Senin, 03 September 2018

Review: Kinky Boots


Tahun rilis: 2005
Sutradara: Julian Jarrold
Bintang: Joel Edgerton, Chiwetel Ejiofor, Sarah-Jane Potts, Nick Frost, Jemima Rooper, Robert Pugh
My rate: 3/5


Stereotip masyarakat Inggris yang serba kaku dan cenderung tidak tahu apa-apa di luar dunia kecil mereka sendiri kerap menjadi bahan komedi, begitu mudahnya sampai-sampai saya bisa dengan cepat menebak apa inti dari Kinky Boots bahkan saat filmnya baru mulai: kekakuan masyarakat konservatif + sesuatu yang dipandang nyentrik atau tidak konvensional = komedi. Untungnya, di luar jalan cerita yang sepintas formulaik, film ini masih menyajikan kesenangan dari kisah yang cukup menarik, adegan komedik khas Inggris yang tidak berlebihan, serta, tentu saja, penampilan Chiwetel Ejiofor yang mencuri semua perhatian.

Charlie (Edgerton) adalah putra pemilik pabrik sepatu pria yang sukses di Northampton. Setelah ayahnya meninggal, pabrik tersebut mulai mengalami penurunan produksi, dan terancam tutup. Di tengah kebingungan itu, Charlie melihat seorang wanita transgender, Lola (Ejiofor), tengah diganggu oleh sekelompok pria, dan maju untuk menolongnya. Lola merawat luka Charlie di kelab malam tempatnya bekerja sebagai drag performer, dan Charlie melihat Lola mengeluh tentang sepatu hak tingginya yang sering patah setelah dipakai manggung beberapa kali.

Charlie kemudian mendapat ide mengubah pabrik ayahnya menjadi pabrik sepatu dengan pangsa pasar unik: sepatu hak tinggi aneka rupa khusus untuk drag show, dengan desain khusus yang bisa menahan berat badan pria. Bersama asistennya, Lauren (Potts), Charlie membujuk Lola untuk bekerja sama mendesain sepatu-sepatu tersebut. Charlie dan Lola pun harus berjuang melawan penolakan sebagian karyawan pabrik serta tunangan Charlie, Nicola (Rooper), sekaligus mengincar panggung peragaan sepatu ternama di Milan sebagai jalan kesuksesan pabrik tersebut.

Kinky Boots bermain di ranah yang mirip dengan film-film seperti Calendar Girls dan The Full Monty. Dan ya, bahkan Mr. Bean! Bayangkan saja gambaran familiar sosok-sosok kolot dan konservatif yang mendadak dihadapkan pada sesuatu yang menurut mereka terlalu "di luar sana", seperti ibu-ibu paruh baya di kota kecil yang menjadi model kalender bugil, pekerja pabrik berbodi tidak ideal yang menjadi penari erotis setelah kena PHK, atau pria nyentrik kekanak-kanakan yang kerjanya membikin kacau di hotel, restoran mewah, dan bahkan gereja. Kekontrasan "aksi" dan "reaksi" yang terjadi adalah efek komedik yang diincar. Tentu saja, hal ini bisa berhasil, bisa juga meleset.

Dalam hal Kinky Boots, efeknya "fifty-fifty". Ide ceritanya sangat menarik, tetapi saya sebenarnya berharap bisa melihat lebih banyak subkultur drag queen di kota kecil macam Northampton, dan itu tidak terjadi. Fokus pada pabrik sepatu konvensional yang banting setir sebenarnya juga menarik perhatian, tetapi film ini sayangnya seringkali malah terlalu berfokus pada konflik pribadi Charlie, bukan dirinya sebagai pemilik pabrik sepatu yang sedang menjajal area bisnis baru. Akibatnya, ada menit-menit yang terasa seperti terbuang-buang ketika kamera lebih doyan menyorot Charlie yang duduk bengong sambil "merenung" atau mengobrol (dan bertengkar dengan tunangannya), bukannya dirinya yang sibuk di pabrik yang sedang berganti haluan bisnis.

Klimaks film ini sebenarnya menarik secara visual, tetapi ketika melihat pendekatan realistis yang digunakan di sebagian besar durasi film, endingnya sedikit terasa bombastis, nyaris seperti sebuah solusi ajaib yang datang mendadak. Formula filmnya juga terasa familiar untuk penonton yang sudah akrab dengan drama komedi Inggris, jadi tanpa sesuatu yang baru untuk ditawarkan, film ini nyaris tidak menonjol walau temanya menarik.

Tapi, film ini tidak seburuk itu. Terkadang, jalan cerita yang formulaik justru menjadi pilihan saya saat sedang ingin menenangkan pikiran dengan tontonan yang tidak terlalu membikin pusing atau depresi. Komedi Inggris memberikan kesenangan tersebut karena pendekatan lawakannya tidak terlalu bombastis atau kejeblos ke arena slapstick. Tepuk tangan juga harus saya berikan kepada Chiwetel Ejiofor. Walau dengan tubuhnya yang besar dan berotot (karakter Lola digambarkan dipaksa berlatih tinju oleh ayahnya ketika dia ketahuan senang mencoba pakaian wanita), Ejiofor berhasil menunjukkan kepribadian berbeda saat di panggung serta di kehidupan sehari-hari. Sebagai Lola, dia elegan, sarkastik, cerdas, dan bermulut tajam, tetapi dengan setitik kelembutan yang hadir dari kepribadian sensitif serta rasa rendah diri masa kecil.

Ejiofor sebagai Lola juga membawakan beberapa lagu dalam penampilannya di film, lengkap dengan grup The Blue Angel yang memeriahkan setiap lagunya. Penampilan Lola ini bahkan berperan besar dalam adegan klimaks, sesuatu yang membuat saya tetap menikmati bagian akhir film ini walau ada kekurangannya. Begitu berkesannya penampilan Ejiofor dalam film tersebut, dan begitu unik idenya, sehingga film ini dijadikan drama musikal di Broadway oleh Harvey Fierstein dan Cindy Lauper.

Adegan percakapan antara Lola dan Charlie juga menghadirkan nuansa dalam film ini. Ada satu adegan di mana Lola, yang sedang sakit tenggorokan, menghabiskan waktu di ruangan tempat staf Charlie menyimpan sepatu-sepatu produk gagal. Charlie yang sedang lembur melihat Lola duduk sendirian di sana dan bertanya ada apa, dan Lola menjawab bahwa dia "merasa seperti di rumah saat duduk di sini". Lola memberi nuansa baru pada karakter Charlie yang terkesan agak datar, dan Charlie mengeluarkan semua potensi karakter Lola untuk dilihat penonton.

Intinya? Kinky Boots bukan karya adiluhung, tetapi juga tidak buruk, sama seperti cemilan manis murah yang sudah jarang Anda beli ketika indra pengecap semakin berubah seiring bertambahnya usia. Anda mungkin eneg kalau memakannya terlalu banyak, tetapi bolehlah sesekali dikunjungi ketika kepingin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?