Tahun rilis: 2017
Sutradara: Demian Rugna
Bintang: Maximiliano Ghione, Elvira Onetto, Norberto Gonzalo, George E. Lewis, Demian Salomon, Natalia Senorales, Julieta Vallina
My rate: 4/5
Bagaimana jadinya jika film horor dilucuti dari plot, drama, dan eksposisi sehingga hanya menyisakan unsur seramnya? Anda akan berakhir dengan Aterrados, film horor Argentina yang cukup membelah penilaian penonton karena presentasi uniknya. Demian Rugna cukup berhasil menuangkan premis yang cukup janggal ini ke layar, dengan cara yang sedikit mengingatkan pada landasan film-film horor Jepang ternama era 1990-an dan awal 2000-an: kengerian sejati berasal dari hal-hal yang tak bisa kita jelaskan.
Aterrados tidak mengikuti alur film horor tradisional yang mengarah pada "solusi" untuk memecahkan misteri atau menjelaskan kengeriannya. Misteri pembuka hanya menjelaskan awal dari kengerian, dan itu pun terpisah dalam beberapa sketsa horor yang awalnya terlihat tak berhubungan: sepasang suami-istri terganggu suara-suara benturan aneh di rumah mereka, tetangga mereka yang terganggu aktivitas poltergeist dan memasang kamera di rumahnya, seorang anak yang sudah meninggal mendadak bangkit dari kubur dan duduk tenang di meja makan rumahnya seolah tidak ada apa-apa. Semua kengerian ini terjadi di komplek perumahan yang sama, tetapi seolah tidak memiliki kaitan satu sama lain.
Plot cerita mengental ketika tiga orang penyelidik paranormal dan seorang inspektur polisi senior bekerja sama untuk mengungkap misteri di balik tiga kejadian aneh (yang dua di antaranya berujung tragedi) itu. Mereka berbagi tugas penyelidikan dengan mendiami ketiga rumah tersebut sendiri-sendiri, menerapkan metode penelitian masing-masing sambil menyelidiki setiap lubang, sudut, dan area gelap, bergulat dengan deretan fenomena supernatural yang semakin lama semakin janggal, mengerikan, bahkan membahayakan.
Satu kata yang mendeskripsikan pengalaman menonton film ini adalah: sabar! Jangan mempercepat film atau melompatinya. Anda mungkin sudah khawatir duluan membaca "instruksi" ini, seperti ketika membaca ulasan film drama "nyeni" yang lambat dan mungkin membosankan bagi sebagian orang. Akan tetapi, ini hanya karena Aterrados menggunakan cara bercerita yang tidak konvensional. Alur cerita berpindah-pindah dan maju mundur, terutama pada awal hingga pertengahan, sebelum kembali ke narasi linear saat para penyelidik memulai misi mereka. Kengerian, inti utama dari horor, tetap dipertahankan dalam intensitas cukup tinggi.
Rugna mengambil rute yang sama dengan film-film horor Jepang tahun 90-an dan 2000-an yang memilih jalur misteri serupa: kita, para penonton, tidak berada dalam posisi sebagai pihak ketiga serba tahu. Misteri terungkap oleh karakter maupun penonton dalam waktu bersamaan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti kita jadi tahu segalanya; seperti horor yang terus mengikuti para karakter dalam Ju-On atau Ringu, tidak ada "solusi" pasti untuk memecahkan misteri serta "mengalahkan" sang hantu. Itu sebabnya berbagai horor dalam Aterrados terasa mencekam: kita tidak bisa memahami sebabnya, tetapi mereka terpampang tanpa kenal ampun di depan mata.
Film horor sering berfokus pada gaya menakut-nakuti tertentu; ada yang mengandalkan misteri di balik bayangan serta sudut gelap, ada juga yang memilih cara lebih eksplisit, menggunakan darah dan imaji mengejutkan untuk membuat shock penonton. Aterrados memberi paket lengkap jenis-jenis imaji horor yang bisa Anda nikmati dalam satu film, bahkan tanpa perlu menunggu lama! Anda bisa ikut merinding saat sang suami di sketsa horor pertama mendengar suara-suara benturan misterius dari balik tembok, ikut menjerit bersamanya saat melihat fakta di balik suara benturan tersebut, merasakan ketakutan perlahan muncul saat melihat hasil rekaman aktivitas poltergeist tetangga mereka, hingga memandang kaku tanpa bisa berpaling saat melihat sorotan jarak dekat ke sosok sang anak yang bangkit dari kuburannya dan pulang ke rumahnya (lengkap dengan efek khusus yang sangat meyakinkan walau filmnya berbujet rendah).
Perbandingan terdekat yang bisa saya lakukan untuk film ini barangkali Noroi (2005), horor supernatural Jepang yang secara mengejutkan berhasil memanfaatkan konsep film found footage secara segar, dan bahkan tidak ternoda oleh eksploitasi popularitas Paranormal Activity yang habis-habisan itu. Seperti Aterrados, Noroi memulai film dengan sederet kejadian janggal yang terjadi pada beberapa karakter yang sepertinya tidak saling berhubungan, sehingga membuat kita bertanya-tanya. Baru setelah film memasuki paruh kedua, keping-keping teka-teki mulai tersambung, dan kita mulai menyadari detail-detail kecil yang tadinya terlewatkan namun ternyata memegang peran penting dalam cerita.
Akan tetapi, sekali lagi, Aterrados tidak memberi kepuasan bagi kita untuk memecahkan misteri, tidak seperti Noroi yang masih memberi penjelasan walau berakhir dalam cara yang membuat depresi. Rugna menggunakan bayangan, sudut gelap, dan darah secara efektif, menciptakan sederet imaji menyeramkan mulai dari yang misterius hingga yang berdarah-darah. Tidak ada jumpscare murahan: setiap kejutan dari Rugna dijamin membuat Anda senam jantung. Alur yang tidak konvensional membantunya meletakkan adegan-adegan mengejutkan secara efektif dan tidak terduga, bahkan jika Anda sudah veteran dalam hal menonton film horor.
Satu hal yang membuat saya senang adalah dominasi aktor-aktor senior dalam film ini. Bukannya saya tidak menyukai aktor muda dalam film horor, tetapi terkadang, memunculkan sekumpulan karakter berpenampilan secakep model (tidak peduli selusuh apapun kostum dan gaya rambut mereka) sebagai satu geng terkadang bisa cukup mengikis unsur realisme, yang kerap berperan dalam menekankan cengkeraman horor pada benak penonton. Penampilan Norberto Gonzalo, Elvira Onetto, dan George Lewis sebagai trio paranormal senior, plus Maxi Ghione sebagai kapten polisi senior yang kerap terganggu gejala hipertensi saat menyelidiki, menambah "kesegaran logis" dalam film ini, membuatnya terasa lebih membumi bahkan dengan kemunculan sosok-sosok supernatural.
Aterrados bukan suguhan horor konvensional, dan terus terang, saya sedikit ragu memberi rating 4 dari 5 untuk film ini. Akan tetapi, walau cukup membelah opini, saya tetap mengakui keunggulan Aterrados sebagai film horor, bukan film "seni eksperimental" atau "post-horror" yang lebih bernafsu berceramah dan membuat bingung penonton ketimbang menakut-nakuti. Bahkan setelah melucuti penjelasan berlebih dan plot ruwet, Demian Rugna tetap berhasil menyuguhkan tontonan yang cukup koheren sekaligus tidak kehilangan kengeriannya.
Aterrados tidak mengikuti alur film horor tradisional yang mengarah pada "solusi" untuk memecahkan misteri atau menjelaskan kengeriannya. Misteri pembuka hanya menjelaskan awal dari kengerian, dan itu pun terpisah dalam beberapa sketsa horor yang awalnya terlihat tak berhubungan: sepasang suami-istri terganggu suara-suara benturan aneh di rumah mereka, tetangga mereka yang terganggu aktivitas poltergeist dan memasang kamera di rumahnya, seorang anak yang sudah meninggal mendadak bangkit dari kubur dan duduk tenang di meja makan rumahnya seolah tidak ada apa-apa. Semua kengerian ini terjadi di komplek perumahan yang sama, tetapi seolah tidak memiliki kaitan satu sama lain.
Plot cerita mengental ketika tiga orang penyelidik paranormal dan seorang inspektur polisi senior bekerja sama untuk mengungkap misteri di balik tiga kejadian aneh (yang dua di antaranya berujung tragedi) itu. Mereka berbagi tugas penyelidikan dengan mendiami ketiga rumah tersebut sendiri-sendiri, menerapkan metode penelitian masing-masing sambil menyelidiki setiap lubang, sudut, dan area gelap, bergulat dengan deretan fenomena supernatural yang semakin lama semakin janggal, mengerikan, bahkan membahayakan.
Satu kata yang mendeskripsikan pengalaman menonton film ini adalah: sabar! Jangan mempercepat film atau melompatinya. Anda mungkin sudah khawatir duluan membaca "instruksi" ini, seperti ketika membaca ulasan film drama "nyeni" yang lambat dan mungkin membosankan bagi sebagian orang. Akan tetapi, ini hanya karena Aterrados menggunakan cara bercerita yang tidak konvensional. Alur cerita berpindah-pindah dan maju mundur, terutama pada awal hingga pertengahan, sebelum kembali ke narasi linear saat para penyelidik memulai misi mereka. Kengerian, inti utama dari horor, tetap dipertahankan dalam intensitas cukup tinggi.
Rugna mengambil rute yang sama dengan film-film horor Jepang tahun 90-an dan 2000-an yang memilih jalur misteri serupa: kita, para penonton, tidak berada dalam posisi sebagai pihak ketiga serba tahu. Misteri terungkap oleh karakter maupun penonton dalam waktu bersamaan. Akan tetapi, hal ini bukan berarti kita jadi tahu segalanya; seperti horor yang terus mengikuti para karakter dalam Ju-On atau Ringu, tidak ada "solusi" pasti untuk memecahkan misteri serta "mengalahkan" sang hantu. Itu sebabnya berbagai horor dalam Aterrados terasa mencekam: kita tidak bisa memahami sebabnya, tetapi mereka terpampang tanpa kenal ampun di depan mata.
Film horor sering berfokus pada gaya menakut-nakuti tertentu; ada yang mengandalkan misteri di balik bayangan serta sudut gelap, ada juga yang memilih cara lebih eksplisit, menggunakan darah dan imaji mengejutkan untuk membuat shock penonton. Aterrados memberi paket lengkap jenis-jenis imaji horor yang bisa Anda nikmati dalam satu film, bahkan tanpa perlu menunggu lama! Anda bisa ikut merinding saat sang suami di sketsa horor pertama mendengar suara-suara benturan misterius dari balik tembok, ikut menjerit bersamanya saat melihat fakta di balik suara benturan tersebut, merasakan ketakutan perlahan muncul saat melihat hasil rekaman aktivitas poltergeist tetangga mereka, hingga memandang kaku tanpa bisa berpaling saat melihat sorotan jarak dekat ke sosok sang anak yang bangkit dari kuburannya dan pulang ke rumahnya (lengkap dengan efek khusus yang sangat meyakinkan walau filmnya berbujet rendah).
Perbandingan terdekat yang bisa saya lakukan untuk film ini barangkali Noroi (2005), horor supernatural Jepang yang secara mengejutkan berhasil memanfaatkan konsep film found footage secara segar, dan bahkan tidak ternoda oleh eksploitasi popularitas Paranormal Activity yang habis-habisan itu. Seperti Aterrados, Noroi memulai film dengan sederet kejadian janggal yang terjadi pada beberapa karakter yang sepertinya tidak saling berhubungan, sehingga membuat kita bertanya-tanya. Baru setelah film memasuki paruh kedua, keping-keping teka-teki mulai tersambung, dan kita mulai menyadari detail-detail kecil yang tadinya terlewatkan namun ternyata memegang peran penting dalam cerita.
Akan tetapi, sekali lagi, Aterrados tidak memberi kepuasan bagi kita untuk memecahkan misteri, tidak seperti Noroi yang masih memberi penjelasan walau berakhir dalam cara yang membuat depresi. Rugna menggunakan bayangan, sudut gelap, dan darah secara efektif, menciptakan sederet imaji menyeramkan mulai dari yang misterius hingga yang berdarah-darah. Tidak ada jumpscare murahan: setiap kejutan dari Rugna dijamin membuat Anda senam jantung. Alur yang tidak konvensional membantunya meletakkan adegan-adegan mengejutkan secara efektif dan tidak terduga, bahkan jika Anda sudah veteran dalam hal menonton film horor.
Satu hal yang membuat saya senang adalah dominasi aktor-aktor senior dalam film ini. Bukannya saya tidak menyukai aktor muda dalam film horor, tetapi terkadang, memunculkan sekumpulan karakter berpenampilan secakep model (tidak peduli selusuh apapun kostum dan gaya rambut mereka) sebagai satu geng terkadang bisa cukup mengikis unsur realisme, yang kerap berperan dalam menekankan cengkeraman horor pada benak penonton. Penampilan Norberto Gonzalo, Elvira Onetto, dan George Lewis sebagai trio paranormal senior, plus Maxi Ghione sebagai kapten polisi senior yang kerap terganggu gejala hipertensi saat menyelidiki, menambah "kesegaran logis" dalam film ini, membuatnya terasa lebih membumi bahkan dengan kemunculan sosok-sosok supernatural.
Aterrados bukan suguhan horor konvensional, dan terus terang, saya sedikit ragu memberi rating 4 dari 5 untuk film ini. Akan tetapi, walau cukup membelah opini, saya tetap mengakui keunggulan Aterrados sebagai film horor, bukan film "seni eksperimental" atau "post-horror" yang lebih bernafsu berceramah dan membuat bingung penonton ketimbang menakut-nakuti. Bahkan setelah melucuti penjelasan berlebih dan plot ruwet, Demian Rugna tetap berhasil menyuguhkan tontonan yang cukup koheren sekaligus tidak kehilangan kengeriannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gimana pendapat Anda?