Minggu, 09 Oktober 2016

Taxidermia


Tahun rilis: 2006
Sutradara: György Pálfi
Bintang: Csaba Czene, Gergely Trócsányi, Piroska Molnár, Adél Stanczel
My rate: 3/5

Kalau saja Mariya Ivancheva tidak menulis analisis yang begitu cemerlang tentang kaitan antara Taxidermia, museum House of Terror di Budapest, dan periode transisi sejarah Hungaria pasca Perang Dunia kedua, mungkin saya hanya bisa menganga keheranan dan mengernyit jijik menonton film kolaborasi Hungaria-Austria garapan György Pálfi ini. Label "satir" sepertinya menjadi senjata Pálfi untuk menyelipkan sebanyak mungkin adegan serba absurd, menjijikkan, dan in-your-face, sebagai simbolisme. Lebih lanjut, film ini memotret kehidupan tiga generasi keluarga dari tiga periode sejarah Hungaria: pasca Perang Dunia II, rezim komunis, dan era modern.

Taxidermia dibuka dengan rutinitas absurd prajurit rendahan era Perang Dunia II bernama Vendel, yang ditempatkan di pos terpencil dan diperbudak oleh atasannya, Letnan Kálmán. Vendel dipaksa mengerjakan berbagai tugas untuk melayani si letnan dan keluarganya, namun hanya diberi tempat tinggal gubuk reyot dan makan seadanya. Vendel kemudian tenggelam dalam berbagai fantasi seksual ekstrem demi melupakan kehidupannya yang menyedihkan, namun setelah ketahuan bersanggama dengan seekor babi, sang letnan mengeksekusi Vendel, lalu membesarkan anak Vendel yang masih bayi.

Adegan kemudian pindah ke Hungaria era rezim komunis, dimana putra Vendel, Balatony, tumbuh menjadi "atlet" lomba makan bertubuh sangat gemuk. Dia berlatih keras dan bahkan memelajari berbagai "teknik muntah" agar bisa makan dalam jumlah besar secara maksimal. Ketika akhirnya menikah dan punya anak, si anak (yang juga dinamai Balatony) justru tumbuh menjadi pemuda kurus kering yang tak suka kompetisi serta serba kikuk dalam kehidupan sosialnya. Alih-alih mewarisi profesi ayahnya, dia justru menjadi seorang pemburu dan pakar taksidermi, menghabiskan waktu mengawetkan hewan-hewan, dan merenungi sejarah keluarganya saat susah-payah menyesuaikan diri dengan era modern. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun merawat sang ayah yang sudah menjadi sangat gemuk sehingga nyaris tak bisa bergerak, Balatony mulai mengembangkan cita-cita ganjil, yang kelak berujung pada klimaks absurd.

Sepintas, film ini seperti campuran black comedy dan body horror yang menjejalkan berbagai adegan menyolok mata. Mulai dari lomba makan dimana para pesertanya terang-terangan muntah dalam barisan, khayalan Vendel saat berfantasi (misalnya saat dia berkhayal mengajak si Gadis Penjual Korek Api untuk tidur dengannya), hingga adegan masturbasi dengan lilin yang berujung pada semburan api dari organ vital. Di beberapa bagian, adegan-adegan "luar biasa" ini kontras dengan kesuraman di sekitar Balatony junior, saat dia menjalani hari demi hari diteriaki oleh sang ayah, mengerjakan hewan-hewan awetan, berolahraga di gym, dan berkomunikasi dengan kikuk.

Berbagai karakter yang hadir dalam film ini juga ditampilkan secara berlebihan. Vendel digambarkan sebagai pria kesepian dan tersiksa yang akan dan bisa "bersetubuh dengan apa saja" (coba saja lihat apa yang bisa dia lakukan dengan lubang kecil di dinding gubuk!). Balatony senior digambarkan sangat gemuk sehingga, di masa tuanya, dia lebih mirip makhluk laut besar daripada manusia, dengan perut sangat lebar dan kaki yang nyaris selalu tersembunyi. Sebaliknya, Balatony junior seolah "mengerut" dan melindungi dirinya dari "pengaruh" keluarganya: dia menjadi sangat kurus, tidak kompetitif, memilih kesendirian ketimbang kejayaan seperti yang dimimpikan ayahnya, namun memiliki sebuah cita-cita yang sama absurdnya dengan keanehan keluarganya sendiri.

Taxidermia sejatinya adalah sebuah satir yang menggambarkan periode transisi sejarah Hungaria, lewat potret tiga generasi keluarga dalam periode berbeda, namun Pálfi tidak menggunakan film ini demi memotret masyarakat Hungaria sebagai korban atau penjahat. Potret tiga generasi keluarga yang nampaknya absurd ini bagaikan versi sedikit hiperbolis dari dinamika kehidupan masyarakat Hungaria era Perang Dunia II, rezim komunis, dan era demokrasi modern; sebuah refleksi mikroskopis kehidupan tiga era berbeda.

Episode Vendel si prajurit naas yang hidup menderita bisa dibilang mewakili Perang Dunia. Obsesi Balatony senior akan kejayaan hingga bahkan bercita-cita agar lomba makan suatu ketika bisa diakui komite Olimpiade sebagai event resmi adalah refleksi rezim diktator-komunis dengan "ilusi kebesaran"nya. Kekikukan Balatony junior saat harus berjuang menyesuaikan diri dengan kehidupan Hungaria modern sekaligus menanggung omelan tak henti-henti dari sang ayah yang mabuk masa kejayaan adalah campuran antara harapan sekaligus upaya terseok-seok menyambut era demokrasi modern ketika rezim komunis akhirnya berakhir. Sama seperti tulisan Mariya Ivancheva yang tautannya ada di atas, mungkin ada banyak hal yang bisa dikorek dan dijadikan bahan berbagai makalah dari sini.

Atau, Anda tidak perlu repot-repot. Cukup nikmati saja Taxidermia sebagai salah satu pengalaman menonton absurd yang mungkin akan membuat Anda mengernyit, jijik, tertawa geli, tertawa kasihan, dan melongo bengong, terutama ketika akhirnya melihat apa yang dilakukan Balatony junior terhadap dirinya sendiri sebagai proyek terakhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?