Kamis, 23 Agustus 2018

Review: A Prophet


Tahun rilis: 2009
Sutradara: Jacques Audiard
Bintang: Tahar Rahim, Niels Arestrup, Adel Bencheriff, Reda Kateb, Jean-Philippe Ricci
My rate: 4/5

Kata "Paris" mungkin membangkitkan citra serupa di benak banyak orang: Menara Eiffel, musik akordeon, kafe-kafe pinggir jalan, dan roti baguette. Padahal, bagi banyak orang lainnya, Paris mungkin pesing, dingin, tidak ramah pejalan kaki, dan segudang citra lainnya yang jelas tidak akan berakhir sebagai ilustrasi manis di sampul jurnal perjalanan imut-imut. Dan tentu saja, Paris punya arti berbeda bagi para narapidana imigran di dalam sistem penjaranya, walau beberapa di antaranya mungkin justru berhasil memahat kehidupan di mana mereka bisa "berkuasa", terutama di tempat di mana segalanya yang disisihkan masyarakat disingkirkan. A Prophet adalah cerminan hal itu; keras, realis, memukau tanpa menggurui, dan mungkin akan membuat Anda mau tidak mau malah mengagumi sosok di balik label "sampah masyarakat". 

Malik El Djebena (Rahim) adalah "domba di tengah serigala" saat dirinya masuk penjara. Buta huruf, kurus, pemalu, dan baru berusia 19 tahun, dia berusaha membuat dirinya tidak menyolok di penjara Paris yang saat itu dikuasai beberapa kelompok geng, terutama dari etnis Corsica, Arab, dan Afrika Utara. Sialnya, kehadirannya justru dilirik oleh César Luciani (Arestrup), kepala mafia Corsica yang terus menjalankan kerajaan bisnis hitamnya bahkan dari dalam penjara. Luciani memanfaatkan kepolosan dan sikap ketakutan Malik untuk menjalankan misi kotornya: membunuh Reyeb, seorang narapidana Arab yang akan menjadi saksi memberatkan bagi Luciani dengan iming-iming potongan masa tahanan. Luciani menjanjikan perlindungan bagi Malik jika dia berhasil melakukannya.

Malik, yang tidak punya pilihan dan bersedia melakukan apa saja demi rasa aman, setuju untuk belajar cara membunuh Reyeb (anak buah Luciani mengajarinya menyimpan silet di dalam mulut tanpa menghalanginya bicara, dan mengeluarkannya dengan cepat sebelum menyayat leher Reyeb). Pembunuhan itu berhasil, dan Malik menjadi anak buah Luciani. Walau sering dihina dan dihujat oleh para anggota geng dari semua etnis (termasuk oleh Luciani sendiri), Malik perlahan-lahan mengasah dirinya dan meningkatkan rasa percaya Luciani padanya. Ketika Malik akhirnya berteman dengan Riyad (Bencheriff), salah satu anggota geng Arab yang menderita kanker serta mengajarinya membaca, Malik harus memutuskan apakah dia mau terus menjadi anak buah Luciani, atau mengambil risiko dan menerapkan apa yang telah dipelajarinya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, walau bertaruh nyawa.

A Prophet adalah antitesis untuk film-film yang mengusung gambaran Paris ala kartu pos, macam Amelie atau De Vrais Mensonges. Film ini jauh lebih mendekati Measure of a Man, Two Days One Night, Rosetta, atau Polisse, yang menunjukkan kisi-kisi kehidupan di Paris secara lebih natural, dengan segala rutinitas membosankan sehari-hari maupun realita problem sosialnya. Penjara Paris jelas bukan topik bahasan yang populer di kalangan Francophile alias pencinta segala sesuatu yang berbau Prancis, tetapi ada banyak cerita menarik yang bisa diusung ke layar lebar. Jacques Audiard sendiri berkata bahwa dia berniat membuat film dengan karakter atau ikon yang biasanya tidak hadir dalam tradisi sinema Prancis, walau dia lebih suka berfokus pada aspek sinematik ketimbang politik.

Aspek sinematik ini benar-benar tampak dalam atmosfer film. Situasi penjara yang disorot Audiard nampak mengungkung, suram, sistematis, dengan rona putih kelabu yang mendominasi visual. Rutinitas seperti memeriksa tubuh dan menanyai napi baru, absensi saat ada yang keluar dari ruangan, riuhnya bengkel kerja seperti dapur, kelas belajar menjahit dan ruang penatu, deretan kamar mandi sempit dengan lubang-lubang kecil yang digunakan para napi untuk diam-diam berbisik dan bertransaksi gelap, hingga kelas pelajaran membaca disorot dengan keintiman seolah kita ikut berada di dalamnya. Kamera yang tidak statis mengingatkan pada keintiman visual yang dihadirkan Abdellatif Kechiche di Blue is the Warmest Color. Audiard memang tidak diizinkan syuting di penjara sungguhan, tetapi sebagai gantinya, dia menggunakan sebuah bangunan kosong bekas pabrik untuk membangun set penjara, dengan beberapa mantan narapidana sebagai konsultannya.

Tetapi, yang paling mencuri perhatian di sini tentu saja penampilan Tahar Rahim sebagai Malik. Transformasi karakternya mengingatkan saya pada karakter Jake Gyllenhaal dalam Nightcrawler. Mereka sama-sama "mulai dari bawah", dan sama-sama berkecimpung dalam lingkungan yang biasanya dipandang dengan kening berkerut oleh masyarakat (geng dalam A Prophet, media sensasional dalam Nightcrawler). Bedanya, karakter Gyllenhaal lebih asertif dengan setitik bayangan energi yang siap meledak bahkan sejak awal film. Malik lebih pendiam dan menarik diri, yang wajar karena dia mengawali film sebagai "pendatang baru" di penjara yang tidak ramah. 

Melihat Malik berjuang mendapat tempat di penjara membuat saya sulit memalingkan wajah. Dia melakukan "misi pertama" yang sadis lebih karena dia tidak punya pilihan (adegan ketika dia mencoba berlatih mengemut silet di bawah lidah di kamar mandi sungguh "menyayat"). Jaminan keamanan dari Luciani dan gengnya adalah satu-satunya hal yang membuatnya bisa bertahan hidup di penjara, walau sebagai gantinya, dia jadi sering menerima perlakuan kasar bahkan rasis. Sialnya, kedekatan dengan geng Corsica ini (yang dilakukan karena terpaksa) justru membuat Malik menjadi bulan-bulanan di kalangan anggota geng Arab, yang secara etnis, bahasa, dan latar belakang sebenarnya lebih dekat dengannya. Malik pun menjadi individu yang terombang-ambing di dalam penjara, dan matanya beberapa kali melempar pandangan mendamba pada orang-orang yang ramai bercakap dengan bahasa yang dikuasainya di seberang lapangan penjara.

Tetapi, Malik bukan sosok pasif. Dia memang pendiam, tetapi mata dan telinganya terus waspada, berusaha menangkap setiap kesempatan untuk melepaskan dirinya dari keterpaksaan menjadi pesuruh dengan nasib tidak jelas. Hal sederhana seperti belajar membaca dengan buku alfabet sekelas murid SD pun bisa dijadikan Audiard sebagai bagian dari "training montage", terutama ketika Malik menyadari bahwa dia bisa mencuri kesempatan untuk memahat jalan bagi dirinya sendiri jika dia menguasai baca tulis. Karena karakternya memang tidak (bisa) banyak bicara, Tahar Rahim banyak mengandalkan bahasa tubuh dan ekspresi untuk membawakan perannya. Matanya, menurut saya, bisa menggambarkan ketakutan, ketakjuban, kebulatan tekad, keraguan, dan keriangan mirip anak-anak bahkan tanpa banyak dialog.

Niels Arestrup sebagai Luciani juga gemilang sebagai bos geng Corsica yang ditakuti dan dihormati anak-anak buahnya. Di depan Malik, dia memasang wajah garang dan berkuasa, dan bahkan dia biasa mengedikkan dagu saja untuk memanggil Malik. Akan tetapi, Audiard tidak ragu menyelipkan rona-rona kerapuhan dalam karakter Luciani, yang menyadari bahwa jaringan bisnis gelapnya yang luas tidak berarti apa-apa tanpa kebebasan. Kehidupan penjara yang mengisolasi membuat kita sebagai penonton ikut abai terhadap situasi politik di luar penjara, namun ketika suatu kabar kebijakan presiden Prancis terkait narapidana Corsica menyeruak, barulah Luciani, Malik, dan kita semua menyadari bahwa kekuasaan bos geng ini ternyata rapuh. Luciani pun terombang-ambing antara rasa berkuasanya atas Malik serta kesadaran bahwa dia, sedikit banyak, menyadari bahwa dirinya lebih tergantung pada Malik dari yang dikiranya.

Ada begitu banyak yang bisa dibaca dari film ini. Mungkin ada yang berniat menjadikannya sebagai kritik terhadap keburukan sistem penjara Paris. Ada juga yang mengaitkannya dengan isu imigran, baik dari sudut pandang sosiologi, politik, maupun psikologi. Ada yang tertarik membahasnya dari segi yang lebih personal, terutama rasa terombang-ambing Malik saat dirinya merasa tidak punya tempat di penjara yang dikuasai kelompok Corsica maupun Arab, perasaan tercabik yang sama yang kerap dirasakan para imigran, diaspora, atau kaum berdarah campuran di berbagai negara. Saya sendiri tidak akan pernah bisa mengatur interpretasi tertentu yang muncul di benak setiap penonton film ini. Akan tetapi, paling tidak, kita mungkin bisa sepakat bahwa drama thriller Prancis ini berhasil menyampaikan ceritanya tanpa menggurui, berceramah, berteriak-teriak, atau terlalu gamblang dalam bermain simbolisme politis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?