Selasa, 04 Oktober 2016

Review: Wake Wood


Tahun rilis: 2010
Sutradara: David Keating
Bintang: Aidan Gillen, Timothy Spell, Eva Birthistle, Ella Connolly
My rate: 3.5/5

Film-film horor yang menampilkan kengerian di pemukiman rural seperti Wicker Man (versi 1973, tentu), We Are Still Here dan Don't Look Now dengan sukses membidik ketakutan kita terhadap horor tak terduga di balik ketenangan dan keindahan alam pedesaan serta penduduk yang cenderung dianggap "lebih ramah" dari penduduk kota. Sebelum Hammer Film merilis The Quiet Ones yang relatif populer di kalangan pecinta film found footage, ada Wake Wood, film horor atmosferik yang walaupun relatif lebih jarang dikenal, namun lumayan efektif menggabungkan horor supernatural, audio visual brutal, dan tema keluarga yang mengharukan.

Wake Wood dibuka secara brutal dengan terbunuhnya seorang gadis kecil, Alice (Ella Connolly) oleh seekor anjing herder di halaman klinik ayahnya, Patrick (Aidan Gillen) yang seorang dokter hewan. Setelah memakamkan Alice, Patrick dan istrinya, Louise (Eva Birthistle) memutuskan pindah ke daerah pedesaan bernama Wakewood. Mereka bertemu dengan kolega Patrick, Arthur, yang membantu memperbaiki mobil mereka yang rusak. Berbagai peristiwa aneh menyambut pasangan itu di Wakewood. Satu kali, Louise melihat Arthur dan penduduk desa melakukan suatu ritual aneh. Louise juga bertemu pasangan ibu dan anak yang bersikap janggal di apotek tempatnya bekerja. Akhirnya, ketika Patrick membantu menangani seekor sapi jantan, sapi itu tanpa sengaja menyeruduk dan menginjak pemiliknya, seketika membunuhnya.

Patrick dan Louise yang ketakutan memutuskan pergi, namun Arthur, yang tak ingin kejadian itu diketahui dan menyadari desa tersebut membutuhkan keahlian pasangan tersebut sebagai dokter dan apoteker, membujuk mereka dengan mengatakan bahwa dirinya mengetahui ritual yang bisa menghidupkan lagi putri mereka selama tiga hari (ritual yang sebelumnya dilihat Louise). Setelah ragu sejenak, Patrick dan Louise pun memutuskan untuk menerimanya. Keinginan mereka pun terkabul setelah Arthur dan penduduk desa melakukan ritual (yang super menjijikkan), dan putri mereka benar-benar hidup kembali. Akan tetapi, setelah kebahagiaan singkat, Patrick, Louise dan para penduduk desa pun mulai menduga bahwa mungkin saja mereka membangkitkan lebih dari sekadar gadis kecil yang mati terlalu cepat.

Wake Wood adalah film horor dengan performa rendah hati yang mirip seperti Isolation, yang memanfaatkan suasana muram pedesaan Irlandia (dan Swedia) untuk menciptakan atmosfer janggal menyesakkan dengan langit yang sepertinya selalu berawan, kontras dengan tampilan desanya sendiri. Pedesaan Wakewood tidak digambarkan sebagai desa seram dengan rumah-rumah mengerikan dan penduduk berwajah penyembah setan; desa ini indah, rapi, teratur dan penduduknya ramah, namun menyimpan rahasia mengerikan. Sesuatu yang kita akan segera rasakan saat menonton film-film seperti Rosemary's Baby, We Are Still Here, dan The Stepford Wives

Satu hal yang sangat saya puji sekaligus bikin jijik dalam film ini adalah audio visualnya. Patrick adalah dokter hewan yang pindah rumah ke sebuah pedesaan dimana penduduknya melakukan ritual gaib menggunakan mayat. Setiap suara irisan daging dan otot, suara "basah" saat tangan menyusup masuk ke sela-sela jaringan tubuh, suara tulang-belulang patah dan remuk, darah tumpah serta lendir meluap sangat jelas di telinga, lengkap dengan adegan-adegan close-up menyertai yang membuat saya nyaris bisa mencium bangkai, darah dan kotoran ala peternakan atau tempat jagal hewan. Efek yang digunakan luar biasa sehingga nyaris bikin saya tidak mau makan daging merah lagi. Untungnya, film ini bisa bermain imbang antara adegan "gelap" dan terang benderang, dengan pencahayaan yang baik sehingga saya tak perlu memicingkan mata terlalu sering saat menonton.

Wake Wood juga menyajikan porsi seimbang antara drama dan horor tersembunyi. Saya bisa dengan mudah ikut merasa bahagia saat Patrick dan Louise bertemu kembali dengan putri mereka yang hidup dengan ritual tersebut, dan tak ingin kebahagiaan mereka berakhir ketika berbagai hal janggal mulai terjadi di sekitar si kecil Alice. Berhubung saya baru saja menonton film ini, sangat menyenangkan melihat sisi lebih lembut dari si Petyr "Littlefinger" Baelish saat dia bermain sebagai seorang ayah berduka yang lembut hati. Ella Connolly juga bermain apik sebagai Alice yang berubah dari imut jadi seram dengan cepat.

Akhirnya, satu hal yang benar-benar menyentuh hati saya ketika menonton film ini adalah ritual yang dilakukan penduduk desa. Walau adegan pelaksanaannya sendiri cukup brutal, ritual ini diperlakukan dengan cukup manusiawi. Ketika Arthur berdiskusi dengan Patrick dan Louise soal persiapan ritual, dia melakukannya dengan efisiensi nyaris seperti pebisnis. Fakta bahwa penduduk desa hanya bisa melakukan ritual ini jika orang tercinta mereka belum setahun dikubur, dan hasilnya hanya bisa memberi kehidupan selama 3 hari, menunjukkan upaya maksimal nyaris putus asa yang akan dilakukan siapapun demi bisa bertemu kembali dengan orang yang dicintai, walau hanya sebentar. 

Saya membayangkan orang-orang yang tak menduga akan kehilangan orang tercinta mereka begitu cepat dan mendadak, yang dihantui penyesalan seumur hidup karena tak sempat menyelesaikan perselisihan, mengucap maaf, atau mengatakan "aku sayang kamu" untuk terakhir kalinya. Jika Anda atau saya mengalami hal itu, dan mendapat kesempatan untuk bertemu lagi dengan orang yang dicintai walau hanya selama 3 hari, akankah kita mengambil kesempatan itu untuk menghilangkan penyesalan di hati, apapun taruhannya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?