Tahun rilis: 2009
Sutradara: Yorgos Lanthimos
Bintang: Christos Stergioglou, Michelle Valley, Angeliki Papoulia, Mary Tsoni
My rate: 4/5
Di tengah krisis finansial yang mengobrak-abrik Yunani, sutradara Yorgos Lanthimos dan penulis naskah Efthimis Filippou berhasil mengusung nama negara mereka di kancah penghargaan perfilman bergengsi. Dogtooth (Kynodontas) berhasil menyabet berbagai penghargaan dari Academy Awards (nominasi Best Foreign Film), Cannes (Prix Un Certain Regard), Sitges Film Festival (Best Motion Picture Fantastic Award dan Citizen Kane Award for Best Directorial Revelation), dan masih banyak lagi. Lebih dari itu, film ini adalah kritik menggigit untuk kekuasaan otoriter dengan dalih melindungi, yang diungkapkan dengan serangkaian adegan yang mungkin akan membuat penonton yang nggak tegaan memalingkan muka.
Dogtooth berkisah tentang sebuah keluarga dengan tiga anak yang menghuni rumah besar berpagar tembok tinggi, sehingga yang berada di dalam tidak bisa melihat keluar. Sang ayah melarang anak-anaknya melihat dunia luar sejak lahir dengan mengatakan pada mereka bahwa dunia luar itu berbahaya, dan kucing adalah hewan buas yang akan memakan mereka. Sang ibu mengajari anak-anaknya bahasa dengan kaset kosakata yang dibuatnya sendiri, dimana kata-kata diacak senaknya; misalnya, "pussy" berarti lampu, "zombie" berarti bunga kecil berwarna kuning, "sea" berarti kursi, dan "keyboard" berarti alat kelamin. Kedua orangtua ini bahkan mengarang cerita tentang adik laki-laki yang tinggal di sisi lain tembok, dihukum tidak boleh pulang karena membantah, sehingga ketiga anaknya sering melempar makanan lewat pagar untuk "adik" mereka. Ketiga anak ini melewatkan waktu luang dengan "bermain" adu ketahanan seperti lama-lamaan menaruh tangan di bawah air panas atau menggores-gores anggota badan. Mereka juga berlomba mengumpulkan stiker untuk menandai perbuatan baik, dan ketika berbuat salah, mereka dihukum dengan kejam oleh sang ayah.
Suatu hari, sang ayah membawa salah satu petugas keamanan wanita di tempat kerjanya ke rumah. Christina, nama wanita itu, selalu ditutup matanya saat diantar-jemput dengan mobil, dan dibayar untuk berhubungan seks dengan si anak laki-laki. Akan tetapi, interaksi Christina dengan ketiga anak ini perlahan mulai mengacaukan stabilitas keluarga yang dipaksakan si ayah. Christina, yang tidak puas dengan performa seksual si anak lelaki, menyogok si anak perempuan sulung dengan bando berkilau dan video film-film Hollywood miliknya untuk seks oral. Tertarik dengan kilasan dunia luar yang belum pernah diketahuinya ini, si anak perempuan sulung perlahan mulai mempertanyakan kebenaran di balik didikan ayah dan ibunya selama ini.
Yorgos Lanthimos sempat berkomentar bahwa dirinya sebenarnya tidak bermaksud membuat alegori apa-apa dengan memotret karakter berupa keluarga disfungsional ini. Baginya adegan-adegan menggiriskan yang seolah mencerminkan sebuah album foto keluarga dengan "sesuatu" yang salah di dalamnya murni eksplorasi seni. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Dogtooth mengundang banyak diskusi, terutama karena memang sangat mengundang menganalisanya dari berbagai sudut.
Sebagai contoh, bukankah mudah sekali menodong film ini sebagai kritik atas sikap otoriter yang berkedok "melindungi dari marabahaya asing di luar sana?" Ketika sikap melindungi berarti membuat seorang pemegang wewenang menerapkan segudang peraturan yang justru mengungkung orang-orang dan menghukum mereka yang mengancam "keharmonisan" tersebut, lalu apa bedanya si pemegang wewenang ini dengan "marabahaya" yang disebut-sebutnya di luar sana? Film ini seperti versi ekstrem dari potret keluarga dengan kepala keluarga otoriter, atau alegori tentang penguasa negara yang otoriter dengan dalih melindungi. Bahkan si kepala keluarga tak ragu memanipulasi informasi demi "melindungi," walau hal itu berakibat anak-anaknya melakukan tindakan salah kaprah yang brutal. Misalnya, ketika si anak lelaki membunuh seekor kucing yang nyasar ke kebun mereka karena selalu dicekoki informasi bahwa kucing itu berbahaya, si ayah menggunakan kesempatan dengan melumuri darah bangkai kucing ke pakaiannya, dan masuk rumah dengan menyampaikan kabar bahwa dia barusan diserang kucing yang hampir memakannya. Apakah hal ini memotret media dan pejabat publik dengan kepentingan tertentu yang gemar memanipulasi informasi dan memberi rakyat kambing hitam untuk menutupi persoalan sebenarnya? Lanthimos mempersilakan Anda menebak-nebak sendiri.
Pemilihan set rumah yang memang nampak sebagai rumah keluarga ideal, tidak berantakan dan dipenuhi barang aneh atau kotor, justru membuat rasa tidak nyaman saat menonton film ini semakin menyeruak. Keindahan rumah yang dibarengi dengan tampilan hunian keluarga ideal ini menjadi janggal ketika dipasangkan dengan perilaku dalam habitat yang menyerupai penjara; ketika para penghuninya menukar poin perilaku baik (stiker) dengan imbalan tertentu seperti hiburan, ketika aktifitas menyakiti diri sendiri digunakan sebagai perintang waktu, ketika kebrutalan sipir penjara diijinkan atas nama disiplin, dan seks hanyalah pelepasan tanpa keintiman. Beberapa sudut pengambilan gambar juga memberi kesan terkungkung bagi penonton; ada beberapa adegan dimana kamera menyorot sedemikian rupa dan membuat kita merasa bahwa jarak pandang kita terhalang, seperti kalau kita nonton bioskop dan duduk di belakang orang yang badannya tinggi. Kita seolah dipaksa ikut mengalami keterkungkungan pandangan seperti yang dirasakan anak-anak keluarga ini.
Dari semua karakter yang ada di film ini, yang paling saya suka adalah si anak perempuan dan Christina, si satpam perempuan. Walau Christina hanya muncul sebentar, kemunculannya bagaikan "setan" dalam versi "surga" bikinan para orangtua otoriter ini, menciptakan retakan dalam gelembung ketidaktahuan yang mengungkung anak-anak. Sementara itu, si anak perempuan sulung menjadi yang pertama keluar dari gelembung ketidaktahuannya, perlahan-lahan menyelipkan informasi terlarang dari dunia luar yang diperolehnya karena Christina. Misalnya saja ketika dia meneriakkan kutipan dari film Rocky saat berhubungan seks dengan saudara lelakinya, atau ketika dia mendadak menarikan tarian dari Flashdance ketika keluarganya mengadakan pesta, membuat kaget orangtuanya yang hanya mengijinkan tarian kaku bagi anak-anak perempuan ini.
Pada akhirnya, si anak perempuan harus menghadapi halangan terakhir yang memisahkannya dari kebebasan yang mulai dirindukannya. Apakah dia berani mengambil langkah itu? Apakah dia berani mengambil langkah drastis berisiko yang diperlukan untuk meraih kebebasan, dan bukan hanya menyelipkan ide-ide tentang kebebasan dalam penjaranya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gimana pendapat Anda?