Tahun rilis: 2005
Sutradara: Neil Jordan
Bintang: Cillian Murphy, Ruth Negga, Liam Neeson, Stephen Rea, Brendan Gleeson
My rate: 3.5/5
Film yang berkisah tentang karakter yang kerap dianggap tidak konvensional di masyarakat, terbuang sejak kecil dan berjuang mencari jati dirinya bukan sesuatu yang baru, sehingga menemukan judul yang benar-benar membuat waktu menonton kita tak terbuang sia-sia bisa susah-susah gampang. Breakfast on Pluto adalah salah satu yang, walaupun dari segi kisah tak terlalu istimewa, namun mampu memikat dengan visual meriah dan berwarna-warni yang membuat penonton bisa jadi tak sadar bahwa mereka sedang menyaksikan kisah tentang sosok yang cukup tragis.
Alkisah, Patrick (Cillian Murphy) dibuang ibunya saat masih bayi di sebuah rumah paroki yang dihuni ayah kandungnya, seorang pendeta bernama Liam (Liam Neeson). Patrick lalu ditempatkan bersama orangtua asuh yang bersikap dingin, dan mulai mengembangkan kebiasaan mengenakan pakaian wanita. Ketika remaja, Patrick akhirnya secara total memeluk identitas sebagai wanita transgender dan menyebut dirinya sendiri "Patricia/Kitten." Kitten lalu mencari ayah kandungnya dan bertanya soal ibu kandungnya, namun diusir. Berbekal nama ibunya, Eily Bergin, Kitten lalu memulai perjalanan panjang mencari sang ibu, dan menemui berbagai karakter unik selama perjalanan.
Periode di mana Kitten hidup adalah masa-masa saat Inggris diguncang berbagai aksi kekerasan dan pemboman oleh Ireland Republic Army (IRA), kelompok milisi yang menuntut kemerdekaan penuh seluruh Irlandia dari Inggris, dan periode penuh gejolak ini mewarnai petualangan Kitten yang juga jauh dari kata biasa-biasa saja. Setelah ditampung oleh grup rock yang vokalisnya diam-diam menjadi penadah senjata api ilegal, menjalin hubungan singkat dengan seorang pesulap, bekerja sambilan sebagai karakter kostum di taman bermain, menjadi pelacur jalanan, hingga dituduh teroris setelah nyaris mati karena ledakan bom di klub malam di London, Kitten secara tak terduga bertemu lagi dengan ayah dan ibu kandungnya, namun tidak dengan cara yang disangkanya.
Breakfast on Pluto aslinya diadaptasi dari novel, dan sutradara Neil Jordan nampaknya memilih gaya penceritaan yang membuat kita merasa seolah sedang membaca novel. Jika Anda pernah membaca novel yang begitu memikat sehingga benak Anda mulai membuat film sendiri dalam kepala, seperti itulah rasanya menonton Breakfast on Pluto. Selain dibagi-bagi dalam 30 "bab" dengan teks judul sehingga nampak seperti sekumpulan episode pendek (vignette), film ini menampilkan banyak karakter unik, adegan-adegan penuh warna, hingga narasi oleh Kitten seolah dia membacakan kisah hidupnya sendiri. Karakter Kitten juga digambarkan suka menulis dan pernah ikut kelas penulisan kreatif, dan hal itu nampak dalam narasinya, yang disampaikan dengan kombinasi kalimat unik seolah kita membaca sebuah cerita karya Kitten sendiri, namun sekaligus serasi dengan alur filmnya.
Jordan menyelipkan beberapa adegan yang berkesan surealis, bahkan memiliki simbolisme samar. Di salah satu adegan, ketika Kitten bekerja di sebuah klub peep show (klub dimana orang memasukkan uang koin untuk melihat bagian dalam ruangan berisi penampil erotis, lewat celah kecil), Kitten mendapat "tamu" seorang pendeta, yang mulai bercerita tentang kesalahan masa lalunya, sehingga kamar peep show itu seolah menjelma menjadi sebuah bilik pengakuan dosa, dengan sang pendeta sebagai pihak yang justru mengakui dosa masa lalunya sendiri. Dominasi warna merah dan hitam serta dandanan Kitten yang serba menor dan seksi justru semakin menekankan kontras simbolisme memikat dalam adegan ini.
Bagi Anda yang akrab dengan filmografi Neil Jordan dan Stephen Rea, ada beberapa adegan di film ini yang merujuk ke film Jordan yang rilis tahun 1992, The Crying Game. Dalam film itu, Rea berperan sebagai anggota IRA yang jatuh cinta pada seorang wanita, namun tidak tahu kalau wanita itu ternyata transgender. Dalam Breakfast on Pluto, dinamikanya diacak sedikit: Rea adalah seorang pesulap yang, ketika diberitahu Kitten bahwa dirinya "bukan wanita," Rea justru berkata bahwa dia "sudah tahu itu" dan tetap mencintai Kitten. Akan tetapi, hubungan mereka dikisahkan tidak lama karena Kitten justru diajak kabur oleh temannya yang menjadi anggota IRA.
Uniknya, versi film Breakfast on Pluto ini justru dibuat jauh lebih "aman" ditonton daripada versi novelnya. Dalam novel, Kitten aslinya bernama "Pussy," dan petualangan seksnya digambarkan secara vulgar. Dalam film, Kitten digambarkan bermesraan dengan beberapa karakter, namun tidak ada adegan percintaan atau bahkan ciuman. Ya, saya jujur mengharapkan setiap adegan intim di film ini akan berujung dengan adegan ciuman atau ranjang. Ketika itu tidak terjadi, saya baru menyadari maknanya. Pada akhirnya, kita dibuat merasakan hal yang sama dengan Kitten: terus berharap dan mencari, walau pada akhirnya harapan itu kandas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gimana pendapat Anda?