Sabtu, 11 April 2020

Review: The Two Popes


Tahun rilis: 2019
Sutradara: Fernando Meirelles
Bintang: Anthony Hopkins, Jonathan Pryce
My rate: 4/5

Lepas dari berbagai kritik dan percakapan tentang film The Two Popes (termasuk dialog-dialog kedua Paus yang sejak awal sebenarnya sudah diakui sebagai fiksi), Fernando Meirelles sukses menghadirkan pengalaman sinematik yang menonjolkan akumulasi pengalaman kedua aktor utamanya dalam sebuah cinematic masterclass. The Two Popes juga dengan sukses membawa imajinasi kita masuk ke adegan belakang layar yang lebih intim dari imaji TV populer menguarnya asap putih pertanda Paus baru telah terpilih, dengan detail-detail mengagumkan yang membentuk latar belakang sempurna untuk "dramatisasi dua pemikiran" ini. 


Anthony Hopkins dan Jonathan Pryce berperan sebagai Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio yang kelak menjadi Paus Fransiskus. Bagian pertama film bergantian menampilkan rincian adegan pemilihan Paus yang berujung pada terpilihnya Kardinal Ratzinger alias Paus Benediktus pada tahun 2005, serta keseharian Bergoglio yang melayani umat di tengah komunitas pinggiran di Argentina. Tujuh tahun kemudian, paduan antara adegan film serta potongan berita memunculkan skandal kebocoran dokumen-dokumen rahasia Vatikan terkait beberapa dugaan tindakan tidak etis, sesuatu yang membuat Kardinal Bergoglio memutuskan menemui Paus Benediktus di rumah musim panasnya untuk memberikan surat pengunduran dirinya.

Acara pemberian surat pengunduran diri yang dikira singkat ternyata berbuntut pada perdebatan panjang antara Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio; mulanya tentang respons masing-masing terkait skandal, lantas melebar ke peran gereja dan Tuhan. Di sini, perbedaan sudut pandang mereka terhadap peran gereja dan tugas-tugas pemimpin agama mulai berbenturan, walau kemudian perbincangan keduanya menghangat saat mereka berbagi info tentang kesenangan masing-masing.

Perdebatan kembali berlanjut saat keduanya kembali ke Vatikan, di mana perbincangan keduanya berlanjut dalam klimaks di Kapel Sistine. Kardinal Bergoglio pun mengungkapkan beban moral masa lalunya saat gagal melindungi teman-temannya dari tekanan brutal diktator Argentina yang didukung militer. Paus Benediktus pun membalikkan permintaan pengunduran diri Kardinal Bergoglio dengan kejutannya sendiri: keinginannya untuk pensiun dengan Bergoglio sebagai penggantinya.

Film ini diangkat dari drama panggung The Pope karya Anthony McCarten, jadi wajar jika aspek pertunjukan serta dialog panggung mendominasi film, menuangkan inti cerita yang berupa pertentangan antar "dua dunia" yang diwakili sepasang pemimpin umat, yang walau memiliki tujuan sama, namun meyakini cara berbeda. Sejak awal, Meirelles sudah menyelipkan tanda-tanda perbedaan kontras antara Paus Benediktus dan Kardinal Bergoglio lewat hal-hal eksplisit: Bergoglio mengutip nama pemain bola dalam acara ibadah, Benediktus (saat masih Kardinal Ratzinger) berkali-kali menegaskan soal "gereja tidak boleh berubah" dalam setiap percakapannya, Bergoglio menyenandungkan Dancing Queen-nya ABBA saat mencuci tangan di toilet Vatikan, dan Benediktus ngotot berbahasa Latin saat bertemu rekan-rekan kardinal. Perbedaan ini tidak bisa lebih gamblang lagi bahkan seandainya Meirelles menjejalkannya ke dalam karung, mengikatnya dengan batu bata, dan melemparkannya ke wajah saya.

Di tangan aktor yang kurang pengalaman, percakapan-percakapan ini tidak akan lebih dari sekadar representasi mentah antar dua pemikiran bertentangan. Akan tetapi, Anthony Hopkins dan Jonathan Pryce dengan sukses menerjemahkan "jiwa" dari kedua pemikiran tersebut, menghadirkan dimensi psikologis dan spiritual yang mampu membuat kita semua berhenti sejenak untuk memikirkan keduanya, tidak peduli ide mana yang diam-diam kita rangkul. Dialog keduanya diselingi momen-momen renyah saat Bergoglio "terpaksa" ikut mencicipi makanan kesukaan Benediktus (yang diam-diam tidak disukainya), atau saat keduanya mendiskusikan musisi favorit serta partisipasi tim negara masing-masing dalam Piala Dunia. Hopkins dan Pryce juga sukses menyeimbangkan antara momen manusiawi dengan momen saat mereka bertindak sebagai perwakilan dua dunia yang bertentangan.

Tentu saja, suara-suara kritik tidak terbatas pada perbedaan yang dibuat terlalu gamblang dan hitam-putih. Walau Meirelles jelas-jelas bilang jika filmnya bukan reka ulang sejarah melainkan fiksi hasil dramatisasi, hal itu tidak menghentikan orang untuk mengecek macam-macam fakta (karena yang digambarkan di film ini, pada akhirnya, orang-orang sungguhan): mulai dari batas usia pensiun kardinal hingga kutipan-kutipan asli Paus Benediktus dan Fransiskus yang menunjukkan aspek lebih dinamis dari model kepercayaan mereka. Ada juga yang mengkritik bahwa film ini lebih cocok dibilang "komedi bromance" yang simplistik, dan tidak memberi penonton informasi lebih dalam tentang aspek formal di tubuh Vatikan yang mendasari film ini sendiri.

Saya pribadi, sebagai orang yang bukan penganut Katolik, mengenyampingkan hal-hal terkait pembahasan agama dan politiknya saat pertama kali menonton karena lebih ingin memelototi aspek-aspek teknis dalam The Two Popes, yang sukses membetot perhatian saya selama dua jam walau isinya "ngomong melulu". Salah satu kesuksesan teknis film ini tentu saja adalah pembuatan ulang setting Vatikan yang sebagian besar tidak disorot di tempat aslinya. Plaza St. Peter harus dibuat dengan komputer, dan kru harus "meminjam" beberapa area di Italia untuk menciptakan Vatikan versi mereka, misalnya Vila Farnese di Capranola dan Royal Palace of Caserta. Union VFX, studio efek khusus yang menggarap film ini, bahkan membuat model tiga dimensi Basilika Santo Petrus untuk...menciptakan efek sambaran petir. Ya, ternyata, pada tahun 2013, kamera mobil seseorang yang diparkir di dekat Basilika Santo Petrus berhasil merekam petir yang menyambar puncak basilika, sehingga Union VFX memutuskan mereka ulang adegan itu agar lebih autentik. Niat banget!

Yang paling mengagumkan tentu saja penciptaan Kapel Sistine yang menjadi lokasi percakapan klimaks, lengkap dengan freskonya yang mengagumkan. Karena kru tidak bisa syuting di Kapel Sistine sungguhan, desainer produksi Mark Tildesley bersama krunya membangun area berdinding plester putih, lalu menggunakan teknik mirip tato untuk "menempelkan" motif lukisan Kapel Sistine ke dinding. Hasil tekniknya begitu mengesankan hingga pakar sejarah yang mengawasi proyek mereka terkagum-kagum dengannya (Tildesley dan krunya bahkan berkesempatan bertemu Paus Fransiskus langsung).

Percakapan kedua Paus dibuat lebih hidup dengan sinematografi ala César Charlone, yang sebelumnya menggarap film-film kejahatan, thriller, dan komedi macam The Pope's Toilet, City of God, dan Blindness. Hasilnya tampak dari paduan close up ekstrem, sorotan miring Dutch angle, dan pergerakan kamera alami yang membuat dialog antar keduanya lebih hidup, kontras dengan sorotan muram ke masa lalu Kardinal Bergoglio pada era kediktatoran di Argentina atau pergerakan kamera dari atas yang memamerkan kemegahan setting Vatikan. Ketika Charlone tidak menyorot wajah atau tangan dari dekat, dia akan menyorot objek-objek mini yang berperan penting dalam adegan atau peran karakternya. Mungkin ada yang menganggap sinematografi dinamis ini sedikit mengganggu, tapi saya pribadi menyukainya.

Akhirnya, ada sentuhan kecil memikat yang menarik perhatian saya. Setelah adegan Kardinal Bergoglio menyiulkan Dancing Queen-nya ABBA di kamar mandi (dan harus menjelaskannya pada Kardinal Ratzinger yang mengira itu lagu pujian), kita melihat adegan prosesi yang mendahului pemilihan Paus baru dalam Konklaf Kepausan. Suara para penyanyi gereja yang menyenandungkan Litani Orang Kudus (Litany of the Saints) perlahan membaur dengan irama versi orkestra dari Dancing Queen, yang entah bagaimana ternyata bisa menyatu sempurna dalam adegan epik terbukanya pintu ke Kapel Sistine. Potongan permainan musikal kecil namun menarik yang secara resmi menyegel perhatian saya sampai film berakhir. 

Intinya, anggaplah The Two Popes sebagai dramatisasi dari benturan dua pemikiran yang diwakili oleh dua petinggi agama terkemuka, tetapi jangan menganggapnya setara dengan reka ulang sejarah. Bahkan jika Anda bukan Katolik atau tidak tertarik dengan aspek religius dan politis yang dibeberkan, nikmati saja keindahan setting, dialog menawan, serta penampilan prima Anthony Hopkins dan Jonathan Pryce yang levelnya bukan lagi berakting, melainkan dengan apik menampilkan sebuah pertunjukan cinematic masterclass yang berjiwa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?