> membuat film di lapangan, lalu menghabiskan beberapa minggu menyunting hasilnya sebelum kembali melakukan syuting pada musim berbeda. Hasilnya adalah kesan alami dalam interaksi para aktor cilik di dalam film tersebut, karena Kore-eda pada dasarnya memotret "perkembangan" mereka selama tinggal bersama (mungkin tidak lepas dari fakta bahwa Kore-eda juga merupakan pembuat film dokumenter).</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sama seperti <i>Shoplifters, Like Father Like Son, After the Storm, </i>dan <i>Still Walking</i>, Kore-eda menggarap <i>Nobody Knows</i> sebagai caranya memandang ulang konsep keluarga tradisional dalam budaya Jepang. Akan tetapi, ini bukan berarti dia membenci konsep keluarga. Sederhananya, menurut Kore-eda,<i> </i>"keluarga itu berharga, tetapi juga merepotkan". Banyak dari kita mungkin bergantung pada keluarga sebagai jangkar psikologis (bahkan finansial), namun ada kalanya suatu peristiwa besar yang memorakporandakan fondasi keluarga tersebut memaksa kita berpikir ulang tentang apa maknanya menjadi bagian dari keluarga. Jika ingin optimis, film-film Kore-eda, pada akhirnya, menunjukkan pada kita bahwa orang-orang yang memiliki asal berbeda ternyata bisa membentuk keluarga versi mereka sendiri jika terdorong keadaan, lengkap dengan segala kesenangan dan tantangannya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-79416197599632198082018-11-13T09:19:00.000-08:002020-04-16T08:57:17.932-07:00Review: The Last Executioner<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVetU69337du8liY0iqFYflc8y9XM5olwMW-G7OtJKXNNz97bbJ7QYH20Zpdsbcp1B85mJ9rLEmsXHtZXuVOtoe2OTxhqFSR-iBBUp9qH80bYNC9WGrF5nBBU8p-d_BINxYeE0n-QBfVU/s1600/the+last+executioner.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="972" data-original-width="1600" height="388" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVetU69337du8liY0iqFYflc8y9XM5olwMW-G7OtJKXNNz97bbJ7QYH20Zpdsbcp1B85mJ9rLEmsXHtZXuVOtoe2OTxhqFSR-iBBUp9qH80bYNC9WGrF5nBBU8p-d_BINxYeE0n-QBfVU/s640/the+last+executioner.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2014</b><br />
<b>Sutradara: Tom Waller</b><br />
<b>Bintang: Vithaya Pansringarm, David Asavanond, Penpak Sirikul, Thira Chutikul, Nirut Sirichanya</b><br />
<b>My rate: 3/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Perdebatan tentang hukuman mati merupakan sesuatu yang tak ada habisnya, tetapi ada satu aspek dari hal tersebut yang mungkin jarang terpikirkan: bagaimana rasanya menjadi algojo? Pelaku eksekusi adalah karakter yang unik dalam sejarah peradaban kita; sifat pekerjaan mereka menjadikan sosok-sosok ini sebagai orang-orang yang "dikagumi" (dalam artian gelap) sekaligus dijauhi. Implikasi psikologis dari membunuh orang sebagai bagian dari sistem legal juga merupakan sesuatu yang menarik untuk dijelajahi. Kompleksitas inilah yang coba dijelajahi oleh Tom Waller dalam <i>The Last Executioner,</i> film tentang petugas eksekusi terakhir Thailand, yang diangkat dari memoar berjudul sama.<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Thailand era 1960-an adalah salah satu lokasi santai favorit prajurit Amerika yang terlibat Perang Vietnam. Chavoret Jaruboon (Pansringarm/Chutikul) mulanya adalah pemuda yang bersemangat mengadopsi kultur <i>rock 'n roll,</i> menghidupi dirinya dengan manggung kesana-kemari, membawakan lagu-lagu <i>rock</i> Barat populer. Ketika dia jatuh cinta dan akhirnya menikah dengan Tew, dia memutuskan melamar menjadi sipir penjara untuk mendapat penghasilan tetap.<br />
<br />
Chavoret menjalani hari-harinya sebagai sipir penjara tanpa gejolak, hingga akhirnya dia diangkat menjadi petugas yang mengawal terpidana mati ke tempat eksekusi. Ketika dihadapkan pada kebutuhan finansial yang lebih besar serta utang keluarga, Chavoret akhirnya menerima tawaran menjadi petugas eksekusi. Chavoret mencoba menjalani kehidupan normal dan tidak membiarkan pekerjaannya memengaruhi keluarganya, namun gejolak batin yang timbul dari metode eksekusi membuat Chavoret tidak bisa mengabaikan jeritan nuraninya.<br />
<br />
<i>The Last Executioner</i>, baik yang versi buku maupun film, menawarkan sudut pandang unik dari seorang algojo yang menjalankan hukuman mati dengan senjata api. Dalam sistem legal, eksekusi semacam ini biasanya melibatkan beberapa penembak sekaligus untuk menamatkan satu narapidana, dengan beberapa senapan dibiarkan kosong sementara yang lainnya diisi peluru. Dengan memerintahkan semua petugas untuk menembak daerah vital (tanpa memberitahu mereka mana senapan yang berisi peluru dan mana yang kosong), penjara bisa memberi mereka ilusi "pembagian tanggung jawab" <i><a href="https://www.verywellmind.com/what-is-diffusion-of-responsibility-2795095" target="_blank">(diffusion of responsibility)</a></i>. Hal ini membantu mengurangi beban psikologis para algojo, karena masing-masing bisa berpikir bahwa "bukan senapanku yang membunuh orang itu". Sebaliknya, eksekusioner Thailand seperti Chavoret hanya sendirian, dan dibekali senapan otomatis untuk melaksanakan tugasnya, sehingga solusi pengurangan beban psikologis itu tidak ada. Inilah salah satu aspek yang coba digali oleh Waller.<br />
<br />
Menggunakan properti berupa senapan semiotomatis M1A1 Thompson serta Heckler & Koch HK33 (yang benar-benar digunakan Thailand untuk mengeksekusi), Chavoret menunjukkan wajah kalem bagaikan pegawai kantoran yang mengerjakan tugas rutin membosankan, walau masa-masa awal tugasnya menampilkan kecanggungan dan kecemasan yang berbuntut pada upaya eksekusi yang berantakan, mirip seperti adegan miris saat Del dieksekusi dengan kursi listrik dan spons kering tanpa sepengetahuan para petugas (kecuali sipir yang dendam padanya) dalam <i>The Green Mile</i>. Waller nampaknya berusaha meminimalisir darah dalam film ini karena ingin lebih berfokus pada cerita tentang karakternya, namun tentu saja Anda tidak bisa menghindari darah jika membuat film tentang eksekusioner yang menggunakan senjata api. Akan tetapi, bayangan sang narapidana yang digiring ke belakang kain putih sebelum letusan keras membuat darahnya terpercik ke permukaan kain menimbulkan kesan visual yang sama menohoknya.<br />
<br />
Vithaya Pansringarm dengan cemerlang menunjukkan perubahan perlahan namun drastis, mulai pemuda penggemar musik rock serta peniru Elvis yang kocak di awal film, hingga menjadi algojo tunggal berseragam warna khaki yang menganggap menembak narapidana hingga mati sama normalnya dengan mengetik laporan piket. Penekanan yang berulang pada kata-kata "tugas" dan "kewajiban" seolah menggambarkan sekaligus mendikte setiap keputusan yang diambil Chavoret. Keputusannya untuk menjadi sipir penjara, membayar utang keluarga, memberi pendidikan baik untuk anak, hingga menerima tugas suram membunuh orang sendirian secara legal semuanya didasarkan pada kewajiban terhadap keluarga, anak, hukum, dan negara. Kita bisa secara jelas melihat kapan dilema moral seorang pembunuh pemula berganti menjadi topeng, lalu rutinitas, dan akhirnya kembali menjadi topeng yang perlahan mulai "retak" karena dilema moral.<br />
<br />
Sedikit kejanggalan pada film ini terletak pada pergeseran tonalnya. Film ini menghadirkan karakter "roh" yang dijadikan representasi perang batin Chavoret. Karakter roh ini digambarkan sebagai pria berjas rapi dengan sifat sedikit nyentrik, dan terkadang terasa kurang cocok dengan suasana keseluruhan film yang gelap dan bertema berat. Film ini juga terkesan "memaksakan diri" untuk menunjukkan tokoh Chavoret yang akhirnya mendatangi biksu untuk meminta kedamaian batin, salah satu upaya "mendongkrak" daya jual kisah pria yang aslinya berkarakter datar dan tidak banyak bicara. Untungnya, hal ini tidak terlalu "mengganggu" saya dalam menikmati filmnya secara keseluruhan.<br />
<br />
Lepas dari beberapa kekurangannya, <i>The Last Executioner</i> menghadirkan pandangan menarik terhadap sosok dengan pekerjaan yang dibenci sekaligus dikagumi dalam semangat antusiasme gelap. Chavoret yang asli memang sudah meninggal, dan hukuman mati tidak lagi menjadi bagian dari hukum Thailand. Akan tetapi, sang sutradara mengambil langkah tepat dengan memotret sang algojo tunggal sebagai bagian dari sistem tanpa berkutat pada pesan moral, sekaligus secara halus menyuruh kita untuk melihat wajah manusiawi di balik tangan yang memegang senjata karena diperintah oleh sistem hukum.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-24750007358220177732018-09-03T10:43:00.002-07:002020-04-16T08:57:49.840-07:00Review: Kinky Boots<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqRxIAN845MZuun_W7v-7bFuMQj-8vCBFUqRbvgnGGHpdIcmmUy7MHD5z7BgWYrCrjTRJ9LpeY4MbS3nvvDg6cgwAbO-CwC0iN0T1VlkRZSav27u6wFlVwx9vxYhXmGY-aXpuzRYUTAR4/s1600/kinky+boots.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiqRxIAN845MZuun_W7v-7bFuMQj-8vCBFUqRbvgnGGHpdIcmmUy7MHD5z7BgWYrCrjTRJ9LpeY4MbS3nvvDg6cgwAbO-CwC0iN0T1VlkRZSav27u6wFlVwx9vxYhXmGY-aXpuzRYUTAR4/s640/kinky+boots.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2005</b><br />
<b>Sutradara: Julian Jarrold</b><br />
<b>Bintang: Joel Edgerton, Chiwetel Ejiofor, Sarah-Jane Potts, Nick Frost, Jemima Rooper, Robert Pugh</b><br />
<b>My rate: 3/5</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Stereotip masyarakat Inggris yang serba kaku dan cenderung tidak tahu apa-apa di luar dunia kecil mereka sendiri kerap menjadi bahan komedi, begitu mudahnya sampai-sampai saya bisa dengan cepat menebak apa inti dari <i>Kinky Boots </i>bahkan saat filmnya baru mulai: kekakuan masyarakat konservatif + sesuatu yang dipandang nyentrik atau tidak konvensional = komedi. Untungnya, di luar jalan cerita yang sepintas formulaik, film ini masih menyajikan kesenangan dari kisah yang cukup menarik, adegan komedik khas Inggris yang tidak berlebihan, serta, tentu saja, penampilan Chiwetel Ejiofor yang mencuri semua perhatian.<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Charlie (Edgerton) adalah putra pemilik pabrik sepatu pria yang sukses di Northampton. Setelah ayahnya meninggal, pabrik tersebut mulai mengalami penurunan produksi, dan terancam tutup. Di tengah kebingungan itu, Charlie melihat seorang wanita transgender, Lola (Ejiofor), tengah diganggu oleh sekelompok pria, dan maju untuk menolongnya. Lola merawat luka Charlie di kelab malam tempatnya bekerja sebagai <i>drag performer,</i> dan Charlie melihat Lola mengeluh tentang sepatu hak tingginya yang sering patah setelah dipakai manggung beberapa kali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Charlie kemudian mendapat ide mengubah pabrik ayahnya menjadi pabrik sepatu dengan pangsa pasar unik: sepatu hak tinggi aneka rupa khusus untuk <i>drag show, </i>dengan desain khusus yang bisa menahan berat badan pria. Bersama asistennya, Lauren (Potts), Charlie membujuk Lola untuk bekerja sama mendesain sepatu-sepatu tersebut. Charlie dan Lola pun harus berjuang melawan penolakan sebagian karyawan pabrik serta tunangan Charlie, Nicola (Rooper), sekaligus mengincar panggung peragaan sepatu ternama di Milan sebagai jalan kesuksesan pabrik tersebut.<br />
<br />
<i>Kinky Boots</i> bermain di ranah yang mirip dengan film-film seperti <i><a href="https://gubuksinema.blogspot.com/2016/08/calendar-girls.html" target="_blank">Calendar Girls</a> </i>dan <i><a href="https://gubuksinema.blogspot.com/2017/05/the-full-monty.html" target="_blank">The Full Monty</a></i>. Dan ya, bahkan <i>Mr. Bean</i>! Bayangkan saja gambaran familiar sosok-sosok kolot dan konservatif yang mendadak dihadapkan pada sesuatu yang menurut mereka terlalu "di luar sana", seperti ibu-ibu paruh baya di kota kecil yang menjadi model kalender bugil, pekerja pabrik berbodi tidak ideal yang menjadi penari erotis setelah kena PHK, atau pria nyentrik kekanak-kanakan yang kerjanya membikin kacau di hotel, restoran mewah, dan bahkan gereja. Kekontrasan "aksi" dan "reaksi" yang terjadi adalah efek komedik yang diincar. Tentu saja, hal ini bisa berhasil, bisa juga meleset.<br />
<br />
Dalam hal <i>Kinky Boots,</i> efeknya <i>"fifty-fifty"</i>. Ide ceritanya sangat menarik, tetapi saya sebenarnya berharap bisa melihat lebih banyak subkultur <i>drag queen </i>di kota kecil macam Northampton, dan itu tidak terjadi. Fokus pada pabrik sepatu konvensional yang banting setir sebenarnya juga menarik perhatian, tetapi film ini sayangnya seringkali malah terlalu berfokus pada konflik pribadi Charlie, bukan dirinya sebagai pemilik pabrik sepatu yang sedang menjajal area bisnis baru. Akibatnya, ada menit-menit yang terasa seperti terbuang-buang ketika kamera lebih doyan menyorot Charlie yang duduk bengong sambil "merenung" atau mengobrol (dan bertengkar dengan tunangannya), bukannya dirinya yang sibuk di pabrik yang sedang berganti haluan bisnis.<br />
<br />
Klimaks film ini sebenarnya menarik secara visual, tetapi ketika melihat pendekatan realistis yang digunakan di sebagian besar durasi film, endingnya sedikit terasa bombastis, nyaris seperti sebuah solusi ajaib yang datang mendadak. Formula filmnya juga terasa familiar untuk penonton yang sudah akrab dengan drama komedi Inggris, jadi tanpa sesuatu yang baru untuk ditawarkan, film ini nyaris tidak menonjol walau temanya menarik.<br />
<br />
Tapi, film ini tidak seburuk itu. Terkadang, jalan cerita yang formulaik justru menjadi pilihan saya saat sedang ingin menenangkan pikiran dengan tontonan yang tidak terlalu membikin pusing atau depresi. Komedi Inggris memberikan kesenangan tersebut karena pendekatan lawakannya tidak terlalu bombastis atau kejeblos ke arena <i>slapstick</i>. Tepuk tangan juga harus saya berikan kepada Chiwetel Ejiofor. Walau dengan tubuhnya yang besar dan berotot (karakter Lola digambarkan dipaksa berlatih tinju oleh ayahnya ketika dia ketahuan senang mencoba pakaian wanita), Ejiofor berhasil menunjukkan kepribadian berbeda saat di panggung serta di kehidupan sehari-hari. Sebagai Lola, dia elegan, sarkastik, cerdas, dan bermulut tajam, tetapi dengan setitik kelembutan yang hadir dari kepribadian sensitif serta rasa rendah diri masa kecil.<br />
<br />
Ejiofor sebagai Lola juga membawakan beberapa lagu dalam penampilannya di film, lengkap dengan grup The Blue Angel yang memeriahkan setiap lagunya. Penampilan Lola ini bahkan berperan besar dalam adegan klimaks, sesuatu yang membuat saya tetap menikmati bagian akhir film ini walau ada kekurangannya. Begitu berkesannya penampilan Ejiofor dalam film tersebut, dan begitu unik idenya, sehingga film ini dijadikan drama musikal di Broadway oleh Harvey Fierstein dan Cindy Lauper.<br />
<br />
Adegan percakapan antara Lola dan Charlie juga menghadirkan nuansa dalam film ini. Ada satu adegan di mana Lola, yang sedang sakit tenggorokan, menghabiskan waktu di ruangan tempat staf Charlie menyimpan sepatu-sepatu produk gagal. Charlie yang sedang lembur melihat Lola duduk sendirian di sana dan bertanya ada apa, dan Lola menjawab bahwa dia "merasa seperti di rumah saat duduk di sini". Lola memberi nuansa baru pada karakter Charlie yang terkesan agak datar, dan Charlie mengeluarkan semua potensi karakter Lola untuk dilihat penonton.<br />
<br />
Intinya? <i>Kinky Boots </i>bukan karya adiluhung, tetapi juga tidak buruk, sama seperti cemilan manis murah yang sudah jarang Anda beli ketika indra pengecap semakin berubah seiring bertambahnya usia. Anda mungkin eneg kalau memakannya terlalu banyak, tetapi bolehlah sesekali dikunjungi ketika kepingin.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-28729454482510639122018-08-23T11:49:00.001-07:002020-04-16T08:58:24.454-07:00Review: A Prophet<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3N0qhFAMaYHNEELswx7dLnoLTpkfwTI44VoZ4x4dHedhsbPBHKEeqm3lZ8ZM8__eyRspSTUk6ySdTphv3Ojb_B5qGhzv5qLJQ3EjKoti0-5mjwyM4Uy3ZcqKk3o_pDCR8ySewN7w2EWA/s1600/a-prophet-movie.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh3N0qhFAMaYHNEELswx7dLnoLTpkfwTI44VoZ4x4dHedhsbPBHKEeqm3lZ8ZM8__eyRspSTUk6ySdTphv3Ojb_B5qGhzv5qLJQ3EjKoti0-5mjwyM4Uy3ZcqKk3o_pDCR8ySewN7w2EWA/s640/a-prophet-movie.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 2009</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Sutradara: Jacques Audiard</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Bintang: Tahar Rahim, Niels Arestrup, Adel Bencheriff, Reda Kateb, Jean-Philippe Ricci</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>My rate: 4/5</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Kata "Paris" mungkin membangkitkan citra serupa di benak banyak orang: Menara Eiffel, musik akordeon, kafe-kafe pinggir jalan, dan roti <i>baguette</i>. Padahal, bagi banyak orang lainnya, Paris mungkin pesing, dingin, tidak ramah pejalan kaki, dan segudang citra lainnya yang jelas tidak akan berakhir sebagai ilustrasi manis di sampul jurnal perjalanan imut-imut. Dan tentu saja, Paris punya arti berbeda bagi para narapidana imigran di dalam sistem penjaranya, walau beberapa di antaranya mungkin justru berhasil memahat kehidupan di mana mereka bisa "berkuasa", terutama di tempat di mana segalanya yang disisihkan masyarakat disingkirkan. <i>A Prophet</i> adalah cerminan hal itu; keras, realis, memukau tanpa menggurui, dan mungkin akan membuat Anda mau tidak mau malah mengagumi sosok di balik label "sampah masyarakat". </div>
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Malik El Djebena (Rahim) adalah "domba di tengah serigala" saat dirinya masuk penjara. Buta huruf, kurus, pemalu, dan baru berusia 19 tahun, dia berusaha membuat dirinya tidak menyolok di penjara Paris yang saat itu dikuasai beberapa kelompok geng, terutama dari etnis Corsica, Arab, dan Afrika Utara. Sialnya, kehadirannya justru dilirik oleh César Luciani (Arestrup), kepala mafia Corsica yang terus menjalankan kerajaan bisnis hitamnya bahkan dari dalam penjara. Luciani memanfaatkan kepolosan dan sikap ketakutan Malik untuk menjalankan misi kotornya: membunuh Reyeb, seorang narapidana Arab yang akan menjadi saksi memberatkan bagi Luciani dengan iming-iming potongan masa tahanan. Luciani menjanjikan perlindungan bagi Malik jika dia berhasil melakukannya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Malik, yang tidak punya pilihan dan bersedia melakukan apa saja demi rasa aman, setuju untuk belajar cara membunuh Reyeb (anak buah Luciani mengajarinya menyimpan silet di dalam mulut tanpa menghalanginya bicara, dan mengeluarkannya dengan cepat sebelum menyayat leher Reyeb). Pembunuhan itu berhasil, dan Malik menjadi anak buah Luciani. Walau sering dihina dan dihujat oleh para anggota geng dari semua etnis (termasuk oleh Luciani sendiri), Malik perlahan-lahan mengasah dirinya dan meningkatkan rasa percaya Luciani padanya. Ketika Malik akhirnya berteman dengan Riyad (Bencheriff), salah satu anggota geng Arab yang menderita kanker serta mengajarinya membaca, Malik harus memutuskan apakah dia mau terus menjadi anak buah Luciani, atau mengambil risiko dan menerapkan apa yang telah dipelajarinya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, walau bertaruh nyawa.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<i>A Prophet </i>adalah antitesis untuk film-film yang mengusung gambaran Paris ala kartu pos, macam <i>Amelie</i> atau <i><a href="https://gubuksinema.blogspot.com/2016/12/de-vrais-mensonges.html" target="_blank">De Vrais Mensonges</a></i>. Film ini jauh lebih mendekati <i>Measure of a Man, Two Days One Night, Rosetta,</i> atau <i><a href="https://gubuksinema.blogspot.com/2017/08/polisse.html" target="_blank">Polisse</a></i>, yang menunjukkan kisi-kisi kehidupan di Paris secara lebih natural, dengan segala rutinitas membosankan sehari-hari maupun realita problem sosialnya. Penjara Paris jelas bukan topik bahasan yang populer di kalangan <i>Francophile</i> alias pencinta segala sesuatu yang berbau Prancis, tetapi ada banyak cerita menarik yang bisa diusung ke layar lebar. Jacques Audiard sendiri berkata bahwa dia berniat membuat film dengan karakter atau ikon yang biasanya <a href="https://web.archive.org/web/20100608224440/http://www.cinemotions.com/modules/Interviews/interview/72081" target="_blank">tidak hadir dalam tradisi sinema Prancis</a>, walau dia lebih suka berfokus pada aspek sinematik ketimbang politik.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Aspek sinematik ini benar-benar tampak dalam atmosfer film. Situasi penjara yang disorot Audiard nampak mengungkung, suram, sistematis, dengan rona putih kelabu yang mendominasi visual. Rutinitas seperti memeriksa tubuh dan menanyai napi baru, absensi saat ada yang keluar dari ruangan, riuhnya bengkel kerja seperti dapur, kelas belajar menjahit dan ruang penatu, deretan kamar mandi sempit dengan lubang-lubang kecil yang digunakan para napi untuk diam-diam berbisik dan bertransaksi gelap, hingga kelas pelajaran membaca disorot dengan keintiman seolah kita ikut berada di dalamnya. Kamera yang tidak statis mengingatkan pada keintiman visual yang dihadirkan Abdellatif Kechiche di <a href="https://gubuksinema.blogspot.com/2016/10/blue-is-warmest-color.html" target="_blank"><i>Blue is the Warmest Color</i></a>. Audiard memang tidak diizinkan syuting di penjara sungguhan, tetapi sebagai gantinya, dia menggunakan sebuah bangunan kosong bekas pabrik untuk membangun set penjara, dengan beberapa mantan narapidana sebagai konsultannya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Tetapi, yang paling mencuri perhatian di sini tentu saja penampilan Tahar Rahim sebagai Malik. Transformasi karakternya mengingatkan saya pada karakter Jake Gyllenhaal dalam <i>Nightcrawler. </i>Mereka sama-sama "mulai dari bawah", dan sama-sama berkecimpung dalam lingkungan yang biasanya dipandang dengan kening berkerut oleh masyarakat (geng dalam <i>A Prophet,</i> media sensasional dalam <i>Nightcrawler</i>). Bedanya, karakter Gyllenhaal lebih asertif dengan setitik bayangan energi yang siap meledak bahkan sejak awal film. Malik lebih pendiam dan menarik diri, yang wajar karena dia mengawali film sebagai "pendatang baru" di penjara yang tidak ramah. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Melihat Malik berjuang mendapat tempat di penjara membuat saya sulit memalingkan wajah. Dia melakukan "misi pertama" yang sadis lebih karena dia tidak punya pilihan (adegan ketika dia mencoba berlatih mengemut silet di bawah lidah di kamar mandi sungguh "menyayat"). Jaminan keamanan dari Luciani dan gengnya adalah satu-satunya hal yang membuatnya bisa bertahan hidup di penjara, walau sebagai gantinya, dia jadi sering menerima perlakuan kasar bahkan rasis. Sialnya, kedekatan dengan geng Corsica ini (yang dilakukan karena terpaksa) justru membuat Malik menjadi bulan-bulanan di kalangan anggota geng Arab, yang secara etnis, bahasa, dan latar belakang sebenarnya lebih dekat dengannya. Malik pun menjadi individu yang terombang-ambing di dalam penjara, dan matanya beberapa kali melempar pandangan mendamba pada orang-orang yang ramai bercakap dengan bahasa yang dikuasainya di seberang lapangan penjara.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Tetapi, Malik bukan sosok pasif. Dia memang pendiam, tetapi mata dan telinganya terus waspada, berusaha menangkap setiap kesempatan untuk melepaskan dirinya dari keterpaksaan menjadi pesuruh dengan nasib tidak jelas. Hal sederhana seperti belajar membaca dengan buku alfabet sekelas murid SD pun bisa dijadikan Audiard sebagai bagian dari <i>"training montage"</i>, terutama ketika Malik menyadari bahwa dia bisa mencuri kesempatan untuk memahat jalan bagi dirinya sendiri jika dia menguasai baca tulis. Karena karakternya memang tidak (bisa) banyak bicara, Tahar Rahim banyak mengandalkan bahasa tubuh dan ekspresi untuk membawakan perannya. Matanya, menurut saya, bisa menggambarkan ketakutan, ketakjuban, kebulatan tekad, keraguan, dan keriangan mirip anak-anak bahkan tanpa banyak dialog.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Niels Arestrup sebagai Luciani juga gemilang sebagai bos geng Corsica yang ditakuti dan dihormati anak-anak buahnya. Di depan Malik, dia memasang wajah garang dan berkuasa, dan bahkan dia biasa mengedikkan dagu saja untuk memanggil Malik. Akan tetapi, Audiard tidak ragu menyelipkan rona-rona kerapuhan dalam karakter Luciani, yang menyadari bahwa jaringan bisnis gelapnya yang luas tidak berarti apa-apa tanpa kebebasan. Kehidupan penjara yang mengisolasi membuat kita sebagai penonton ikut abai terhadap situasi politik di luar penjara, namun ketika suatu kabar kebijakan presiden Prancis terkait narapidana Corsica menyeruak, barulah Luciani, Malik, dan kita semua menyadari bahwa kekuasaan bos geng ini ternyata rapuh. Luciani pun terombang-ambing antara rasa berkuasanya atas Malik serta kesadaran bahwa dia, sedikit banyak, menyadari bahwa dirinya lebih tergantung pada Malik dari yang dikiranya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Ada begitu banyak yang bisa dibaca dari film ini. Mungkin ada yang berniat menjadikannya sebagai kritik terhadap keburukan sistem penjara Paris. Ada juga yang mengaitkannya dengan isu imigran, baik dari sudut pandang sosiologi, politik, maupun psikologi. Ada yang tertarik membahasnya dari segi yang lebih personal, terutama rasa terombang-ambing Malik saat dirinya merasa tidak punya tempat di penjara yang dikuasai kelompok Corsica maupun Arab, perasaan tercabik yang sama yang kerap dirasakan para imigran, diaspora, atau kaum berdarah campuran di berbagai negara. Saya sendiri tidak akan pernah bisa mengatur interpretasi tertentu yang muncul di benak setiap penonton film ini. Akan tetapi, paling tidak, kita mungkin bisa sepakat bahwa drama thriller Prancis ini berhasil menyampaikan ceritanya tanpa menggurui, berceramah, berteriak-teriak, atau terlalu gamblang dalam bermain simbolisme politis.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-32445161115390072832018-06-11T09:22:00.000-07:002020-04-16T08:57:04.052-07:00Review: Farewell My Concubine<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihC2HsZsbltC5mdayq0Zeh8CtN5nYIAKJof0RlExyxT5FllhCYdObL_fztcRIYulJDL2WdIN7JxlnzFnc1AF4xVGXUlKkjHuBbjzCIh5YGI9vR4PAzqLZjvt3m5lpA6oreWzjCgPOaDmQ/s1600/farewell+my+concubine.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEihC2HsZsbltC5mdayq0Zeh8CtN5nYIAKJof0RlExyxT5FllhCYdObL_fztcRIYulJDL2WdIN7JxlnzFnc1AF4xVGXUlKkjHuBbjzCIh5YGI9vR4PAzqLZjvt3m5lpA6oreWzjCgPOaDmQ/s640/farewell+my+concubine.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 1993</b><br />
<b>Sutradara: Chen Kaige</b><br />
<b>Bintang: Leslie Cheung, Zhang Fengyi, Gong Li</b><br />
<b>My rate: 5/5</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<i>Farewell My Concubine</i> mungkin mengisahkan tentang lika-liku kehidupan aktor Opera Peking, lengkap dengan sedikit bumbu cinta segi tiga (kalau mau dibilang begitu), tetapi tema yang terasa familiar ini dibingkai oleh kisah yang lebih besar, yaitu masa-masa paling bergejolak dalam sejarah Cina modern. Lewat sudut pandang Dieyi dan Xiaolou, dua bintang Opera Peking dengan sifat yang saling bertolak belakang, <i>Farewell My Concubine</i> mengambil frase "kehidupan menyerupai seni" (<i>life mimics art</i>) dan menuangkan kisah dua sahabat ini ke dalam film yang mengaburkan batas antara kisah di atas panggung dan kehidupan nyata.<br />
<a name='more'></a><br />
Memadukan kemegahan ala panggung Opera Peking dengan kesuraman ala novel-novel Charles Dickens, <i>Farewell My Concubine</i> dibuka dengan keriuhan yang disusul realisme suram: sebuah kelompok opera menampilkan pertunjukan jalanan yang disambut meriah, dan seorang pelacur miskin yang menyerahkan anaknya ke sebuah grup opera. Si pemilik opera menolaknya karena si anak memiliki jari ekstra, namun setelah si ibu memotong jari tersebut dengan pisau daging, pemilik opera bersedia menerimanya. Anak tersebut, Douzi, akhirnya diterima masuk grup dan menjadi dekat dengan seorang bocah yang lebih tua bernama Shitou.<br />
<br />
Douzi dan Shitou dilatih dengan keras untuk peran-peran yang sesuai dengan karakteristik mereka: Douzi yang berwajah halus dan bersuara lembut mendapat spesialisasi peran-peran wanita <i>(dan)</i>, sedangkan Shitou yang lebih tinggi dan agresif memerankan ksatria atau raja. Mereka tumbuh menjadi pemain opera ternama dengan nama panggung Dieyi (Douzi) dan Xiaolou (Shitou), dan tetap bersahabat dekat. Akan tetapi, Xiaolou mulai dekat dengan seorang pelacur bernama Juxian dan bahkan ingin menikahinya, membuat hubungannya dengan Dieyi merenggang. Selain terlibat dalam hubungan cinta-benci yang rumit, ketiga karakter ini juga harus berhadapan dengan gejolak perubahan zaman saat melalui peristiwa-peristiwa besar yang menandai sejarah Cina modern, seperti Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan Revolusi Budaya.<br />
<br />
<i>Farewell My Concubine</i> adalah film yang dari awal sampai akhir menguarkan satu kata: ambisius! Chen Kaige berhasil memadukan elemen melodrama, kemegahan audio visual, kisah persahabatan dan cinta, tragedi, serta fiksi sejarah ke dalam film berdurasi hampir tiga jam ini. Chen Kaige sendiri memang orang yang tepat untuk menggarapnya: dia familiar dengan Revolusi Budaya, pernah menjadi anggota Pengawal Merah dan buruh di daerah pedesaan, dan tidak asing dengan grup Opera Peking. Walau film ini menawarkan kemegahan visual dan lompatan periode yang cukup tajam di beberapa bagian (pembagian film ini dibuat seperti perpindahan adegan dalam drama panggung), Chen Kaige tidak meninggalkan aspek realisme yang intim dalam kehidupan para tokohnya. Hal ini terutama ditunjukkan dalam bagian awal film yang mencakup tumbuh besarnya Dieyi dan Xiaolou di grup opera.<br />
<br />
Sejarah modern dalam film ini ditunjukkan sebagai sesuatu yang penuh kekacauan, tidak bisa ditebak, dan mampu mengubah sifat serta kondisi manusia yang terlibat di dalamnya dalam sekejap. Jika orang-orang yang relatif punya kekuasaan saja tidak berdaya di hadapan pusaran sejarah, bagaimana dengan mereka yang hanya berusaha menenggelamkan diri di dunia yang mereka bangun sendiri? Dieyi dan Xiaolou ingin menjadi pemain opera hebat. Juxian ingin lepas dari kehidupan sebagai pelacur dengan membangun keluarga baik-baik. Tetapi, pusaran sejarah menyeret mereka masuk ke dalamnya, mengubah kehidupan masing-masing secara drastis, dan membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Hal ini merupakan tren penceritaan para sineas Generasi Kelima Cina; mereka yang mengeksplorasi gaya-gaya lebih beragam dalam mengisahkan dampak gejolak politik Cina modern pada masyarakatnya, terutama setelah sineas generasi sebelumnya banyak memotret aspek traumatis dari pengekangan berlebih pada era Revolusi Budaya.<br />
<br />
Leslie Cheung sebagai Dieyi dengan lincah berpindah antara menyembunyikan dan mengekspresikan gelombang emosinya. Terkadang dia melontarkan kata-kata sindiran tajam, mengekspresikan rasa sukanya pada Xiaolou sambil berusaha mengendalikan diri agar tidak kelepasan melontarkan perasaan sebenarnya demi menjaga persahabatan, hingga menggunakan bahasa tubuh seperti lirikan diam-diam atau gerakan tangan tersamar. Walau Dieyi digambarkan tertarik pada Xiaolou, yang telah menjadi sahabat, pelindung, serta <i>"opposite attract"</i> dirinya sejak kecil, gaya penceritaan film ini membuat kita bertanya-tanya apakah itu wujud rasa cinta atau obsesi Dieyi dalam mempertahankan fantasi panggungnya di dunia nyata. Lebih jauh, nuansa tragis film ini semakin terasa nyata ketika berita <a href="http://www.scmp.com/magazines/post-magazine/short-reads/article/2139425/leslie-cheungs-suicide-how-king-canto-pops-death" target="_blank">bunuh dirinya Leslie Cheung </a>merebak, satu dekade setelah film ini dirilis.<br />
<br />
Lakon <i>Farewell My Concubine,</i> yang digambarkan menjadi pertunjukan andalan Dieyi dan Xiaolou, menjadi pengikat kisah dalam film ini, baik sebagai motif maupun <i>setting</i>. Sama seperti <i><a href="https://gubuksinema.blogspot.com/2017/03/todo-sobre-mi-madre.html" target="_blank">Todo Sobre Mi Madre</a></i>-nya Almodovar yang membaurkan film klasik <i>All About Eve</i> ke dalam dinamika kisah tokoh-tokohnya, Dieyi seolah selalu berusaha menjaga agar lakon tersebut tetap berlangsung hingga ke luar panggung, sehingga batas antara pertunjukan panggung dan kehidupan nyata seolah melebur baginya. Lihatlah adegan pertunjukan pertama <i>Farewell My Concubine</i> saat Dieyi dan Xiaolou sudah menjadi aktor sukses, dan perhatikan ekspresi wajah Dieyi (yang berperan sebagai selir) saat menyambut kedatangan Xiaolou (yang berperan sebagai kaisar serta kekasihnya). Ekspresi wajah Xiaolou tidak terlihat karena tertutup cat wajah hitam-putih, namun ekspresi memuja dari Dieyi begitu gamblang, sama sekali tidak terasa bagai akting.<br />
<br />
Gong Li sebagai Juxian juga menunjukkan dimensi akting yang luas. Dia ditampilkan sebagai pelacur keras hati di awal, namun perlahan menunjukkan kecerdikan yang membuat dirinya mampu tegar melewati berbagai gejolak peristiwa politik yang mempengaruhi kehidupannya, Xiaolou, dan Dieyi. Juxian bisa menampilkan sosok wanita "rapuh", tangguh, berharga diri tinggi, lembut hati, hingga terpuruk, dan masing-masing ditunjukkan Gong Li dengan sangat meyakinkan. Juxian dan Dieyi pada akhirnya memang bisa akur, namun ketika perubahan zaman melindas kehidupan yang coba mereka bangun, pengkhianatan justru datang dari sumber yang tidak disangka-sangka.<br />
<br />
Menonton <i>Farewell My Concubine</i> tidak terasa seperti menonton film, tetapi sebuah drama panggung epik yang merentangi berbagai zaman, lengkap dengan gejolak emosi yang tergambar sempurna lewat warna-warni cerah serta set panggung gemerlap. Ketika batas antara lakon panggung dan kehidupan nyata mulai melebur bagi karakter utamanya, saat itu juga film ini membuktikan bagaimana karya seni dan kehidupan nyata tidak banyak berbeda. Lebih jauh, <i>Farewell My Concubine </i>adalah rekaman sejarah berwujud fiksi, namun tidak melupakan potret mikro kehidupan para pelakonnya.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-72106119053772985802018-04-29T10:58:00.000-07:002020-04-16T08:59:01.200-07:00Review: Loveless<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiw8M6OyCgIQpc0ZV6BjQr0fwyttLy8sNG7o3AadwcH1oXu67oRPQiwPFC5hNZ3ko2XQ3lnLubZT7XSI0uZqAyhy-J7sZEVG7FIr0BW96v5YSKGE7JDc7WEAUt2OLJjJq6p22S-c5j-JdA/s1600/loveless_russian+movie.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiw8M6OyCgIQpc0ZV6BjQr0fwyttLy8sNG7o3AadwcH1oXu67oRPQiwPFC5hNZ3ko2XQ3lnLubZT7XSI0uZqAyhy-J7sZEVG7FIr0BW96v5YSKGE7JDc7WEAUt2OLJjJq6p22S-c5j-JdA/s640/loveless_russian+movie.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 2017</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Sutradara: Andrey Zvyagintsev</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Bintang: Maryana Spivak, Aleksey Rozin, Matvey Novikov, Marina Vasilyeva</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>My rate: 4/5</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jika saya harus menempelkan satu kata sifat ke film-filmnya Andrey Zvyagintsev, mungkin itu adalah "suram". Bukan hanya karena flm-filmnya memelintir adegan kehidupan domestik menjadi kritik sosial tersamar terhadap iklim negaranya, tetapi juga karena berbagai gradasi abu-abu yang sepertinya menjadi salah satu <i>tone </i>warna favoritnya. <i>Loveless</i> juga tidak berbeda, walau Zvyagintsev memutuskan untuk meningkatkan intensitas dalam film ini dengan mencomot tema yang menohok: pengabaian anak yang berbuntut pada hilangnya dirinya secara misterius.<br />
<a name='more'></a><br />
<i>Loveless </i>dibuka dengan sorotan jarak jauh ke adegan bubaran sekolah. Seorang anak lelaki bernama Alyosha (Novikov) terlihat mengambil rute jauh melintasi hutan kecil dan danau, dan terlihat tidak ingin buru-buru pulang. Adegan mendadak berpindah ke rumahnya, di mana orang tuanya, Boris (Rozin) dan Zhenya (Spivak) sedang dalam proses menjual rumah karena perceraian. Boris dan Zhenya digambarkan tidak akur, dan mereka saling lempar tanggung jawab soal siapa yang akan mengasuh Alyosha.<br />
<br />
Setelah menghabiskan waktu dengan pasangan masing-masing, Zhenya menyadari kalau Alyosha hilang (tepat setelah adegan pulang sekolah di awal). Menyadari bahwa mereka akan mengalami masalah dengan Ombudsman dan bahkan pemerintah (dan mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan baru), Zhenya dan Boris memutuskan melapor polisi. Ketika pencarian dan penyelidikan yang semakin mendalam tidak juga berujung pada penemuan Alyosha, Zhenya dan Boris semakin tenggelam ke dalam lingkaran konflik, baik antar mereka maupun secara pribadi.<br />
<br />
<i>Loveless</i> memang bertema hilangnya seorang anak, tetapi Alyosha sendiri hanya muncul di dalam sedikit sekali adegan, sebelum lenyap selamanya dari pandangan orang tuanya dan penonton. Kita sama tidak tahunya dengan Boris dan Zhenya soal nasib Alyosha sebenarnya. Apakah dia kabur karena tidak tahan dengan fakta bahwa dia tak dicintai? Apakah dia jatuh ke danau? Mungkin bunuh diri? Zvyagintsev membiarkan semua pertanyaan tersebut menggantung, dan kita semua tersiksa bersama Boris dan Zhenya sepanjang film.<br />
<br />
Setiap anak berhak mendapatkan kasih sayang dan perhatian, itu jelas, tetapi terlalu muluk untuk membayangkan bahwa setiap anak yang hadir dalam pernikahan pasti lahir karena cinta. Zhenya dan Boris tidak menyensor kata-kata mereka soal anak mereka. Zhenya dengan telak menjungkirbalikkan konsep "semua ibu pasti sayang anaknya" dengan kata-kata seperti "Aku tidak menginginkan dia, aku hampir mati ketika melahirkannya, aku bahkan tidak menghasilkan ASI... Baunya lama-lama mirip ayahnya". Boris, tipikal karakter pasif-agresif yang selalu berusaha menyelamatkan diri sendiri, juga sama saja. Kekhawatirannya bukan soal anaknya, tetapi lebih karena prospek memulai hidup baru dengan kekasih yang lebih muda akan hilang. Dia juga takut kehilangan pekerjaan, karena bosnya adalah sosok religius ekstrem yang siap memecat karyawan mana saja yang ketahuan bercerai atau punya masalah keluarga (sesuatu yang ditekankan sekaligus dikritik habis-habisan oleh Zvyagintsev).<br />
<br />
Pengaruh Michael Haneke terlihat samar-samar dalam <i>Loveles</i>s, mulai dari <i>shot </i>pembuka yang diambil dengan sudut pandang lebar dari jarak jauh sehingga terlihat impersonal, hingga penekanan pada aktivitas sehari-hari serta kegiatan domestik yang sekilas terlihat hampa untuk menunjukkan makna tersirat, mirip seperti <i>The Seventh Continent</i>-nya Haneke yang hanya berupa sorotan tanpa dialog panjang ke kegiatan sehari-hari sebuah keluarga kelas menengah di Austria, sebelum temponya semakin naik di 15 menit terakhir dan akhirnya ditutup secara brutal. Tapi, Zvyagintsev tidak bermain-main dengan "kenakalan kreatif" macam Haneke, melainkan memilih realisme brutal tanpa tedeng aling-aling, dengan empati dan kehangatan yang seolah lenyap dari semua karakternya.<br />
<br />
Zvyagintsev juga mengangkat tema-tema yang beberapa kali muncul dalam film-filmnya sebelumnya, seperti <i>Leviathan</i> dan <i>Elena: </i>Ketidakbecusan pejabat, hilangnya empati, hingga kebobrokan sistem yang membuat rakyat tidak puas. Ombudsman dan polisi dalam <i>Loveless </i>digambarkan sebagai sosok-sosok tidak kompeten, yang menjalankan prosedur tanpa mempertimbangkan aspek manusiawi dari hidup bermasyarakat. Bos Boris menerapkan aturan semena-mena berdasarkan aturan religius ketat, dan tidak ada yang berani protes karena pekerjaan terlalu berharga. Zhenya terobsesi dengan kehidupan glamor serta bernafsu mendaki tangga sosial, melarikan diri ke media sosial hampir setiap saat, dan tidak ragu menanggalkan semua masa lalu, termasuk anaknya, untuk memulai hidup baru dengan pria kaya.<br />
<br />
Zvyagintsev juga dengan piawai menggunakan set dan adegan-adegan kecil sebagai cara untuk merefleksikan sesuatu yang lebih besar. Isolasi para karakternya digambarkan lewat "bingkai" sempit seperti ambang pintu yang setengah terbuka, jendela, atau bayang-bayang gelap. Sorotan perspektif ke lorong kantor Boris yang modern dan efisien tetapi hampa dipertegas dengan sesosok karyawan yang diam-diam bermain Solitaire saat dia seharusnya bekerja. Ketika Zhenya bersandar telanjang pada jendela kaca rumah mewah si pria kaya setelah bercinta, posenya lebih terlihat disengaja ketimbang spontan, seolah menegaskan pribadinya sebagai sosok yang terobsesi citra. Dalam hal ini, saya bilang Zvyagintsev justru agak lebih mirip <a href="https://gubuksinema.blogspot.co.id/2017/02/firework-wednesday.html" target="_blank">Asghar Farhadi</a>, terutama dalam hal penggunaan rumah sebagai bingkai adegan sekaligus simbol kondisi karakternya, serta penekanan pada situasi domestik dengan kemungkinan interpretasi politis dan kultural yang luas.<br />
<br />
Pada akhirnya, <i>Loveless</i> bisa dinikmati dengan berbagai cara, baik sebagai drama biasa maupun komentar sosial-kultural-politis tersamar (apalagi setelah skandal pemilu AS yang melibatkan pemerintah Rusia, yang semakin menjadikan negara tersebut seolah entitas raksasa misterius, bukannya negara dengan masyarakat biasa yang juga punya masalah dan ketidakpuasan mereka sendiri). Tetapi, mau bagaimanapun Anda menontonnya, <i>Loveless </i>tetaplah sebuah eksplorasi suram tetapi indah terhadap sekelompok karakter tak simpatik yang terlempar ke pusaran kebingungan dan kegelisahan yang mungkin sangat relevan bagi siapa saja dalam kultur masa kini.<br />
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-68934904902332247382018-02-25T22:18:00.001-08:002022-05-19T07:01:29.773-07:00Review: The Bacchus Lady<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8os4Di2OONvGJrvFskpwdYpmaxPjhhKV4PxxBvH-ROZA93BweDW4x_RFmtyL2mGsYnm8rp68kQkJmLwIV9MhncVEe8DbwGkOY1wAdiRQsPz62z2CZ_aoWVY94hmfkAUi7EIJU-PhCn-I/s1600/thebacchuslady.jpg" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="800" data-original-width="1600" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj8os4Di2OONvGJrvFskpwdYpmaxPjhhKV4PxxBvH-ROZA93BweDW4x_RFmtyL2mGsYnm8rp68kQkJmLwIV9MhncVEe8DbwGkOY1wAdiRQsPz62z2CZ_aoWVY94hmfkAUi7EIJU-PhCn-I/s640/thebacchuslady.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2016</b><br />
<b>Sutradara: E J-yong</b><br />
<b>Bintang: Youn Yuh-jung, Chon Moo-song, Yoon Kye-sang, Park Seung-tae, An A-zu, Choi Hyun-jun</b><br />
<b>My rate: 4/5</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Penikmat budaya populer menikmati wajah Korea Selatan lewat kota-kota yang "memadukan tradisi dengan modernitas", atau figur-figur tampan dan cantik serta populer. Tetapi, siapa pun yang sedikit mengulik di balik kegemilangan imaji tersebut pasti bertanya-tanya: bagaimana jika kau adalah wanita lanjut usia yang tidak punya banyak uang dan kesempatan, tetapi harus berjuang untuk tidak tenggelam oleh ombak modernisasi, padahal hidup tidak berhenti berjalan ketika kau menua? <i>The Bacchus Lady</i> adalah film berbujet rendah yang secara apik menyodorkan tema ironis: realitas muram bagi kaum lanjut usia di Korea Selatan, golongan yang justru banyak berperan dalam menciptakan status "negara maju" di negeri tersebut.<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
So-young (Yuh-jung) adalah pelacur lanjut usia yang mencari langganan di Taman Jongno, menawarkan minuman energi bermerk Bacchus sebagai kode untuk seks. Ketika pergi ke rumah sakit, So-young melihat dokter langganannya diserang oleh wanita Filipina yang ternyata istri gelapnya. So-young kemudian membawa pulang dan mengurus Min-ho (Hyun-jun), anak blasteran si dokter dan wanita Filipina tersebut, yang melarikan diri.<br />
<br />
Film ini secara bergantian menggambarkan kegiatan So-young sebagai pelacur di Taman Jongno, serta interaksinya dengan Min-ho serta tetangga-tetangganya. Ada Tina (A-zu), transpuan pemilik rumah sewaannya, serta mekanik bertarif kecil Do-hoon (Kye-sang). Pertemuan So-young dengan beberapa klien dan teman masa lalunya, yang sama-sama telah menua, mendorong Jo-young untuk memenuhi permintaan ekstrem beberapa dari mereka, walau penjara taruhannya.<br />
<br />
Beberapa film terbaik di dunia kontemporer digarap dengan biaya relatif kecil, karena keterbatasan biaya membuat sineas harus kreatif. Dalam hal <i>The Bacchus Lady</i>, biaya kecil membuat filmnya bebas dari glamorisasi. J-yong mengikuti kehidupan So-young sebagai pelacur dengan kejujuran brutal tetapi tanpa mencekik penonton (walau adegan awalnya mungkin akan membuat penonton tertentu berjengit, ketika So-young pergi ke dokter karena dia terkena penyakit menular seksual dari salah satu pasiennya. Jelas bukan sesuatu yang sering ditampakkan terang-terangan dalam film).<br />
<br />
Lepas dari adegan pembuka yang sedikit intens di awal, J-yong mengikuti keseharian So-young dengan pergerakan kamera yang relatif alami, tidak terlalu jauh maupun berjarak, dan berfokus pada rutinitas harian So-young secara datar, seolah mengambil sudut pandang sang pelacur tua yang memang sudah menganggap pekerjaannya bisnis biasa. J-yong juga tidak menggunakan<i> close-up </i>atau musik dramatis untuk menarik paksa perhatian penonton; semua dibiarkan mengalir (seperti saat Do-hoon memperlihatkan kaki palsunya pada Tina sambil bercanda, menunjukkan pada penonton untuk pertama kalinya karakteristik fisik khusus yang dimilikinya).<br />
<br />
J-yong juga memotret banyak sisi-sisi Korea yang mungkin jarang terlihat dalam produk kultur pop, seperti banyaknya anak-anak blasteran Korea-Amerika dan Korea-Filipina (termasuk yang berkulit hitam atau menjadi tentara), komunitas imigran dari Afrika dan Filipina, dan fenomena "Kapino", yaitu anak hasil hubungan gelap antara pria Korea dan wanita Filipina yang kerap diabaikan ketika si pria harus kembali ke kehidupan sosialnya yang semula. Kesenjangan generasi dan semakin sedikitnya generasi baru Korea yang bersedia merawat orang tuanya ditunjukkan dalam adegan menyayat hati ketika So-young merawat mantan pelanggannya yang terkena stroke, tetapi malah dicurigai oleh anak dan menantu pria ini sebagai wanita haus uang (padahal anak dan menantu inilah yang menelantarkan sang ayah sementara mereka menikmati hidup sukses di Amerika).<br />
<br />
Tema yang seharusnya muram dalam film ini justru kebanyakan dibingkai oleh atmosfer cerah dan indah, dengan banyak adegan luar ruangan yang memotret suasana musim gugur. Taman yang rimbun, suasana kota yang dinamis, serta wahana bermain yang ceria seolah mencerminkan paradoks antara citra kemajuan Korea Selatan dan <a href="https://www.channelnewsasia.com/news/asiapacific/poor-and-on-their-own-south-korea-s-elderly-who-will--work-until-8577758" target="_blank">nasib para kaum manulanya</a>. Dialog penuh humor gelap dan ironi puitis, macam "Berapa musim gugur lagi yang bisa kita lihat?" yang keluar dari mulut So-young saat bernostalgia bersama teman lamanya semakin menguatkan paradoks film ini.<br />
<br />
Salah satu karakter dalam film ini adalah seorang sutradara muda yang mengikuti So-young dengan menyamar menjadi pelanggan. Ketika So-young mengetahui niatnya yang sebenarnya, dia marah dan mengusir pemuda itu (dan sungguh, adegan ini membuat alasan si pemuda untuk "mengungkap penderitaan para lansia yang terpaksa melacur" menjadi terdengar munafik). Tetapi, ketika mereka bertemu lagi, So-young akhirnya bersedia untuk diwawancarai, mungkin sebagai cara untuk meninggalkan "jejak" di dunia ketika ia menyadari hidupnya mungkin tidak akan lama. Ironis, karena seperti yang terlihat dalam <a href="https://www.youtube.com/watch?v=_G-TxKz6iww" target="_blank">video singkat</a> ini, si sutradara sudah pasti akan menutupi identitas So-young, dan dia tidak akan dikenali kecuali mungkin oleh orang-orang terdekatnya (yang dalam hal ini, sama-sama termasuk dalam golongan yang termarginalkan dalam ekonomi Korea).<br />
<br />
<i>The Bacchus Lady</i> bukan dokumenter, bukan juga sebuah seruan moral untuk mengorek rasa bersalah kolektif dalam diri kaum yang lebih berpunya. Akting para karakternya yang bersahaja tidak meminta belas kasihan, tidak mendramatisir, dan menolak jatuh ke dalam sentimentalisme. Kisah menyentuh dari sudut pandang "generasi terlupakan" di sini dibawakan dengan jujur, penuh harga diri, dan dibumbui jenis humor menggigit yang hanya bisa dilontarkan oleh mereka yang menjalani hidup keras dengan gagah berani.<br />
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-3833314183654899742017-12-23T22:34:00.001-08:002019-07-07T20:44:43.472-07:00Women Who Kill<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOklsksJw0aYwfReYIfu9f0Wav1TQgt5h8tUC7Baglji9px1S8R8wOIDHBYS3aSt3NWoIRKYHsSsCL5CO81meuurNK9UQxpsi9xZnvD5PHB_HK-ge-mxmUbA5f5KBJ7o7bfa_ooIOUXG8/s1600/women+who+kill.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1067" data-original-width="1600" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOklsksJw0aYwfReYIfu9f0Wav1TQgt5h8tUC7Baglji9px1S8R8wOIDHBYS3aSt3NWoIRKYHsSsCL5CO81meuurNK9UQxpsi9xZnvD5PHB_HK-ge-mxmUbA5f5KBJ7o7bfa_ooIOUXG8/s640/women+who+kill.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2017</b><br />
<b>Sutradara: Ingrid Jungermann</b><br />
<b>Bintang: Ingrid Jungermann, Sheila Vand, Ann Carr, Annette O'Toole</b><br />
<b>My rate: 2.5/5</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Dunia tidak pernah berhenti terpesona pada para wanita yang jadi terkenal karena membunuh, mungkin karena pikiran bawah sadar kita masih menganggap wanita sebagai kaum yang memiliki kebaikan dan kelembutan hati alami, sehingga mereka yang sanggup melakukan pembunuhan keji dianggap sebagai anomali menarik. <i>Women Who Kill</i>, film debut Ingrid Jungermann, adalah drama misteri yang memilih mengambil sudut pandang dari mereka yang terpesona pada para wanita pembunuh. Sayangnya, di balik segudang potensi yang hadir di layar, film ini menawarkan pengalaman menonton yang terasa agak canggung dan tidak utuh.<br />
<a name='more'></a><br />
Dalam <i>Women Who Kill</i>, Jungermann berperan sebagai Morgan, presenter siaran <i>podcast</i> khusus wanita-wanita pembunuh berantai. Dia membawakan acara tersebut bersama Jean (Carr), mantan kekasihnya yang masih akrab dengannya, walau hubungan mereka sedikit kaku. Suatu hari, Morgan bertemu dengan Simone (Vand), gadis misterius yang melamar kerja di pusat distribusi makanan tempatnya bekerja. Simone yang sensual, misterius, dan merupakan kebalikan 180 derajat dari Jean pun segera menarik perhatian Morgan.<br />
<br />
Morgan dan Simone segera memulai hubungan romantis, namun setelah beberapa lama, Morgan mulai merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan Simone darinya. Jean, yang curiga pada Simone, bahkan melakukan penggalian informasi sendiri untuk menguak masa lalu si gadis misterius. Pada akhirnya, Morgan dan Jean bertanya-tanya jika identitas Simone bukan seperti yang diakuinya, dan bahwa dirinya adalah sosok yang sebenarnya lebih cocok untuk diprofilkan dalam siaran <i>podcast </i>Morgan dan Jean.<br />
<br />
<i>Women Who Kill</i> sebenarnya merupakan film debut yang cukup segar dalam banyak aspek. Film ini bukan hanya menampilkan pasangan lesbian yang tidak digambarkan sebagai karikatur seksi atau objek fantasi pria heteroseksual, tetapi juga tinjauan ke dalam subkultur "lesbian hipster" di Brooklyn, serta obsesi publik terhadap wanita-wanita yang melakukan kejahatan pembunuhan. Sekilas, film ini kelihatan muram, tetapi kemuraman itu menutupi elemen-elemen <i>dry humor</i> gelap serta kecerdasan sinis yang bertaburan di sana-sini.<br />
<br />
Saya sangat suka dialog-dialog setajam silet yang berbumbu humor sinis, terutama yang dilontarkan Morgan dan Jean. "Lebih baik aku pacaran dengan cewek yang bikin aku takut setengah mati, daripada yang membosankan setengah mati," tukas Morgan suatu ketika untuk menyindir Jean, yang langsung dibalas pedas oleh sang mantan, "Silakan, nikah saja sama dia supaya kalian bisa punya keluarga yang bisa dia tusuk sampai mati di tengah malam". <i>Rawr.</i> Dialog macam ini keluar dari mulut karakter lain juga, termasuk Lila, salah satu pembunuh yang mereka wawancarai (penampilan singkat namun karismatik dari Annette O' Toole). Dinamika hubungan antara Jean dan Morgan diwarnai momen-momen pasif-agresif yang samar, dan saya cukup menikmati bagaimana kedua orang yang pernah pacaran tapi masih berbagi pekerjaan ini menyeimbangkan posisi antara "mantan yang dingin" dan "rekan profesional yang masih cukup dekat".<br />
<br />
Sheila Vand sebagai Simone juga berakting cukup apik sebagai gadis misterius dengan kecantikan lembut yang sedikit menyeramkan. Saya seolah masih bisa melihat jejak-jejak perannya sebagai si vampir berburka di <i><a href="https://gubuksinema.blogspot.co.id/2016/09/a-girl-walks-home-alone-at-night.html" target="_blank">A Girl Walks Home Alone at Night</a>, </i>besutan sutradara Amerika keturunan Iran, Ana Lily Amirpour.<i> </i>Aktor yang tidak bisa menghilangkan jejak peran sebelumnya ketika tampil di suatu film mungkin terdengar mengkhawatirkan, tetapi dalam hal peran sebagai Simone, hal itu justru menguntungkan akting Vand. Terkait dengan ini adalah fakta bahwa Morgan dan Jean meraih popularitas lewat memuaskan imaji publik akan wanita-wanita yang terkenal karena mencabut banyak nyawa, sesuatu yang mungkin separuh mendorong ketertarikan Morgan terhadap Simone (bukan tanpa alasan kalau serial seperti <a href="https://www.youtube.com/channel/UCEWN9Q_8SIcIpNLTvvw9aAg" target="_blank"><i>Deadly Women</i></a> begitu populer).<br />
<br />
Sebagai sutradara, Jungermann cukup pandai memadukan atmosfer, musik, serta permainan cahaya dan bayangan untuk menciptakan lanskap penuh kontradiksi: lingkungan kreatif kelas menengah atas New York yang seolah diselimuti musim gugur abadi ala film Woody Allen, tetapi dengan elemen-elemen gelap, seperti sorotan ke buket bunga di <i>ghost bikes</i> (titik-titik untuk mengenang pejalan kaki atau pengendara sepeda yang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas). Sayangnya, atensi Jungermann terhadap detail-detail kecil ini masih belum memberi pengalaman menonton yang utuh untuk saya.<br />
<br />
Beberapa ulasan yang saya lihat mendeskripsikan film ini sebagai drama dengan bumbu <i>thriller</i>. Lainnya menulis bahwa film ini adalah komedi gelap. Saya sendiri lebih condong menyebutnya "film yang tidak tahu apakah mau mengambil sudut pandang drama, misteri, atau komedi gelap". Film ini dibuka dengan cara yang cukup menarik, tetapi plotnya justru "menurun" ketika Morgan bertemu Simone. Kadang rasanya seperti drama romantis, kadang seperti <i>thriller,</i> kadang seolah berlagak mau masuk ke ranah horor, tetapi tiba-tiba mundur. Pengalaman menonton pun terasa terputus-putus, <i>disjointed</i>, dan membuat hal-hal bagus yang saya sebutkan di atas terasa agak sia-sia.<br />
<br />
Konfrontasi terakhir antara Morgan, Jean, dan Simone (yang harusnya menjadi momen di mana semua <i>roller coaster</i> emosi serta rasa penasaran terpuaskan) pada akhirnya malah terasa datar. Simone diposisikan sebagai karakter misterius, tetapi terkadang simbolisme yang ditempelkan padanya terasa terlalu klise (kotak misterius yang tak seorangpun diizinkan menyentuhnya, tapi malah dipajang terang-terangan di rumahnya). Saya masih suka Simone sebagai karakter, tetapi bagaimana karakter ini diperlakukan membuatnya terlihat kurang berkesan dan berbobot.<br />
<br />
<i>Women Who Kill</i> adalah film dengan berbagai elemen menarik yang tidak menyatu menjadi satu pengalaman mentonton kohesif, tetapi setidaknya, film ini masih menawarkan tema unik dan dialog menggigit yang bolehlah dikunjungi lagi jika kepingin.<br />
<br /></div>
<br />Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-34945622880639450972017-12-01T17:18:00.000-08:002020-04-16T09:09:55.094-07:00Review: Ingrid Goes West<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcJKjcDswaBOjFH7_xDC4o2OztiGqx-9FIgWKnEpKKUkirmygRcvKIBnT4YazvMq_0HTHl6K4SQYFczBviVHIHM8BFmRh1tL0CZdf2podCzWYYt8D04HGv-LKQTwbnYXaXfb_07KfDc5c/s1600/ingridgoestwest-aubreyplaza-beach-phone.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="593" data-original-width="1236" height="306" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcJKjcDswaBOjFH7_xDC4o2OztiGqx-9FIgWKnEpKKUkirmygRcvKIBnT4YazvMq_0HTHl6K4SQYFczBviVHIHM8BFmRh1tL0CZdf2podCzWYYt8D04HGv-LKQTwbnYXaXfb_07KfDc5c/s640/ingridgoestwest-aubreyplaza-beach-phone.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2017</b><br />
<b>Sutradara: Matt Spicer</b><br />
<b>Bintang: Aubrey Plaza, Elizabeth Olsen, O'Shea Jackson Jr., Wyatt Russell, Billy Magnussen</b><br />
<b>My rate: 4/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Terlalu mudah menganggap <i>Ingrid Goes West</i> sebagai "Paduan <i>All About Eve</i> dan <i>Single White Female</i> untuk generasi Instagram". Memadukan trope populer seperti wanita histeris, penguntit, delusi terhadap kaum tersohor, serta 'transformasi itik buruk rupa', Matt Spicer berhasil meramu drama komedi gelap yang menyindir obsesi akan citra kehidupan sempurna ala Instagram, lewat sudut pandang seorang penguntit yang ingin memasuki kehidupan sempurna seorang "SelebGram". <br />
<a name='more'></a><br />
Ingrid (Plaza) adalah gadis bermasalah yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa setelah menyerang seorang selebriti Instagram yang menikah tanpa mengundangnya (Ingrid menganggap mereka berteman, tetapi wanita itu sebenarnya hanya pernah sekali menjawab komentar Ingrid dengan ramah). Setelah bebas dan menerima uang warisan dari ibunya yang baru meninggal, Ingrid pindah ke LA untuk membuntuti obsesi terbarunya, seorang selebriti Instagram dan <i>influencer</i> bernama Taylor (Olsen).<br />
<br />
Ingrid berusaha mendekati Taylor dengan berbagai cara, mulai dari mengganti gaya rambut dan pakaian, hingga mencuri anjing Taylor untuk kemudian pura-pura menemukan dan mengembalikannya. Taylor dan Ingrid kemudian menjadi dekat, sampai Ingrid perlahan melihat sisi-sisi yang tak diperlihatkan Taylor di akun Instagramnya yang terlihat sempurna. Ingrid juga harus menghadapi adik Taylor, Nicky (Magnussen) yang tidak menyukainya, serta Dan (Jackson), pemilik rumah sewaannya di LA yang curiga terhadapnya.<br />
<br />
Jejaring sosial, internet, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia telah lama menjadi topik empuk bagi para sineas modern. Sayangnya, film-film semacam itu sejauh ini kebanyakan terlihat seperti iklan layanan masyarakat yang diputar di sekolah di hadapan siswa-siswa yang bosan, lengkap dengan karakter kelas menengah yang seolah keluar dari cetakan yang sama, situs fiktif yang maunya meniru Facebook (BuddyMe? Seriously?), dan berujung pada ceramah tentang bahayanya internet. Mungkin hanya <i>Cyberbully</i> (2015) dan beberapa episode <i>Black Mirror</i> yang bisa "mengenyangkan" saya, tetapi di luar itu, sama melempemnya.<br />
<br />
<i>Ingrid Goes West</i> keluar dari klise semacam itu dengan memanfaatkan komedi gelap sebagai gaya penceritaannya. Film-film bertema penguntit kerap mengambil sudut pandang dari si "korban". Sutradara lain mungkin akan menjadikan Taylor si influencer Instagram sebagai protagonis yang harus menghindari penguntit berbahaya. Akan tetapi, Matt Spicer membalik pola khas ini dengan mengambil sudut pandang Ingrid, bukan Taylor, dan dengan demikian, menjadikan Ingrid sebagai cerminan dari kita (yang saya maksud dengan kita tentu saja tidak berlaku jika Anda sendiri adalah seorang selebriti Instagram).<br />
<br />
Aubrey Plaza sukses menangkap sisi-sisi ekstrem nyaris neurotik dari Ingrid yang terobsesi pada imaji kesempurnaan di akun Instagram yang terkurasi dengan baik, sementara hidupnya sendiri semakin terabaikan. Spicer dengan jeli menangkap detail-detail seperti ketika Ingrid ragu antara mengetik "hehehe" atau "heh heh heh", hingga kalimat postingan yang dihapus beberapa kali. Melihat Ingrid me-<i>like </i>berbagai postingan bahkan tanpa berpikir sementara rumahnya sendiri gelap dan suram, atau menyukai foto makanan enak yang diunggah Taylor sembari melirik ke rotinya sendiri yang teronggok menyedihkan, seperti melihat ke dalam diri semua orang yang bukan selebriti Instagram.<br />
<br />
Spicer menyelipkan satu menit montase yang terdiri dari foto-foto serta video Instagram Taylor, sebagai jendela mini ke kultur jejaring sosial: foto makanan yang dipotret dari atas, kutipan orang-orang terkenal yang dicomot di luar konteks, filosofi hidup yang dipadatkan ke dalam beberapa kalimat "berat" serta tagar, hingga nama yang mencerminkan candaan meta cerdas (Taylor menggunakan nama akun welltaylored, seolah belum cukup memberi petunjuk bahwa akun Instagramnya adalah sesuatu yang <i>well-tailored</i>, alias dirancang dengan seksama). Montase singkat ini ditambal sulam dari foto-foto cantik yang berganti secara cepat, bagaikan deretan reklame yang dengan cepat membius Ingrid hingga matanya berkaca-kaca: karena emosi yang meluap serta karena terlalu sering menatap layar.<br />
<br />
Spicer juga menolak sentimentalisme dan bahkan dengan kejam menguliti kultur hipster penuh pretensi serta apropriasi budaya dalam area trendi Los Angeles yang tergentrifikasi. Mulai dari pria-pria yang memanjangkan rambut dan menatanya dalam "sanggul cowok" alias <i>man bun</i>, karya seni dari gambar colongan yang berkualitas rendah tetapi dianggap sebagai <i>pop art</i> ala Warhol, restoran yang menyambut karyawan dengan kata-kata mutiara, lengkap dengan kreasi pangsit aneh yang maunya trendi tapi malah membuat Ingrid langsung menyemburkannya dari mulut ketika mencobanya, seperti versi lebih slebor dari Lacie-nya Bryce Dallas Howard dalam episode pertama musim ketiga seri <i>Black Mirror</i> (padahal Ingrid baru saja memotret makanan itu dengan cantik dan menambahkan komentar positif, supaya dilihat Taylor).<br />
<br />
Ingrid dan Taylor terlihat sebagai dua karakter yang berlawanan, dalam artian bagaimana mereka memandang hidup dari kacamata Instagram. Taylor seperti orang yang menerapkan kutipan "hidup adalah panggung sandiwara" secara ekstrem, karena hidupnya sebagai pribadi berbeda dengan sebagai "merk" yang diperlihatkannya pada orang. Ingrid adalah karakter yang "kosong", dan memang tidak pernah berniat mencari makna hidup, karena membajak kesempurnaan orang lain adalah tujuannya. Kita meringis melihatnya membuat satu keputusan buruk ke keputusan buruk lainnya demi membajak kesempurnaan artifisial itu, walau sesungguhnya ada potensi nyata untuk memperbaiki hidupnya sendiri, seperti uang warisan dari mendiang ibunya serta romansa atau minimal persahabatan sungguhan dengan Dan (penampilan bersahaja yang apik oleh O'Shea Jackson, Jr., setelah sebelumnya memerankan Ice Cube dalam <i>Straight Outta Compton</i>).<br />
<br />
<i>Ingrid Goes West</i> adalah film komedi gelap tentang jejaring sosial yang tidak berceramah, walau cenderung mudah bagi kita untuk menangkap satirnya. Entah bagaimana Anda akan mengidentifikasi diri dengan karakter-karakternya, tetapi satu hal yang jelas: Anda mungkin akan harus menggunakan kata <a href="https://www.merriam-webster.com/dictionary/schadenfreude">schadenfreude</a> lagi saat menontonnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-17449377741031997742017-10-26T04:07:00.000-07:002020-04-16T08:59:52.571-07:00Review: Capture, Kill, Release<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEif_X9QKmEOtxsYKreeYDR38jqVKmJJRL-KX7oqvA9vg4TI1p-gcHPljT9Yr9A9RNYbKP2ddj1MNNdVEAb1663VIecSHJxkX_LW67OpTinxiK8_UlH1LMdcT406Oiaj5LlXmCPnqTJOqcI/s1600/Capture-kill-Release-movie.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1000" data-original-width="1500" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEif_X9QKmEOtxsYKreeYDR38jqVKmJJRL-KX7oqvA9vg4TI1p-gcHPljT9Yr9A9RNYbKP2ddj1MNNdVEAb1663VIecSHJxkX_LW67OpTinxiK8_UlH1LMdcT406Oiaj5LlXmCPnqTJOqcI/s640/Capture-kill-Release-movie.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2016</b><br />
<b>Sutradara: Nick McAnulty, Brian Allan Stewart</b><br />
<b>Bintang: Jennifer Fraser, Farhang Ghajar, Jonathan Gates, Rich Piatkowski, Christina Schimmel</b><br />
<b>My rate: 3/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sineas horor/thriller yang ingin membuat film ala <i>found footage</i> kini menghadapi medan yang sudah jenuh dengan film-film serupa, sehingga mereka harus kreatif dalam penggarapannya agar tetap segar. <i>Capture, Kill, Release</i> mungkin tidak begitu istimewa, dengan nama-nama yang kurang dikenal, namun keterbatasan dana dan kreativitias berhasil membuat film ini menjadi tontonan cukup segar bertema pasangan urban yang nampak ideal tetapi menyimpan gairah gelap untuk membunuh. </div>
<a name='more'></a><br />
<div style="text-align: justify;">
Film horor/thriller berkonsep <i>found footage</i> biasanya tidak memberi kita petunjuk apa-apa tentang "bencana" yang akan terjadi. Kita diajak menyaksikan para karakter melakukan hal-hal rutin membosankan (karena harus pura-pura kalau rekaman itu "ditemukan"), sebelum menampar penonton dengan <i>twist</i> di beberapa menit terakhir. Akan tetapi, dalam <i>Capture</i>, kita sudah tahu sejak awal kalau pasangan suami istri Jen (Fraser) dan Farhang (Ghajar) memang berniat membunuh orang. Yang unik adalah perjalanan penonton bersama kedua pasangan ini saat mereka merencanakan pembunuhan tersebut.<br />
<br />
Jen adalah wanita yang ingin tahu bagaimana rasanya benar-benar mencabut nyawa manusia. Suaminya, Farhang, jauh lebih ragu dan pasif dari istrinya, namun toh tetap mendukung Jen dengan rencananya. Jen membeli video kamera dan mulai merekam proses persiapan sebelum melakukan pembunuhan; mulai dari memilih korban ideal, membeli perlengkapan, hingga latihan memotong-motong dan membuang mayat.<br />
<br />
Kamera mengikuti kegiatan mereka berdua, bahkan hingga ke berbagai dialog tentang ukuran gergaji dan palu yang cocok untuk membunuh serta memutilasi secara efektif, cara menguras darah dari mayat, dan sebagainya. Namanya juga film dengan karakter yang membangun rumah tangga, jadi tentu saja Anda harus siap-siap mengikuti berbagai kegiatan dan obrolan ngalor-ngidul yang menjadi bagian dari rutinitas biasa. Gaya realisme dalam kehidupan pembunuh ala <i>Capture</i> memang tidak seperti <i>Henry: Portrait of the Serial Killer</i>. <i>Capture </i>tidak intens, tetapi<i> </i>lebih "kalem", dan di beberapa bagian malah agak lambat, tetapi ada banyak hal yang membuat film ini cukup menarik disimak.<br />
<br />
Pertama, dialognya. Walau dialog biasa antara Farhang dan Jen terkesan biasa-biasa saja, beda rasanya ketika mereka sudah mulai bicara soal rencana Jen. Semua dialog gelap nan kejam disampaikan dengan gaya kasual, seperti kalau Anda mencoba <i>edgy</i> dengan mengobrol soal pembunuhan sadis bagaikan membedah film kartun saja. Sesekali bahkan ada percakapan absurd macam: "Kenapa harus menghindari orang dari jenis kelamin, orientasi seksual, atau ras tertentu? Kita tidak boleh mendiskriminasi korban-korban kita, dong, dasar kamu rasis dan seksis" yang dilontarkan Jen ke Farhang saat mereka duduk di mobil dan menyaring calon korban dengan memerhatikan orang-orang yang lewat, macam memilih menu di meja prasmanan saja.<br />
<br />
Kedua, dinamika psikologis dari interaksi antara Jen dan Farhang sangat menarik untuk disimak. Lagi-lagi, tidak seperti Henry dalam <i>Portrait of Serial Killer</i> yang sadis dan dingin, Jen dan Farhang sebenarnya terlihat seperti pasangan muda yang normal-normal saja. Jen cenderung ceria, <i>bubbly</i>, dan suka bicara, sementara Farhang pendiam dan lebih menahan diri. Setiap kali Jen dengan antusias membicarakan soal rencananya, Farhang adalah pihak yang kerap melontarkan keraguan, untuk "mengerem" Jen. Akan tetapi, jelas siapa yang jauh lebih dominan dalam rumah tangga mereka, bahkan ketika melihat cara bicara mereka sejak awal.<br />
<br />
Ketiga, walau di beberapa bagian Anda bisa menguap bosan (dan ini diolok-olok lewat sindiran meta oleh Farhang saat dia dan Jen mengintai seorang calon korban: "Di film-film, adegan memata-matai orang rasanya kok tidak sepanjang ini," yang langsung ditimpali Jen, "Diedit, lah!"), film ini cukup intens saat sudah memasuki adegan-adegan serunya. Biaya kecil tidak menghalangi kru untuk membuat efek praktis yang cukup meyakinkan, misalnya saat kamera menyorot dari dekat potongan tubuh mayat yang sedang dimutilasi.<br />
<br />
Farhang Ghajar dan Jennifer Fraser terbilang pendatang baru, dan sutradara Nick McAnulty bahkan tidak memajang mereka sebagai bintang di film ini pada mulanya. McAnulty baru memutuskan untuk mengganti aktor-aktor utamanya dengan Ghajar dan Fraser saat syuting sudah memasuki sekitar seperempat bagian, namun keputusan itu terbukti tepat. Ghajar berakting andal sebagai suami yang tercabik antara sifat pasif dan peragu serta rasa cinta terhadap istri serta keinginan ingin membahagiakannya. Jennifer Fraser menguasai layar sebagai wanita muda ceria, antusias, dengan kegelapan tersembunyi yang tidak segera terlihat di balik senyum lebarnya; mendominasi namun mencintai suaminya dengan caranya sendiri.<br />
<br />
Pasca <i>Paranormal Activity</i>, memilih film <i>found footage</i> hampir seperti berjudi. Banyak film yang pemasarannya jor-joran seringkali gagal menyuguhkan sesuatu yang baru, sementara yang terlihat seperti film-film murah kelas B justru bisa menawarkan sesuatu yang segar (bahkan saya lebih suka memilih film-film horor pendek di YouTube jika sedang tidak mood menghabiskan 90 menit yang sia-sia). <i>Capture, Kill, Release</i> bukan film berkesan, tetapi ada sesuatu yang memikat untuk ditawarkan di sela-sela kejenuhan tren film serupa.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-81994263477751234732017-10-12T10:59:00.002-07:002020-04-16T08:58:36.796-07:00Review: Wild Tales<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhKzneZ9VxoLDyRpZfITVLyhvpgwQJQmE_xlGJxSzicT5dJRpv_dOK-YSu8mapCSFvLgBrkOOY7Ic3JH31xn6hvEHEMxJWjmD_k3Yooa6LoELcY6uD5YIyQg_5k-WziUmtLMB-jWv72hdg/s1600/wild+tales.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="720" data-original-width="1280" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhKzneZ9VxoLDyRpZfITVLyhvpgwQJQmE_xlGJxSzicT5dJRpv_dOK-YSu8mapCSFvLgBrkOOY7Ic3JH31xn6hvEHEMxJWjmD_k3Yooa6LoELcY6uD5YIyQg_5k-WziUmtLMB-jWv72hdg/s640/wild+tales.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 2014</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Sutradara: Damián Szifron</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Bintang: Ricardo Darín, Oscar Martínez, Leonardo Sbaraglia, Érica Rivas, Rita Cortese, Julieta Zylberberg, Darío Grandinetti</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>My rate: 3.5/5</b></div>
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Manusia hidup di dalam batas-batas dan kontrak sosial yang ditetapkan komunitasnya, jadi jika seseorang terus didorong hingga melewati ambang batas kemarahannya, "ledakan" yang terjadi bisa sangat spektakuler, bahkan meleburkan batas antara humor absurd dan kengerian karena batas-batas sosial yang didobrak. Sutradara dan penulis naskah asal Argentina, Damián Szifron, merangkum kisah-kisah tentang "ledakan" emosional manusia dalam <i>Wild Tales (Relatos Salvajes)</i>, yang dengan apik memadukan humor gelap, kritik sosial, serta sindiran terhadap aspek politik dan birokrasi di negaranya sendiri.<br />
<a name='more'></a><br />
<i>Wild Tales</i> terdiri dari enam cerita, dan dibuka dengan apik oleh <i>Pasternak</i>, cerita tentang sekelompok penumpang pesawat yang, lewat serangkaian obrolan, sapaan, dan kebetulan, baru menyadari bahwa mereka semua pernah berurusan dengan seorang pemuda bernama Gabriel Pasternak. Intensitas semakin meningkat dengan dua cerita selanjutnya, <i>Las Ratas</i> dan <i>El más fuerte</i>, yang masing-masing berfokus pada dendam, baik dendam masa lalu yang terpendam maupun dendam gila-gilaan khas pengemudi mobil yang berubah jadi setan saat sudah di jalanan.<br />
<br />
Cerita keempat dan kelima, <i>Bombita </i>serta <i>La Propuesta</i>, masing-masing menghadirkan seorang pakar bahan peledak yang dibuat kesal oleh perusahaan derek yang gemar menderek mobil orang secara ilegal, serta pejabat yang menyewa tukang kebunnya untuk mengaku bersalah menggantikan anaknya, pelaku tabrak lari yang membunuh wanita hamil. Akhirnya, seorang mempelai wanita yang membuat kegaduhan pada hari pernikahannya lantaran suaminya ketahuan selingkuh menutup antologi ini dalam cerita berjudul <i>Hasta que la muerte nos separ</i>e.<br />
<br />
<i>Wild Tales</i> menghadirkan unsur komedi gelap yang cukup kental dalam setiap segmennya, namun tetap terasa dekat. Bahkan cerita pertama yang berakhir cukup "gila" pun masih memberi kesan bahwa ini, entah bagaimana, bisa saja terjadi di dunia nyata, karena toh kita sering melihat berita sungguhan tentang kelakuan orang-orang yang lebih gila ketika kemarahan menguasai mereka. Menurut sang sutradara, beberapa kisah di dalam film ini terinspirasi dari pengalamannya sendiri. Yang harus dia lakukan hanya menggenjot elemen absurd dan sintingnya.<br />
<br />
Konsistensi tema ini, untungnya, mampu menjadi perekat untuk keenam cerita yang intensitasnya kerap naik turun. Setelah <i>Pasternak</i> yang menutup ceritanya dengan konklusi absurd (yang membuatnya cocok menjadi salah satu episode <i>Twilight Zone</i>), penonton diajak kembali membumi dengan <i>Las Ratas</i>, yang "kalem" dan terlihat seperti kisah balas dendam biasa. <i>El más fuerte</i> juga tidak terlalu istimewa dalam temanya, terutama karena <i>thriller</i> jalanan seperti itu memang sudah biasa, namun untungnya ditutup dengan cara yang benar-benar membuat saya merasa jahat sekali karena tertawa ngakak.<br />
<br />
<i>Bombita</i> dan <i>La Propuesta</i> bagaikan ekspresi jitakan sayang Szifron terhadap negaranya sendiri, yang kerap bermasalah dengan birokrasi serta instansi pemerintah dan pejabat korup. Problem si pakar bahan peledak dalam <i>Bombita</i>, di mana mobilnya yang harusnya sudah aman terparkir di tempat seharusnya di pinggir jalan kemudian diderek paksa dengan alasan mengada-ada, adalah hal yang kerap terjadi di Argentina. Sementara itu, <i>La Propuesta</i> terang-terangan menohok mental pejabat yang menganggap bahwa semua bisa asal ada uang, bahkan jika itu berarti membiarkan seseorang lolos dari kejahatan tabrak lari dan menyogok kaum yang kurang beruntung untuk menanggung kesalahan itu. Akan tetapi, dari segi eksekusi, <i>Bombita</i> jauh lebih konsisten dengan tema film ini. Bahkan, saya merasa bahwa <i>La Propuesta</i> agak anyep dan malah terlalu realistis, yang dalam hal ini membuatnya aneh sendiri.<br />
<br />
Untungnya, segmen terakhir menutup film ini dengan cara spektakuler. Érica Rivas menyuguhkan penampilan luar biasa dalam tingkatan emosional yang semakin menanjak dan berwarna-warni; dari pengantin wanita yang berbinar dan bahagia, ke terkejut, lalu marah, penuh dendam, dan akhirnya "terjun bebas" ke rel <i>roller coaster</i> emosi yang memorak-porandakan ruang resepsi mewahnya. Setelah menonton segmen ini, saya jadi paham mengapa <i>"Film this, Nestor!</i>" menjadi kutipan dialog paling terkenal dari <i>Wild Tales</i>, yang konon sering dilontarkan fans secara bercanda ke Rivas.<br />
<br />
Lepas dari beberapa hal yang tidak konsisten di dalamnya, <i>Wild Tales </i>adalah antologi yang segar dan menyenangkan untuk ditonton, serta memberi perasaan senang yang nyaris sama seperti <a href="https://en.oxforddictionaries.com/definition/schadenfreude" target="_blank">Schadenfreude</a>. Tidak perlu serius memikirkan setiap lompatan logika terkecil, dan nikmati saja apa yang terjadi ketika kemarahan para karakternya didorong ke batas maksimal.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-32439996736112324002017-10-07T16:18:00.001-07:002020-04-16T09:00:08.347-07:00Review: Coffee and Cigarettes<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9wJsIu_kHviOBNyW29M8_NswyCwh7EjR4bq25PzZMCxul71eNsuysQOsU8aK1GCuimPGwnw26flDLTXBzTmox1cLIm8x4DodCf3OMn0hMZ0kblT3f_X-jK1eau6z5qfX4v8g2LUCvCEA/s1600/coffee+and+cigarette.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="825" data-original-width="1200" height="440" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg9wJsIu_kHviOBNyW29M8_NswyCwh7EjR4bq25PzZMCxul71eNsuysQOsU8aK1GCuimPGwnw26flDLTXBzTmox1cLIm8x4DodCf3OMn0hMZ0kblT3f_X-jK1eau6z5qfX4v8g2LUCvCEA/s640/coffee+and+cigarette.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2003</b><br />
<b>Sutradara: Jim Jarmusch</b><br />
<b>Bintang: Roberto Benigni, Cate Blanchett, Steve Buscemi, Iggy Pop, Alfred Molina, Bill Murray, Steven Wright, Alex Descas</b><br />
<b>My rate: 3/5</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Jim Jarmusch adalah sutradara nyentrik yang mampu "membuat tontonan membosankan menarik", terutama karena kesetiaannya pada narasi nonkonvensional, mood yang kontemplatif, humor gelap, serta fokus mendalam pada perkembangan karakter yang bahkan menyaingi plotnya sendiri. <i>Coffee and Cigarettes</i>, sebuah film antologi yang bagaikan versi sinematik dari obrolan ngalor-ngidul di warung kopi, sekilas nampak seperti potongan-potongan percakapan acak, dan tiap segmen tidak memiliki kaitan apa-apa.<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Melihat daftar aktor yang membintangi film garapan Jim Jarmusch ini saja mungkin sudah membuat kepala mau meledak: "Kok banyak betul nama tenarnya? Mereka emang ditaruh di mana aja?" Dan itu belum menghitung nama-nama lain seperti Meg dan Jack White (anggota band The White Stripes), Joie dan Cinque Lee, Steve Coogan, Taylor Mead, dan sebagainya, yang belum saya masukkan karena malas ngetiknya. Pasalnya, <i>Coffee and Cigarettes</i> memang sebuah antologi dengan kisah-kisah yang sama sekali tidak memiliki benang merah, kecuali aktivitas ngopi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Coffee and Cigarettes</i> tidak memberi pengalaman menonton dengan "aturan" plot serta penceritaan yang tertata secara rapi. Setiap kisah pendek dalam film ini tidak berhubungan, dan satu-satunya benang merah hanyalah cangkir-cangkir kopi dan rokok yang dinikmati para karakternya. Tiap cerita bahkan tidak memiliki plot jelas; benar-benar hanya sekumpulan orang yang duduk dan nyerocos membicarakan banyak hal. Mulai dari soal kegagalan dalam menghentikan kebiasaan merokok, obrolan keluarga yang ujung-ujungnya adalah aksi pinjam duit, pengakuan tentang tingkat kecanduan kafein, hingga ocehan soal teori-teori konspirasi terkait Elvis Presley.<br />
<br />
Layaknya obrolan sepotong-sepotong yang mungkin kita curi dengar di warung atau kedai kopi (kecuali jika <i>earphone</i> atau laptop terlalu menyita perhatian), ada saat-saat di mana setiap "obrolan" memberi perasaan tidak puas. Para karakter yang terlibat tidak mengajak penonton mengobrol dari awal sampai akhir, sehingga apa yang mereka bicarakan terkadang terkesan janggal. Misalnya, dalam segmen yang dibawakan kakak-beradik anggota band The White Stripes, rasanya mungkin janggal melihat dua orang ini tanpa tedeng aling-aling langsung bicara soal kumparan Tesla. Tetapi ya itulah seninya obrolan ala warung kopi (atau angkringan): orang paling tak terduga bisa melontarkan tema omongan atau celetukan yang mengejutkan. Apalagi kalau asupan kopi dan rokok mengalir terus.<br />
<br />
Suasana ala omongan warung kopi itulah yang coba dituangkan Jim Jarmusch. Sebagai sutradara nyentrik yang kerap mengutamakan atmosfer dan studi karakter, lengkap dengan protagonis yang cenderung <i>loner</i>, Jarmusch memang sering menuntut penontonnya untuk bersabar (dan kalau tidak suka, pergi saja, mungkin begitu). <i>Coffee dan Cigarettes</i> mungkin film yang paling menguji kesabaran penonton, sampai-sampai beberapa ulasan pedas pun mengatakan bahwa Jarmusch sudah kehilangan <i>mojo</i>-nya dalam menguji kesabaran penontonnya. Saya sendiri mengakui bahwa film ini bukan tipe yang akan saya tonton jika sedang butuh <i>pick-me-up</i>; bahkan <i>All About Eve</i> yang isinya juga ngomong melulu dengan gaya bahasa ketinggian itu sangat lebih membetot perhatian daripada film ini. Tapi entah kenapa, memang ada sesuatu yang membius dari mendengarkan obrolan ngalor-ngidul orang-orang ini.<br />
<br />
Beberapa cerita memiliki kedalaman berbeda ketimbang sekadar obrolan tak jelas. Dalam salah satu episode favorit saya di sini, Cate Blanchett berperan ganda sebagai seorang aktris cantik yang sukses (seolah cerminan dirinya sendiri) serta sepupunya yang lebih gahar tetapi tidak sesukses dirinya, mengobrol dalam pertemuan super canggung di mana kepribadian "dua" sosok ini berbenturan. Dalam episode lain, seorang pelayan canggung mencoba pe-de-ka-te dengan pengunjung wanita yang cantik. Dia hendak menukar kopi wanita itu yang sudah agak dingin dengan kopi baru, tetapi ditolak mentah-mentah dengan alasan: "Kopiku warna dan temperaturnya sudah pas." Segmen-segmen seperti ini mungkin akan disambut sebagian penonton karena menunjukkan lebih banyak aksi, walau benang merah obrolan di tengah kopi dan rokok tetap tak ditanggalkan.<br />
<br />
Layaknya obrolan warung kopi yang<i> tan soyo dalu tan soyo memble</i> alias makin lama makin ngelantur, <i>Coffee and Cigarettes </i>tidak meminta perhatian lewat plot dan narasi standar, melainkan menawari Anda kesempatan untuk menguping obrolan-obrolan ala warung dan kedai kopi (yang dilakukan para bintang tentunya, karena beberapa segmen menunjukkan kualitas <i>self-aware</i> dari para bintang ini). Sesial-sialnya, film ini bisa dinikmati untuk seru-seruan jika Anda penggemar berat kopi dan rokok, karena setidaknya Anda mungkin bisa mengapresiasi serunya obrolan tak berujung yang dipompa oleh asupan dua macam kenikmatan duniawi ini.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-73009107067454454682017-09-10T03:43:00.002-07:002020-04-16T08:58:01.503-07:00Review: Kedi<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6HPZGIo_eX_D_GQKp5WsfLebMbxMR7Jye0kXWg6loaC8oZk4Smfs1D-lEfiW7T5gpd_SBjFomGWhzzPG8oeKORscFgvTAXjLWwifwDTii5HakY9q2aIa_NZtsZExhdAxuyu6qhx5VSXY/s1600/kedi+2016.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="675" data-original-width="1200" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi6HPZGIo_eX_D_GQKp5WsfLebMbxMR7Jye0kXWg6loaC8oZk4Smfs1D-lEfiW7T5gpd_SBjFomGWhzzPG8oeKORscFgvTAXjLWwifwDTii5HakY9q2aIa_NZtsZExhdAxuyu6qhx5VSXY/s640/kedi+2016.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2016</b><br />
<b>Sutradara: Ceyda Torun</b><br />
<b>Bintang: Sari, Duman, Bengü, Aslan Parçasi, Gamsiz, Psikopat, Deniz (semuanya kucing! Yah, ada manusianya juga)</b><br />
<b>My rate: 5/5</b><br />
<b><br /></b>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Sebagai pencinta kucing, memberi rating tinggi untuk dokumenter karya Ceyda Torun, <i>Kedi, </i>mungkin kelewat subjektif. Apalagi, premis <i>Kedi </i>bisa dibilang membingungkan bagi yang baru mendengarnya. Apa yang istimewa dari 78 menit video kucing? Di sinilah Anda harus menyaksikannya secara langsung, karena <i>Kedi</i> lebih dari kompilasi video kucing di YouTube: <i>Kedi </i>adalah persembahan Torun untuk genre dokumenter "simfoni kota" yang populer pada awal abad ke-20, dan para kucing serta Istanbul versinya secara tidak langsung merupakan refleksi dari relasi antara manusia dan hewan, serta bagaimana mereka beradaptasi dengan dinamika kota yang terus berubah, dan bahkan bisa mengikis aspek-aspek manusiawi dari masyarakatnya.<br />
<a name='more'></a><br />
<i>Kedi</i> mengajak kita mengikuti tujuh ekor kucing jalanan yang paling populer di lingkungan mereka: Sari, yang rajin keluar meminta makanan untuk anak-anaknya; Duman, yang hobi nongkrong di sebuah kafe mahal, tetapi anehnya tidak pernah menerobos untuk minta makanan walau pintunya terbuka; Bengü, yang suka dibelai tetapi berubah ganas bila anaknya diganggu; Psikopat, kucing cemburuan yang galak terhadap sesama kucing betina (tetapi sok manja dengan manusia); Deniz, kucing pasar yang akrab dengan semua orang; Aslan, "penjaga" sebuah restoran pinggir pantai dari serbuan tikus; dan Gamsiz, kucing "gaul" yang senang mampir ke rumah orang-orang dan bersikap seolah dia bos di lingkungannya.<br />
<br />
Alih-alih berfokus pada kelucuan dan tingkah para kucing ini, Torun mengajak penonton melihat hubungan antara ketujuh kucing ini dengan manusia di sekitarnya. Ada beberapa wawancara dengan penduduk Istanbul dari berbagai latar belakang dan profesi (pemilik kafe, seniman, penjaga butik, pemilik bengkel, nakhoda, dan sebagainya), tetapi semua memiliki kesamaan: mereka merasa memiliki hubungan khusus dengan kucing-kucing yang ada di kota mereka. Selain ketujuh kucing yang disorot secara khusus, Torun juga mewawancari individu-individu yang sering berinteraksi dengan kucing lain, seperti nakhoda kapal yang merawat anak kucing telantar, atau seorang pria yang berkeliling memberi makan kucing sebagai bagian dari terapi untuk gangguan kecemasan.</div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Dalam <a href="https://quoteinvestigator.com/2013/03/15/fashion-passes-style-remains/#note-5659-1" target="_blank">suatu wawancara</a>, desainer Coco Chanel pernah berkomentar: <i>"Mode passes, style remains"</i>. Kalau mau saya terapkan ke video YouTube, mungkin jadinya: <i>"YouTube video trend passes, cat videos remain"</i>. Siapapun yang pernah menghabiskan waktu "tenggelam" di dalam pusaran video YouTube mungkin pernah mengalaminya: dari sekian banyak video yang bisa ditonton, ada sesuatu yang memikat dari kompilasi video kucing-kucing lucu. Begitu populernya kucing dalam budaya kita, sampai-sampai ada <a href="https://catconworldwide.com/" target="_blank">konvensi khusus</a> untuk kucing dalam kaitannya dengan budaya pop. Kecintaan manusia terhadap makhluk berbulu ini sudah berakar sejak ribuan tahun, dan penelitian baru tentang kucing (termasuk bukti yang menyatakan bahwa kucing <a href="http://news.nationalgeographic.com/2017/06/domesticated-cats-dna-genetics-pets-science/" target="_blank">"mendomestikasi" diri mereka sendiri</a>) terus bermunculan.<br />
<br />
Perbedaan antara <i>Kedi</i> dan video kucing ala YouTube segera terlihat dari bagaimana kamera memperlakukan para objeknya. Sinematografer Alp Korfali dan Charlie Wupperman menunjukkan kelincahan mereka dalam mengikuti para kucing di level yang sama dengan mereka. Kamera terkadang menyorot para kucing dari depan, kadang mengikuti dari belakang, atau bahkan mengambil sudut pengambilan tinggi untuk menyorot kucing yang sedang nongkrong di tonjolan tembok di sebuah gedung tinggi. Kadang kita melihat kamera "terbang" di atas kota. Ketika adegan wawancara dengan manusia, kamera juga tidak statis, dan orang-orang ini kebanyakan juga tidak berhenti dari kegiatan mereka sangat berbicara.<br />
<br />
Dalam beberapa adegan, terutama ketika kamera melayang atau menyorot berbagai sudut kota serta kesibukan penduduknya, <i>Kedi</i> terlihat sebagai persembahan untuk sinema simfoni kota ala <i>Berlin: Symphony of a Metropolis</i> (1927) dan <i>Études sur Paris</i> (1928). Semangat yang sama juga diterapkan saat menyorot interaksi antara kucing dan manusia: tidak berfokus melulu pada si kucing atau si manusia, melainkan pada dinamika kota yang tergambar dari kedua spesies yang hidup berdampingan ini. Beberapa kalimat yang keluar dari mulut para responden mungkin terdengar kelewat romantis, tetapi saya toh sejak lama menyukai romantisme dari yang riuh dan banal, jenis yang akan Anda temukan dalam cerpen-cerpennya Seno Gumira Ajidarma.<br />
<br />
Di balik imaji imut yang bertebaran di sepanjang dokumenter ini, ada sesuatu yang lebih suram mencuat: interaksi antara kucing dan manusia di Istanbul adalah cerminan dari perkembangan kota yang berpotensi kehilangan wajah manusiawinya. Komentar yang keluar dari para responden pun mencerminkan hal ini secara tidak langsung. Misalnya, ketika seorang responden berkata "Dulu di sini banyak kebun buah dan taman, jadi kucing mudah mencari tanah untuk buang air," maksudnya adalah "Dulu kota ini lebih asri, tetapi sekarang ruang hijau sudah semakin berkurang." Ketika seorang pedagang di pasar berkata "Sebentar lagi di sini akan dibangun jalan besar dan gedung tinggi. Nanti siapa yang akan memberi makan kucing-kucing?" Maksudnya adalah "Sebentar lagi pasar tradisional dan pedagang kecil akan tergusur dari sini". Seorang wanita menyimpulkannya dengan apik: "Sangat mudah melihat kucing sebagai sumber masalah, tetapi jika kita membereskan masalah mereka, kita juga bisa membereskan masalah manusia".<br />
<br />
Oh ya, jangan lewatkan pula kesempatan untuk memanjakan telinga Anda dengan lagu-lagu pop Turki serta komposisi orisinal oleh Kira Fontana. Setiap kali melihat kucing berjalan cepat dengan iringan lagu <i>Fındık Dalları</i>-nya Mavi Işıklar, <i>Arkadaşım Eşşek</i>-nya Barış Manço, atau <i>Deli Kadın</i>-nya Erkin Koray, saya merasa bahwa lagu-lagu ini memang sengaja dipilih karena ritmenya cocok dengan gerak-gerik para kucing (entah kenapa kesannya begitu).<br />
<br />
Dalam <a href="https://www.vanityfair.com/hollywood/2017/02/istanbul-cats-kedi-documentary" target="_blank">wawancara dengan <i>Vanity Fair</i>,</a> Torun berujar bahwa ada satu hal yang menjadi keistimewaan kucing: hewan ini adalah koneksi manusia modern dengan alam yang tidak mengancam atau membahayakan. Saat ini, hewan-hewan yang mengelilingi masyarakat modern kebanyakan adalah hewan ternak atau hewan "dengan kegunaan" (hewan penjaga, hewan percobaan, hewan beban, hewan di kepolisian atau militer, dan sebagainya). Akan tetapi, kita bisa merasa nyaman berada di dekat kucing, tanpa perlu merasa takut atau membebani mereka dengan ekspektasi. Hubungan manusia dan kucing adalah hubungan resiprokal, tetapi tanpa tuntutan apa-apa. Pernyataan ini, serta <i>Kedi</i> secara keseluruhan, jelas adalah sesuatu yang membuat saya memandang kucing di rumah dengan kacamata baru.<br />
<br /></div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-41909985269632683602017-08-17T03:21:00.000-07:002020-04-16T09:11:36.123-07:00Review: Polisse<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZWKwa5rPVpsPZ5FTzlc1GvUZFi44zNxppN94rV2BDFxjBR-LCqLEcU_Yz-92jYC0BFtRg_HlqbSoOfdRFEDT25m5G__Bb_GPsNTF8n61QpYWlP0TY3O9nvkgzfJ-95nb886zQ46BBJ64/s1600/polisse1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="718" data-original-width="1600" height="286" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiZWKwa5rPVpsPZ5FTzlc1GvUZFi44zNxppN94rV2BDFxjBR-LCqLEcU_Yz-92jYC0BFtRg_HlqbSoOfdRFEDT25m5G__Bb_GPsNTF8n61QpYWlP0TY3O9nvkgzfJ-95nb886zQ46BBJ64/s640/polisse1.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 2011</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Sutradara: Maïwenn</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Bintang: Karin Viard, Marina Foïs, JoeyStarr, Nicolas Duvauchelle, Frédéric Pierrot, Naidra Ayadi</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>My rate: 4/5</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>"Papa kadang-kadang menggaruk pantatku...dan di bawah celanaku. Di sini."</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kata-kata ini keluar dari mulut seorang gadis kecil di depan polisi wanita bertampang serius, di dalam ruangan suram kedap suara yang dibatasi kaca besar, dan seorang pria mengawasi semua itu lewat monitor. Adegan pembuka <i>Polisse</i>, drama Prancis tentang keseharian satgas khusus perlindungan anak, memang tidak berniat membuai penonton untuk hanyut dalam rasa aman palsu sebelum perlahan digiring memasuki area kontroversial. Kejahatan terhadap anak, salah satu kelompok paling rapuh terkait risiko kejahatan seksual, adalah realitas brutal dalam kehidupan, dan Maïwenn tidak akan memanjakan kehalusan jiwa Anda.<br />
<a name='more'></a><br />
Digarap dengan gaya bak dokumenter <i>fly-on-the-wall</i>, <i>Polisse</i> mengikuti keseharian satgas perlindungan anak di sebuah kantor polisi di Paris. Satgas ini terdiri dari banyak anggota dari beragam latar belakang, dan berbagai adegan interogasi, penangkapan, serta konflik dalam dunia kerja dikisahkan berselang-seling dengan kehidupan pribadi para anggotanya. Beberapa karakter yang menjadi sorotan utama antara lain Fred (JoeyStarr), polisi idealis yang temperamennya cenderung meledak-ledak, Iris (Fois), polwan tegas yang menyimpan problem gangguan makan, Nadine (Viard), sahabat Iris yang sedang bermasalah dengan perceraian, dan Balloo (Pierrot), kepala satgas yang berusaha keras menyeimbangkan pekerjaan serta kehidupan keluarganya.<br />
<br />
<i>Polisse</i> bagaikan gabungan antara <i>The Office</i> dan <i>The</i> <i>Wire </i>yang dipadatkan ke dalam satu film. Setiap adegan seolah terdiri dari fragmen-fragmen terpisah, disorot menggunakan efek kamera organik sehingga nampak lebih nyata. Setelah wawancara dengan seorang anak yang diduga dilecehkan, penonton akan melihat interaksi wajar antara orang tua dan anak, seolah mau meleburkan batasan antara ekspresi sayang dengan perilaku tidak senonoh terhadap anak. <i>Polisse </i>seolah mengingatkan bahwa terkadang, dalam dunia nyata, batas antara kedua hal ini sulit dipisahkan. Hal inilah yang membuat banyak sekali peristiwa pelecehan terhadap anak cenderung tidak sampai ke polisi. Bayangkan seorang ibu yang dengan polosnya memasturbasi anaknya yang masih berusia 3 tahun supaya tertidur, mengira hal itu tidak apa-apa dan bukan termasuk pemerkosaan, hanya karena tidak ada penetrasi. <i>How do you explain that?</i><br />
<i><br /></i>
<i>Polisse</i> juga dengan apik menunjukkan fakta lapangan tentang kondisi satgas perlindungan anak di Prancis, yang kerap dianggap sebagai "satgas sekunder" di kalangan polisi, dan dianggap kurang elit dibandingkan satgas kejahatan narkoba atau pembunuhan, misalnya. Akibatnya, para anggotanya sering pontang-panting bekerja dengan sumber daya terbatas. Salah satunya tergambar dalam adegan ketika mereka mendapat laporan penculikan bayi oleh ibunya yang pecandu narkoba. Situasi genting itu menjadi bertambah ruwet ketika mereka menyadari bahwa mobil patroli ternyata dipinjam oleh satgas lain, dan penundaan yang terjadi membuat mereka semakin frustrasi, karena keselamatan si bayi semakin terancam seiring waktu.<br />
<br />
Mengikuti jejak rekan sesama sutradara Prancis, <a href="https://gubuksinema.blogspot.co.id/2016/10/blue-is-warmest-color.html" target="_blank">Abdellatif Kechiche</a>, Maïwenn tidak menggarap adegan-adegan dalam film bertema sensitif ini dengan cara "aman" (misalnya menggunakan perpindahan kamera untuk "melindungi" kehalusan hati penonton atau menonjolkan elemen "imut" pada tokoh anak-anak). Kameranya memilih suatu fokus, kemudian membiarkan intensitas emosional semakin berkembang secara alami seiring adegan. Hal ini sangat efektif terutama pada dua adegan paling emosional di film ini: ketika seorang wanita meninggalkan anaknya di kantor satgas tersebut karena tidak ingin anaknya ikut jadi gelandangan seperti dirinya, serta ketika Iris dan Nadine bertengkar hebat menjelang akhir film.<br />
<br />
Bicara soal karakter, <i>Polisse</i> piawai dalam menunjukkan realitas keseharian orang-orang yang bekerja di bidang sensitif, dengan metode masing-masing untuk mencegah keruntuhan psikologis. Ada yang sengaja menjauhkan diri secara emosional sampai cenderung dingin, ada yang malah terlalu emosional dan menangani setiap kasus seolah yang menjadi korban adalah anaknya sendiri. Film ini tidak menyalahkan siapa-siapa, tetapi secara alami menunjukkan apa yang terjadi ketika orang bersikap terlalu menjaga jarak atau malah intim ketika menyikapi kasus-kasus sensitif dalam pekerjaan semacam ini.<br />
<br />
Ada beberapa hal yang sedikit mengganjal dalam <i>Polisse</i>. Pertama, hadirnya tokoh Melissa yang diperankan sendiri oleh Maïwenn. Melissa adalah fotografer yang ditugaskan untuk mendokumentasikan kegiatan sehari-hari satgas tersebut. Kehadirannya mungkin dimaksudkan untuk memberi sudut pandang baru bagi penonton (dan penambahan karakter yang cukup wajar, mengingat dokumentasi macam ini bukan hal aneh). Akan tetapi, ketika Melissa digambarkan menjalin romansa dengan Fred, di situ saya mulai berpikir: <i>what purpose does she serve</i>? Tidak ada sesuatu yang berarti yang ditambahkan karakter Melissa, dan adegan romantisnya dengan Fred baru "berguna" dalam adegan penyergapan panjang di sebuah pusat perbelanjaan.<br />
<br />
Gaya penyutradaan <i>Polisse </i>juga membuat pengalaman menonton film ini terasa kurang "mulus" di beberapa bagian. Banyak fragmen adegan yang seolah tidak memiliki elemen penghubung antara satu dengan lainnya. Jelas bukan jenis film yang bisa di-skip seenaknya. Beberapa plot dalam film juga seolah tidak memiliki konklusi, sehingga penonton yang kurang suka dengan open ending mungkin akan merasa kurang puas. Akan tetapi, elemen terakhir ini menurut saya pas dengan apa yang coba disajikan <i>Polisse</i>, di mana kita memandang setiap kasus dari mata para polisi, yang walau bekerja keras, tetap saja tidak akan bisa melihat bagaimana kasus yang mereka tangani akan berakhir, karena bukan mereka yang menentukannya. Walau itu berarti terpaksa membiarkan seorang terduga pelaku pelecehan lolos hanya karena dia orang berpangkat.<br />
<br />
Singkatnya, <i>Polisse </i>bukanlah sebuah pameran gagah-gagahan sebuah institusi yang maunya dipotret secara sempurna bak film aksi. Ini adalah fiksi yang menggambarkan potret realistis mereka yang bekerja di salah satu bidang paling sensitif dan membuat stres, dan tetap berusaha keras walau dengan segala keterbatasan.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-46843856996015058122017-06-22T16:37:00.002-07:002020-04-16T08:58:47.003-07:00Review: Mystery Road<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjconVuOoOZILSHlluOedy5pWBEnNk8xpb1imx-lM7MpLdiJ4nvW4e4MOwEWH3yJEOdi6LPmJLTllDVBxVXuETF3g8TNQusAcUaCTJjA6CVUmwjkmcp4v2ba0Euh9wA9_Db8qlsoynYtU/s1600/mystery-road-aaron-pedersen.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="771" data-original-width="1400" height="352" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhjconVuOoOZILSHlluOedy5pWBEnNk8xpb1imx-lM7MpLdiJ4nvW4e4MOwEWH3yJEOdi6LPmJLTllDVBxVXuETF3g8TNQusAcUaCTJjA6CVUmwjkmcp4v2ba0Euh9wA9_Db8qlsoynYtU/s640/mystery-road-aaron-pedersen.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 2013</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Sutradara: Ivan Sen</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Bintang: Aaron Pedersen, Hugo Weaving, Jack Thompson, David Field, Ryan Kwanten, Bruce Spence, Tasma Walton</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>My rate: 4/5</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<i>Mystery Road</i> lebih dari "sekadar" <i>slow-burning thriller</i> yang menampilkan sosok penyelidik tangguh ala koboi di dataran kering nan terpencil di Australia. Mengusung tokoh polisi separuh Aborigin yang menyelidiki misteri kematian gadis pribumi miskin, sutradara Ivan Sen menjalin misteri berlapis, atmosfer sunyi yang memikat sekaligus suram, audio visual apik, nuansa <i>noir</i>, serta jendela kecil yang memperlihatkan sisi psikologis dari karakter yang seolah berjalan di antara dua dunia sebagai polisi ras campuran dalam dunia yang tak berbelas kasihan. </div>
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Jay Swan (Pedersen) adalah detektif polisi yang kembali ke kampung halamannya di area rural Queensland setelah menjalani pelatihan di Sydney. Pada saat yang bersamaan, seorang sopir truk menemukan mayat gadis Aborigin, Julie, yang digorok lehernya. Penyelidikan awal mengungkap bahwa gadis itu seorang pecandu narkoba yang melacur untuk sopir-sopir truk demi mendapat uang cepat. Jay pun mencari petunjuk dengan menemui berbagai karakter, mulai dari komunitas Aborigin lokal, pemilik peternakan tua dan putranya yang berdarah panas, hingga putrinya sendiri, Crystal, yang ternyata adalah teman Julie.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Sikap rekan-rekan Jay sesama polisi yang cenderung kurang simpatik terhadap kematian gadis Aborigin miskin membuat Jay harus bekerja sendiri. Selain itu, Jay juga harus berhadapan dengan koleganya, Johnno (Weaving), yang bersikap mencurigakan. Penyelidikannya pun semakin membawanya ke ranah berbahaya ketika dia menemukan kaitan antara kematian Julie dengan kejahatan lain yang lebih masif dan terorganisir.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Ketika saya menemukan film ini beberapa minggu yang lalu, saya tidak tahu apa yang menanti saya. Akan tetapi, sejak menekan tombol Play dan membiarkan film ini "mengalir", sulit sekali mengalihkan pandang darinya, walau film ini cukup irit dialog di beberapa bagian dan mengandalkan perkembangan plot yang lambat tetapi pasti, bukan adegan dar-der-dor atau kejar-kejaran seru. Ivan Sen pandai merangkai cerita tanpa terburu-buru, mengajak kita mengikuti perjalanan Jay saat mengungkap petunjuk demi petunjuk. Jay digambarkan melakukan perjalanan secara tradisional: mengecek berkas-berkas dan data polisi, mendatangi saksi satu demi satu dan mewawancarai mereka secara mendalam, hingga mengunjungi tempat-tempat di mana Julie pernah berada. Tidak ada yang namanya adegan "ilham dadakan", yang kerap dijadikan topeng bagi penulis skenario malas untuk menciptakan konklusi. Jika Anda ingin tahu apa yang ada di ujung misteri ini, mau tidak mau Anda harus mengikuti perjalanan Jay. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Sejak film dimulai, satu hal yang paling jelas terlihat adalah suasana gersang dan kosong di area rural Queensland, yang suram walau terus disinari cahaya matahari yang terik. Beberapa karakter di film ini juga terus menerus menyebut tentang adanya ancaman anjing liar yang melolong-lolong serta menyerang hewan ternak. Kegersangan serta anjing-anjing liar seolah menjadi metafora untuk kegersangan moral dan kekejaman diam yang menyelimuti para karakter dalam film ini. Jay, sebagai tokoh yang berusaha untuk idealis sebagai polisi, kerap menemukan dirinya terbentur jalan buntu, dan bahkan dicurigai habis-habisan dalam misinya untuk mengungkap kebenaran. Jay mungkin memburu pelaku yang berwujud manusia, tetapi apatisme, kecurigaan, dan ketakutan tersembunyi adalah musuh terbesarnya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Ivan Sen, yang berdarah campuran Kamilaroi (salah satu kelompok masyarakat pribumi Australia) dan Jerman, dengan apik menggambarkan dilema moral serta dinamika psikologis dalam interaksi Jay dan komunitasnya. Ketika mencari petunjuk, Jay kerap menghadapi rasisme kasual, jenis yang kerap terlontar dari mulut tanpa disadari, seperti ketika si pemilik peternakan berkulit putih memanggilnya "polisi Abo yang suka menangkapi sesamanya", atau celetukan seorang rekannya yang secara tidak langsung menyamakannya dengan anjing. Sialnya, karena darah campurannya, kedudukannya sebagai polisi (yang jarang bisa diraih orang Aborigin), serta interaksinya dengan orang kulit putih, membuat Jay juga ditatap dengan curiga oleh komunitas Aborigin. <i>"I've been in the middle my whole life"</i>, ungkap Jay dalam salah satu dialognya, dengan tepat menggambarkan apa yang dirasakan oleh mereka yang "berada di antara dua dunia" karena berdarah campuran atau memiliki latar belakang budaya, negara, atau kesukuan yang berwarna-warni.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Aaron Pedersen sebagai Jay bukan satu-satunya bintang bersinar dalam film ini. Melengkapi karakternya, ada Bruce Spence sebagai petugas koroner yang filosofis dan menjadi satu-satunya orang yang bisa Jay ajak bicara, Jack Thompson sebagai Aborigin tua penyendiri dengan pengetahuan mendalam tentang komunitasnya, David Field sebagai si pemilik peternakan dan Ryan Kwanten sebagai putranya yang konfrontatif, hingga Hugo Weaving sebagai Johnno yang penuh teka-teki. Dialog cerdas yang mengalir dan dibawakan dengan aksen Australia yang kental semakin menambah keunikan film ini, membuatnya terasa seperti "film noir Wild West rasa Australia".</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Selama menonton film ini, telinga Anda juga akan "ditraktir" oleh aspek audio yang jernih dan sangat menonjol, serta menjadi salah satu pendukung aktif dalam penggambaran cerita. Setiap suara sekecil apapun, mulai dari lolongan angin hingga gemeresak kerikil yang diinjak sepatu, menciptakan nuansa yang membuat Anda seolah berada di samping Jay dalam setiap langkah penyelidikannya. Ketika film ini akhirnya mencapai konklusinya, kita mungkin melaju menuju matahari terbenam bagaikan koboi yang menjadi pahlawan, namun alih-alih merasa menang, kita akan tetap mempertanyakan segalanya. Satu-satunya pemenang, pada akhirnya, adalah gurun yang keras, kejam, dan terus ada bersama waktu.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-19385036628968453692017-06-05T09:05:00.001-07:002020-04-16T09:00:23.962-07:00Review: Raw<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwQLX1sMvItafBa0_AdlAIjL4buHj04j9KViCDrA65qxus2fU6tBQxel8nAo3e79f0z_PWmm-1tcHGxuXxSNJYd1yPZPACRY7WHVw6Zx_HU9V1NwpKMnT-XWZUIo0QMJbFjkXx5sQw8wM/s1600/raw+movie.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="682" data-original-width="1383" height="314" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiwQLX1sMvItafBa0_AdlAIjL4buHj04j9KViCDrA65qxus2fU6tBQxel8nAo3e79f0z_PWmm-1tcHGxuXxSNJYd1yPZPACRY7WHVw6Zx_HU9V1NwpKMnT-XWZUIo0QMJbFjkXx5sQw8wM/s640/raw+movie.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 2017</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Sutradara: Julia Ducournau</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Bintang: Garance Marillier, Ella Rumpf, Rabah Naït Oufella, Laurent Lucas, Joana Preiss</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>My rate: 3.5/5</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Film horor sejak dulu banyak memajang karakter wanita, dan tidak ada film horor yang lengkap tanpa kehadiran <i>final girl</i>, gadis yang hidup terakhir dan "ditakdirkan" untuk menghabisi si monster. Akan tetapi, sentuhan sutradara wanita harus diakui masih kurang kental dalam dunia penggarapan film horor. Untungnya, nama-nama seperti Soska Sisters, Karyn Kusama, Roxanne Benjamin, Anna Biller, Leigh Janiak, Ana Lily Amirpour, dan Jennifer Kent telah berhasil membawa napas segar dalam eksplorasi horor di abad ke-21 dengan sentuhan unik seperti di film <i>American Mary, The Invitation, Southbound, Honeymoon, Jennifer's Body, The Love Witch, A Girl Walks Home Alone at Night,</i> dan <i>The Babadook</i>. Film debut Julia Ducournau, <i>Raw</i>, menggabungkan kanibalisme dengan kisah tentang tumbuh dewasa serta kesadaran akan kuasa terhadap tubuh, dengan mengusung karakter gadis muda yang mengalami perubahan ekstrem ketika mencoba mencari jati diri saat memasuki dunia kampus. </div>
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Justine (Marillier) telah menjadi vegetarian seumur hidupnya karena paksaan ibunya. Akan tetapi, ketika memasuki kampus kedokteran hewan, Justine dan teman-teman barunya justru dipelonco dengan cara disiram darah hewan serta dipaksa makan potongan kecil ginjal hewan mentah. Mulanya Justine menolak, namun kakaknya, Alexia (Rumpf) yang telah menjadi senior di kampus itu menyuruhnya untuk menurut. Setelah menelan potongan ginjal, Justine mulai mengalami ruam-ruam aneh di tubuhnya, dan mendadak merasa ingin makan daging mentah. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Justine berusaha menyembunyikan hasrat barunya dari semua orang, termasuk sahabatnya, Adrien (Oufella). Akan tetapi, hasratnya untuk makan daging mentah semakin besar, sampai ke tahap di mana daging hewan tidak memuaskannya, dan dia bahkan memakan potongan jari Alexia setelah kakaknya itu mengalami kecelakaan dengan gunting. Seiring bertumbuhnya hasrat untuk makan daging, Justine juga mulai menunjukkan perubahan dalam perilakunya, yang semakin berkembang ketika sang kakak sedikit demi sedikit menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengetahui sesuatu yang tidak diketahui Justine terkait selera makan barunya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Walau ada embel-embel "kanibalisme" di film ini, <i>Raw</i> bukanlah tontonan tepat untuk pecinta <i>torture porn</i> serta film-film eksploitasi kanibal macam <i>Cannibal Holocaust</i> dan <i>The Green Inferno</i>. Ducournau mendedikasikan lebih dari paruh pertama film untuk mengajak kita memasuki dunia Justine serta perubahan mengagetkan yang terjadi pada dirinya: mulai dari adegan makan bersama keluarga yang diinterupsi protes ibunya kepada pelayan restoran karena ada secuil daging nyasar di piring Justine, adegan pelonco yang dihiasi cipratan darah merah, hingga perubahan perilaku yang menyertai selera makan baru Justine. Bisa dibilang ini adalah film yang "intim", memotret horor yang menyertai perubahan dalam diri karakternya, mirip seperti <i><a href="https://gubuksinema.blogspot.co.id/2016/08/contracted.html" target="_blank">Contracted</a>. </i></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya sendiri menyukai segala macam film horor, mulai dari yang sensasional, berdarah-darah, hingga mengobral kengerian supranatural. Akan tetapi, film-film horor tersukses atau yang dikenal sebagai klasik kerap "menohok" sesuatu yang lebih mendalam, dan menjadi alegori terhadap isu-isu yang dihadapi manusia. <i>Rosemary's Baby</i> adalah wujud ketakutan wanita terhadap masyarakat patriarki yang mengendalikan hak reproduksinya. <i>Dawn of the Dead </i>menyindir serbuan budaya konsumerisme. <i>Mama</i> mengusung karakter wanita yang merasa tidak siap menjadi ibu. <i>It Follows </i>adalah analogi dari penyakit menular seksual. <i>The Babadook</i> adalah alegori dari duka cita yang meneror secara perlahan. <i>Get Out</i> memotret ketegangan rasial dan kemunafikan kaum liberal kulit putih di Amerika Serikat. <i>The Shining </i>telah diinterpretasikan sebagai banyak hal, mulai dari potret kegilaan, krisis maskulinitas, hingga sejarah pembantaian penduduk pribumi Amerika. <i>Raw</i> tidak ragu-ragu mengikuti langkah film-film ini.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<i>Raw</i> menggunakan imaji atmosferik serta penggunaan warna yang efektif untuk mendukung jalan cerita serta perkembangan karakter tokoh Justine. Menit-menit awal yang muram mengikuti karakter Justine sebagai gadis pemalu berwajah tertekan yang berada di bawah "tirani" vegetarianisme keras ibunya. Ketika Ducournau mengobral palet merah lewat siraman darah di acara pelonco, serta menjejalkan ginjal kelinci ke mulut Justine, si gadis pemalu dengan kaus bergambar unicorn pun perlahan menghilang. Tidak sulit melihat <i>Raw</i> sebagai perlambang perubahan drastis yang dialami seorang gadis muda yang mencoba mencari jati diri, serta perjuangan seorang wanita merebut kendali atas tubuhnya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Dunia bisa menjadi tempat yang penuh penilaian kejam bagi wanita. Mulai dari tubuh, kata-kata, cara berpikir, cara berpakaian, seksualitas hingga hak reproduksi, tidak ada dari diri kaum wanita yang tidak pernah dinilai bahkan dihakimi. Dunia Justine dalam <i>Raw</i> berkisar di kampus. Masa kuliah pertama serta kedewasaan awal biasanya adalah masa di mana orang sibuk mencoba-coba identitas berbeda, dan kerap kali merasa gamang karenanya. Percakapan Justine dengan dokter yang memeriksa kulitnya pun menunjukkan betapa kejamnya dunia yang penuh penilaian ini, dan ketika Justine dengan takut-takut tapi penasaran mencoba memuaskan hasrat kanibalisme barunya, saat itu saya bisa bersimpati, karena menyadari bahwa merebut kendali atas diri sendiri (baik secara fisik maupun psikologis) membutuhkan keberanian yang luar biasa.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<i>That being said</i>, pecinta horor ekstrem tidak akan menemukan apa yang mereka cari di sini (walau klimaksnya cukup spektakuler dengan cara yang kalem). Horor kanibal dalam <i>Raw</i> cenderung digambarkan secara elegan, walau Ducournau sangat murah hati dengan palet merahnya. Tetapi, bukan berarti ini film membosankan, karena <i>Raw</i> justru sangat bagus dari segi drama. Petualangan ekstrem Justine, pada akhirnya, hanyalah representasi visual dari apa yang sebenarnya juga menakutkan bagi seorang wanita di dunia nyata: mengambil kendali atas tubuhnya dan bebas dari kungkungan.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-15200849102571386012017-05-19T23:57:00.001-07:002017-10-13T22:45:47.871-07:007 Film Keren Untuk Para Pencinta Kucing (Bukan Kucing CGI!)<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ5l3mVSx_AuNfqSwIrWuCupN1m2acOs-NKcZN1S7VUcgUf0_9OUDqOc1XtlSX3jVTvfOdnmeNGKohmRO5GGpiyi1PveWdjfTch9cE3AHwtMywgHgeZv-YI3qpECCfiv-XCVf8ObXKcSw/s1600/cats+kedi.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="308" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZ5l3mVSx_AuNfqSwIrWuCupN1m2acOs-NKcZN1S7VUcgUf0_9OUDqOc1XtlSX3jVTvfOdnmeNGKohmRO5GGpiyi1PveWdjfTch9cE3AHwtMywgHgeZv-YI3qpECCfiv-XCVf8ObXKcSw/s640/cats+kedi.png" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kenapa ada lebih banyak film tentang anjing daripada kucing? Jawaban mudahnya sih karena anjing lebih mudah dilatih daripada kucing. Tetapi, hal itu mungkin juga terkait fakta bahwa anjing citranya cenderung lebih positif daripada kucing. Misalnya, anjing dianggap lebih setia, penurut, dan "ceria", sementara kucing dianggap egois, nakal, susah menurut, dan "jahat". Akibatnya, selain film-film animasi dan film komedi kaya CGI macam <i>Nine Lives</i> yang ternyata tidak laku, film yang menampilkan kucing dengan pesona alaminya cenderung sedikit. Makanya, saya suka sekali melihat Sigourney Weaver sebagai si tangguh Ripley membawa kucing ke pesawat luar angkasa dalam <i>Alien</i>, karena jarang-jarang gitu lho tokoh jagoan malah sibuk memikirkan kucingnya ketika pesawatnya sudah hampir meledak, semua awaknya mati, dan alien mengerikan mengepungnya.<br />
<a name='more'></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Karena penasaran, belakangan ini saya mencoba mencari tahu film-film apa saja yang menampilkan kucing dengan pesona alaminya. Bukan film animasi. Bukan film di mana si kucing hanyalah efek khusus seperti dalam<i> Garfield</i>. Bukan film di mana kucing adalah tokoh jahat atau perlambang kengerian seperti dalam film horor klasik macam <i>The Uncanny</i> dan <i>Eye of the Cat</i>. Benar-benar hanya kucing biasa yang berinteraksi secara normal dengan manusia dalam kapasitasnya sebagai kucing.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Penasaran? Ini dia beberapa contohnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>1.<i> Kedi </i>(2016)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg795p9ODEaeLBDfaDcajJpFhgiMq1O5nG_fWlu-HTdL2kR5FwRVLzyOg24XwbDn7M87Up946uRkRVLME8HyWNBmkV8QetVlGQHXIC7JMHqsfKPuigN_dmKdY8apKctnLzW8nFBCobo2_M/s1600/kedi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg795p9ODEaeLBDfaDcajJpFhgiMq1O5nG_fWlu-HTdL2kR5FwRVLzyOg24XwbDn7M87Up946uRkRVLME8HyWNBmkV8QetVlGQHXIC7JMHqsfKPuigN_dmKdY8apKctnLzW8nFBCobo2_M/s640/kedi.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
<div style="text-align: justify;">
<i>Kedi </i>adalah film dokumenter garapan Ceyda Torun yang menyorot tentang kucing-kucing liar di jalanan Istambul, Turki. Konon, kucing-kucing liar ini telah ada sejak berabad-abad di jalanan Istambul. Sebagian dari mereka liar, dan sebagian lagi diberi makan, divaksinasi, bahkan dikebiri oleh orang-orang di sekitar mereka, walau tidak dipelihara di rumah. Kita diajak memandang dinamika Istambul lewat mata para kucing ini, berikut wawancara dengan beberapa orang lokal yang sering berinteraksi dengan mereka. Satu adegan tak terlupakan adalah ketika seekor kucing digambarkan membuka mulut lebar-lebar di depan tembok yang dicoreti dengan tulisan <i>Erdo-gone!</i> Dan di saat yang bersamaan, si narator berkata: <i>"Fighting for territory."</i> Silakan artikan sendiri apa maknanya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>2. <i>Keanu</i> (2016)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtL4sqeoVkYqw5YxS2fkybntJ1meTmSoYrobJ7QF4veWk6MlGrQydt8e4CBp6n1Erl-hlifXOiZr9V-rowCVyWPsnc_4SItWGlt9exnBPIuQXNLsp9jmbK7XGky3n2RsfwbGPbsqwv5NY/s1600/keanu.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="358" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjtL4sqeoVkYqw5YxS2fkybntJ1meTmSoYrobJ7QF4veWk6MlGrQydt8e4CBp6n1Erl-hlifXOiZr9V-rowCVyWPsnc_4SItWGlt9exnBPIuQXNLsp9jmbK7XGky3n2RsfwbGPbsqwv5NY/s640/keanu.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tadinya saya sedikit pesimis soal film aksi komedi <i>Keanu</i> yang disutradarai Peter Atencio ini. Pasalnya, sudah tak terhitung berapa kali saya menemukan <i>buddy comedy</i> (komedi yang menampilkan petualangan dua sahabat, biasanya berkisar di tema kejahatan atau aksi polisi) yang kelihatannya heboh tapi ternyata garing dan tidak seseru <i>Hot Fuzz</i>, <i>Lethal Weapon,</i> atau <i>Rush Hour</i>. Apalagi, premis komedi ini sedikit absurd: tentang dua sahabat yang "tidak sengaja" memelihara kucing milik pimpinan gembong narkoba, dan ketika si kucing hilang saat rumah mereka digrebek gerombolan penjahat, mereka terlibat petualangan seru ketika berusaha menemukan kucing itu. Tetapi, <i>Keanu</i> ternyata memberi hiburan yang cukup lumayan, dengan porsi komedi yang pas dan bisa membuat saya tertawa di saat-saat yang tepat, walau masih ada sedikit lubang-lubangnya. Selain itu, film ini dibintangi Keegan-Michael Key, salah satu komedian tamu favorit saya dalam seri komedi improvisasi <i>Whose Line Is It Anyway</i>, jadi klop lah!</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>3. <i>Cats Don't Come When You Call </i>(2016)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOA6Mtff16wDglMbyt5_gpBIar1RS_S7PyVCWkY5S9aDHz4XkUFs63uUS33J0p550_9bhdqfZOa3vKQVpea0o6a1I_pyv1Mem8KyVuBtdZtdpwSn1eXUex2tK6P9JN_GNWS5PQyMILL8c/s1600/cats+dont+come+when+you+call.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjOA6Mtff16wDglMbyt5_gpBIar1RS_S7PyVCWkY5S9aDHz4XkUFs63uUS33J0p550_9bhdqfZOa3vKQVpea0o6a1I_pyv1Mem8KyVuBtdZtdpwSn1eXUex2tK6P9JN_GNWS5PQyMILL8c/s640/cats+dont+come+when+you+call.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
"Seorang karakter kehilangan arah hidup, harus memelihara hewan yang tidak dia sukai, tetapi hewan itu ternyata mengubah hidupnya." Ini premis yang sudah umum untuk kisah-kisah inspirasional bertema hewan, tetapi selama ini, saya lebih banyak melihat film tentang anjing daripada kucing. <i>Cats Don't Come When You Call</i> adalah film garapan Toru Yamamoto yang menampilkan tokoh Mitsuo, petinju yang karirnya mandek akibat cedera. Ketika pulang ke rumah kakaknya yang seniman manga, dia kebagian tugas mengurus dua ekor anak kucing yang dipungut si kakak. Walau alur ceritanya cenderung mudah ditebak, yang saya suka dari film ini adalah tidak terlalu melodramatis, tidak ada romansa yang tidak perlu (Mitsuo berteman dengan gadis tetangganya yang tahu banyak tentang kucing, tetapi tidak maksa harus pacaran), dan hubungan Mitsuo dengan kucing-kucingnya tersebut digambarkan secara alami. Setiap orang yang tidak pernah memelihara kucing tetapi kemudian memelihara untuk pertama kalinya pasti bisa merasa nyambung.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>4. <i>A Street Cat Named Bob</i> (2016)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy5ZZO-NmD0yAdCP8AGB3PVujGG3Uip6Gj60jDPr5PNNA5QkhjPc_Kl0lDzUDB5eiOuOT-ISljvtaibS81AR0fP7PPdQXaNllJGLdC38AFdx34almijiFz49AiGiXQ7QTRFyh5kpwja_U/s1600/street-cat-named-bob.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjy5ZZO-NmD0yAdCP8AGB3PVujGG3Uip6Gj60jDPr5PNNA5QkhjPc_Kl0lDzUDB5eiOuOT-ISljvtaibS81AR0fP7PPdQXaNllJGLdC38AFdx34almijiFz49AiGiXQ7QTRFyh5kpwja_U/s640/street-cat-named-bob.jpg" width="640" /></a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
Judulnya mungkin sedikit nakal karena memberi gaung <i>A Streetcar Named Desire</i>, tetapi <i>A Street Cat Named Bob</i> adalah film drama yang sejenis dengan <i>Cats Don't Come When You Call</i>, dengan tokoh utama orang Inggris alih-alih Jepang. Film ini dibuat berdasarkan biografi James Bowen, seorang seniman jalanan di London yang menderita ADHD, schizophrenia dan bipolar serta sempat menjadi gelandangan serta kecanduan narkoba, namun berhasil menggapai hidup normal lebih cepat setelah memelihara seekor kucing jalanan yang diberinya nama Bob. Film "inspirasional" biasanya cenderung membuat saya eneg kalau terlalu "manis", tetapi film ini punya porsi pas antara drama dan pameran keimutan si Bob, walau karakter perempuan tetangga James yang kemudian menjadi pacarnya terasa sedikit dipaksakan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>5. <i>Neko Zamurai</i> (2013)</b></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEif2WqyPs-2T1ls81oNWEvn9sBaa7uamqcDyBQPyIVuDX3TTIlN5ehHzLsZowxhX40aIKpEzWpUdDqU-MDko-X8bdXqWrXmz5ut0lfxGBqJBk5uZJ5GKWHnxHOQfmtsWAX3QZxtZfwxfgo/s1600/neko+samurai.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="426" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEif2WqyPs-2T1ls81oNWEvn9sBaa7uamqcDyBQPyIVuDX3TTIlN5ehHzLsZowxhX40aIKpEzWpUdDqU-MDko-X8bdXqWrXmz5ut0lfxGBqJBk5uZJ5GKWHnxHOQfmtsWAX3QZxtZfwxfgo/s640/neko+samurai.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Bagi yang mengharapkan adegan bak-bik-buk ala film samurai sebaiknya jangan senang dulu, karena serial <i>Neko Zamurai</i> sebenarnya lebih banyak berkisah tentang keseharian Kyutaro, seorang samurai miskin yang menganggur, bersama seekor kucing putih bernama Tamanojo. Kyutaro tadinya ditugaskan untuk membunuh Tamanojo, kucing peliharaan bos sebuah klan, karena anak buahnya merasa bos mereka menjadi kekanak-kanakan setelah memiliki si kucing. Karena tidak tega, Kyutaro memutuskan memelihara kucing itu. Film ini mungkin terasa agak hiperbolis di beberapa bagian, dan plotnya sedikit absurd, terutama dengan Kyutaro yang ekspresi wajahnya selalu merengut seram, tetapi interaksi antara Kyutaro yang sok <i>tsundere</i> dan Tamanojo memberi traktiran visual yang imut. Saran saya: lebih baik menonton serial musim pertamanya saja, karena kualitas ceritanya lebih "alami" dibandingkan musim kedua.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>6. <i>Rentaneko</i> (2007)</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwRT5EV9EZkywmCiOGJXQuV-lUna6pLfifVKke2TwvplDr2efFzuuKW4iglA9abBK-RnjLh3Ip2anlgMJ3l9WnL8uI0pvb1dh5CUU8H781mNYYPeb8u0Wei6tKHmkFybDtfpqD0BGqljI/s1600/rentacat_sub1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwRT5EV9EZkywmCiOGJXQuV-lUna6pLfifVKke2TwvplDr2efFzuuKW4iglA9abBK-RnjLh3Ip2anlgMJ3l9WnL8uI0pvb1dh5CUU8H781mNYYPeb8u0Wei6tKHmkFybDtfpqD0BGqljI/s640/rentacat_sub1.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Bagi mereka yang kesepian atau menderita penyakit degeneratif seperti Alzheimer, hewan peliharaan terbukti bisa memberi dampak positif. Dalam <i>Rentaneko (Rent A Cat)</i>, sutradara dan penulis naskah Naoko Ogigami menyuguhkan karakter unik bernama Sayoko, yang setiap hari menyeret gerobak lucu berisi kucing-kucing manis dalam keranjang. Dengan menggunakan megapon, Sayoko berseru-seru: "Menyewakan kucing! Kalau kau kesepian, kau bisa menyewa kucing!" Film ini tidak hanya mengikuti keseharian Sayoko bersama kucing-kucingnya, melainkan juga para karakter yang menyewa kucingnya, seperti seorang pekerja paruh baya yang sudah lama tidak menemui keluarganya, seorang wanita tua yang kehilangan seluruh anggota keluarganya, hingga resepsionis muda yang mempertanyakan makna hidupnya.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>7. <i>Harry and Tonto</i> (1974)</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_oZ-pHkmZ9_wB4FGVcW78G1PgjY_TC2BiVct8LEUf_veVp5EhCspZchqBUeI8xFw0RgX8m4HQD5q8IMT6P10a4az-WUQ7AbaAOICMUXtZb-AM26K6gGo_aGtjq48YrrZW21EANi8RIS4/s1600/harry+tonto.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg_oZ-pHkmZ9_wB4FGVcW78G1PgjY_TC2BiVct8LEUf_veVp5EhCspZchqBUeI8xFw0RgX8m4HQD5q8IMT6P10a4az-WUQ7AbaAOICMUXtZb-AM26K6gGo_aGtjq48YrrZW21EANi8RIS4/s640/harry+tonto.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Saya tahu usia tidak menandakan kedewasaan berpikir, tetapi tetap saja saya bertanya-tanya: ketika seseorang sudah menjalani hidup jauh lebih lama, bukankah tetap ada perubahan yang bisa diterka dalam pola pikir seseorang? Salah satunya mungkin digambarkan dengan apik dalam <i>Harry and Tonto</i>, kisah tentang seorang pria lansia yang mengira hidupnya sudah aman dan stabil di sebuah apartemen sederhana di New York bersama seekor kucing tua, hingga apartemennya kemudian terancam diruntuhkan. Dia mencoba tinggal bersama anak dan cucu-cucunya, tetapi mereka sendiri sibuk dengan masalah keluarga, sehingga dia memutuskan melakukan perjalanan keliling negeri bersama kucingnya. Harry dan Tonto bertemu beragam karakter, mengalami berbagai macam hal yang kadang lucu, menakutkan, dan mengharukan, tetapi benang merahnya tetap sama: ini adalah film tentang sepasang karakter tua beda spesies yang sama-sama menghadapi hidup dengan keluwesan yang hanya bisa dimiliki mereka yang telah melihat banyak hal. <i>Very recommended</i>.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-5392643375542716712017-05-16T03:36:00.000-07:002020-04-16T09:05:54.960-07:00Review: The Full Monty<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAYMh5QjHvx1DgL5fQ1ZEW5sTuF00Gv2Va3jjl5f9B35tWiPM0iwDpVrinhvo6miK-pyV796Xks64K1iEHBqBWR8vbuQmW6uW80Fp18pElqhgmOxaB1iV47M3H22L_LG-g3Wdw8wfnYRY/s1600/full-monty-1997-28-g.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="428" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgAYMh5QjHvx1DgL5fQ1ZEW5sTuF00Gv2Va3jjl5f9B35tWiPM0iwDpVrinhvo6miK-pyV796Xks64K1iEHBqBWR8vbuQmW6uW80Fp18pElqhgmOxaB1iV47M3H22L_LG-g3Wdw8wfnYRY/s640/full-monty-1997-28-g.jpg" width="640" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Tahun rilis: 1997</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Sutradara: Peter Cattaneo</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>Bintang: Robert Carlyle, Mark Addy, William Snape, Paul Barber, Tom Wilkinson, Steve Huison</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<b>My rate: 4/5</b></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Sekilas, <i>The Full Monty</i> menyuguhkan premis absurd yang cocok untuk bahan komedi seks ala <i>Deuce Bigalow</i>: sekelompok pekerja pabrik yang terkena pemutusan hubungan kerja mencoba menjajal menjadi penari erotis, walaupun tanpa badan roti sobek serta wajah rupawan ala kru Magic Mike. Akan tetapi, sutradara Peter Cattaneo berhasil membawa premis ini menjadi drama komedi yang nakal tetapi cerdas, dan menyelami berbagai isu seperti hak ayah, seksualitas, impotensi, isu <i>body image </i>pada pria<i>, </i>serta sudut pandang baru terhadap maskulinitas. </div>
<a name='more'></a><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Gaz (Carlyle) adalah mantan pekerja pabrik yang kehilangan pekerjaan ketika pabrik pengolahan besi baja tempatnya bekerja ditutup. Kehabisan uang dan terancam tidak bisa lagi menemui anaknya karena tidak bisa mengirimkan tunjangan perawatan anak kepada mantan istrinya, Gaz mulai mencari pekerjaan yang bisa mendatangkan banyak uang. Dia terinspirasi setelah melihat sebuah pertunjukan tarian erotis pria yang selalu penuh didatangi kaum wanita setiap malam. Gaz pun mengumpulkan teman-temannya serta melakukan "audisi" untuk mencari anggota dan membuat klub serupa.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Gaz akhirnya berhasil mengumpulkan beberapa orang: Dave (Addy) yang sering rendah diri karena tubuhnya gemuk, Horse (Barber) yang pandai menari namun diam-diam gelisah karena masalah impotensi akibat usia, Lomper (Huison) yang depresi dan sempat ingin bunuh diri, Gerald (Wilkinson) si mantan mandor yang menyembunyikan fakta bahwa dia di-PHK dari sang istri, dan Guy (Speer) si tukang ledeng yang pernah memperbaiki toilet Gerald. Gaz dan teman-temannya pun berjuang untuk berlatih sambil berusaha menyelesaikan persoalan pribadi masing-masing, dan berpegang pada harapan bahwa aksi tersebut adalah pintu menuju kesuksesan finansial.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<i>The Full Monty</i> dengan apik membawakan topik yang mungkin rawan dipelesetkan menjadi komedi seks gila-gilaan, dan menunjukkan gaya penggambaran mengejutkan terhadap sosok kaum kelas pekerja di sisi Inggris yang lebih suram dan terpolusi (karena asap pabrik). Komedi ini tidak disampaikan secara berlebihan, membuat saya mampu tertawa dengan setitik kesadaran bahwa setiap adegan adalah sesuatu yang tidak aneh jika ditemui di dunia nyata. Tentu saja ada adegan "audisi" khas film-film bertema pertunjukan, tetapi bahkan adegan ikonik seperti itu dilakukan di ruang kosong yang kotor dan berantakan di bangunan bekas pabrik, dengan para peserta yang menyedihkan, dan mereka yang lolos bahkan tidak bisa dibilang "cemerlang" dalam keahliannya. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Film ini sekilas berfokus pada kultur kelas pekerja di Inggris, kelompok yang kerap diidentikkan dengan maskulinitas tradisional dan nilai-nilai konservatif, di mana laki-laki sejati berarti mereka yang berperan sebagai pencari nafkah utama, mengerjakan "pekerjaan lelaki sejati" yang berhubungan dengan konstruksi, industri, bisnis, dan pembangunan. Akan tetapi, premis unik <i>The Full Monty</i> berhasil menjungkirbalikkan nilai-nilai ini dan bahkan mengajukan pertanyaan nakal: apakah yang menentukan nilai maskulinitas tradisional? Ketika hal-hal seperti usia muda, keharmonisan keluarga, dan kesempatan mencari nafkah tercabut dari seorang pria karena penyebab di luar kendalinya (seperti yang terjadi pada Gaz dan kawan-kawannya), apakah ini berarti pria tersebut tidak lagi bisa dianggap sebagai sosok "maskulin"? </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Ketika Gaz melihat kesempatan bisnis dari pertunjukan tari erotis pria (sesuatu yang biasanya tidak diidentikkan dengan nilai maskulinitas tradisional), dia berusaha mengambil kendali atas hidupnya serta menyangkal prasangka orang-orang di sekitarnya (termasuk mantan istrinya) tentang pemahamannya akan tanggung jawab. Akan tetapi, proses tersebut juga tidak mudah: teman-teman Gaz yang terbiasa dengan nilai-nilai maskulinitas tradisional terlihat kikuk ketika menyadari mereka harus membuka pakaian dan menari di hadapan penonton wanita, yang pasti akan bersorak-sorai saat menyaksikan mereka, sama seperti ketika penonton pria bersorak-sorai jika melihat penari erotis wanita. Akan tetapi, mereka menyadari mereka harus melakukannya jika ingin meraih kembali kepercayaan dan keyakinan diri yang sempat runtuh ketika kehidupan yang mereka kenal hancur berantakan.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: justify;">
Dalam dunia tari erotis, istilah <i>"the full monty"</i> merujuk pada saat ketika para penari benar-benar membuka pakaian hingga helai terakhir, dan tampil telanjang bulat di hadapan penonton. Dengan menunjukkan keberanian untuk memamerkan kerapuhan di balik upaya mempertahankan topeng maskulinitas tradisional, para pria ini justru perlahan belajar menemukan kembali apa makna "menjadi pria sejati" dalam cara yang sama sekali tak terduga.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-865745673612453187.post-17961569373845496572017-05-02T02:04:00.001-07:002017-05-02T02:10:09.676-07:00Tale of Tales<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7FsllzE4BhFBL9JWz3pgJ-OQzrik8A7qAcPvwqiOLdX-c83phAHA9eJbytn4dm85lIOhxV9i1V4IvRX5zwXhmAUsqJSb3qWvfVwXVYNGNYfMhyphenhyphenlZ6P7JhyIWG5alrYZiFlTe012ntVm0/s1600/tale+of+tales.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="360" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg7FsllzE4BhFBL9JWz3pgJ-OQzrik8A7qAcPvwqiOLdX-c83phAHA9eJbytn4dm85lIOhxV9i1V4IvRX5zwXhmAUsqJSb3qWvfVwXVYNGNYfMhyphenhyphenlZ6P7JhyIWG5alrYZiFlTe012ntVm0/s640/tale+of+tales.jpg" width="640" /></a></div>
<br />
<b>Tahun rilis: 2015</b><br />
<b>Sutradara: Matteo Garrone</b><br />
<b>Bintang: Salma Hayek, Vincent Cassel, Toby Jones, John. C. Reilly, Shirley Henderson</b><br />
<b>My rate: 3.5/5</b><br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Bicara soal dongeng dan cerita rakyat, saya selalu langsung merujuk ke cerita-cerita rakyat yang sama sekali tidak diberi "perlakuan ala Disney" alias dipermanis. Karena dongeng kuno dan cerita-cerita rakyat biasanya dibuat dan disebarkan sebagai pelajaran moral, mereka kerap mengandung adegan-adegan muram atau sadis, yang seandainya dijadikan film atau acara TV, mungkin akan diberi rating Dewasa (dan mengundang kemarahan orang dewasa yang salah mengira itu sesuatu untuk semua umur, lantas mengajak anak mereka yang masih kecil untuk menontonnya). <i>Tale of Tales </i>adalah tiga buah kisah dongeng yang mempertahankan kesan gelap dan muram di dalam penggambarannya, namun berpadu apik dengan unsur-unsur fantasi yang kental.<br />
<a name='more'></a><br />
<i>Tale of Tales</i> berisi tiga buah cerita, yang walau tidak saling berkaitan, tetapi para karakternya digambarkan berlintasan jalan. Cerita pertama, <i>The Queen</i>, mengisahkan tentang raja dan ratu Kerajaan Longtrellis yang menginginkan anak, namun tak kunjung mendapatkannya. Sang raja pun pergi membunuh seekor monster air untuk mendapatkan jantungnya sebagai obat kesuburan. Ketika sang ratu memakannya, dia memang bisa hamil, namun si pelayan wanita yang memasak jantung monster itu juga hamil karena mendapat sedikit bagian dari jantung si monster. Kedua anak lelaki yang mereka lahirkan tumbuh menjadi sahabat, namun sang ratu tidak menyukai kedekatan anak lelakinya dengan anak lelaki si pelayan, dan membuat rencana untuk memisahkan mereka.<br />
<br />
Cerita kedua, <i>The Flea</i>, berkisah tentang seorang raja yang memiliki seorang putri, Violet, serta hewan peliharaan berupa kutu besar, yang mendapat lebih banyak perhatian daripada sang putri. Ketika si kutu mati, sang raja sangat sedih dan memutuskan mengulitinya, lantas menjadikannya obyek sayembara dengan Violet sebagai hadiahnya. Sesosok monster berhasil memenangkan sayembara, dan membawa sang putri ke guanya secara paksa. Violet menghabiskan hari-hari dengan sedih dan ketakutan, sampai sebuah keluarga pemain akrobat menolongnya, namun meloloskan diri dari si monster ternyata bukan perkara mudah.<br />
<br />
Cerita ketiga, <i>The Two Old Women</i>, berkisah tentang seorang wanita tua yang mencintai seorang raja yang angkuh, dan menarik perhatiannya dengan suara nyanyian yang indah. Tetapi ketika sang raja menyadari dia adalah wanita tua, sang raja melemparnya dari jendela. Seorang penyihir membantu wanita itu menjadi muda dan cantik kembali, namun saudara perempuan wanita tua itu merasa iri dan mulai mencari tahu rahasia apa yang membuat saudaranya menjadi muda kembali.<br />
<br />
Menonton <i>Tale of Tales</i> terasa seperti membaca buku dongeng: jangan menggunakan logika dunia nyata untuk memahami setiap ceritanya. Jika Anda terbiasa menuntut bahwa setiap adegan harus memiliki logika tertentu, bahkan dalam cerita fiksi, film ini akan membuat Anda menderita. Walau setiap cerita memiliki alur narasi yang jelas, <i>Tale of Tales</i> menyuguhkan nuansa yang lebih mirip teater atau malah lukisan bergerak. Sutradara Matteo Garrone bahkan mengaku bahwa visual dalam film ini terinspirasi dari sederet ilustrasi satiris Fransisco Goya yang bertajuk <i><a href="https://en.wikipedia.org/wiki/Los_caprichos" target="_blank">Los Caprichos</a>. </i>Banyak adegan yang jelas-jelas terlihat disorot dalam sebuah studio, namun elemen artifisial ini justru menyuguhkan kesan teatrikal yang semakin menonjol.<br />
<br />
<i>Tale of Tales </i>juga tidak terasa seperti dongeng-dongeng yang digarap oleh Disney. Kisah-kisah yang ada di film ini disampaikan secara membumi namun fantastis, realistis namun berwarna-warni, suram sekaligus hidup di saat yang bersamaan. Bukannya menciptakan pengalaman menonton untuk semua umur, Garrone berpegang pada aturan lama dongeng dan cerita rakyat: mereka adalah kisah-kisah tentang moralitas, jadi jangan ragu menunjukkan keburukannya. Apalagi, kisah-kisah dalam film ini diadaptasi dari <i>Il Pentamerone</i>, buku kumpulan dongeng dari abad ke-17 karya penyair dan pujangga Italia, Giambattista Basile. Berbagai cerita dalam buku ini juga banyak diadaptasi oleh penulis dongeng seperti Grimm Bersaudara dan Charles Perrault, misalnya kisah-kisah seperti <i>Rapunzel, Hansel dan Gretel</i>, serta <i>Kucing Bersepatu Bot</i>.<br />
<br />
Layaknya berbagai kisah dongeng dan cerita rakyat yang menunjukkan tema tertentu sebagai moralitasnya, film ini juga menunjukkan benang merah yang sama di setiap cerita, yaitu "hasrat". Setiap karakter utama dalam tiap cerita menunjukkan hasrat yang hanya bisa dipuaskan oleh tindakan kejam, namun hal itu pada akhirnya berbalik kembali ke diri mereka sendiri. Akan tetapi, saran saya, tidak perlu memaksakan diri menggali pesan moral atau mencoba mengurai setiap logika di dalamnya. Nikmati saja film ini seperti menikmati sebuah buku dongeng berwarna-warni: tidak perlu dibedah, cukup "terjunkan" diri ke dalamnya, dan biarkan diri Anda terhanyut.</div>
Putri Prihatinihttp://www.blogger.com/profile/01799887134658329919noreply@blogger.com0