Selasa, 13 November 2018

Review: The Last Executioner


Tahun rilis: 2014
Sutradara: Tom Waller
Bintang: Vithaya Pansringarm, David Asavanond, Penpak Sirikul, Thira Chutikul, Nirut Sirichanya
My rate: 3/5

Perdebatan tentang hukuman mati merupakan sesuatu yang tak ada habisnya, tetapi ada satu aspek dari hal tersebut yang mungkin jarang terpikirkan: bagaimana rasanya menjadi algojo? Pelaku eksekusi adalah karakter yang unik dalam sejarah peradaban kita; sifat pekerjaan mereka menjadikan sosok-sosok ini sebagai orang-orang yang "dikagumi" (dalam artian gelap) sekaligus dijauhi. Implikasi psikologis dari membunuh orang sebagai bagian dari sistem legal juga merupakan sesuatu yang menarik untuk dijelajahi. Kompleksitas inilah yang coba dijelajahi oleh Tom Waller dalam The Last Executioner, film tentang petugas eksekusi terakhir Thailand, yang diangkat dari memoar berjudul sama.

Thailand era 1960-an adalah salah satu lokasi santai favorit prajurit Amerika yang terlibat Perang Vietnam. Chavoret Jaruboon (Pansringarm/Chutikul) mulanya adalah pemuda yang bersemangat mengadopsi kultur rock 'n roll, menghidupi dirinya dengan manggung kesana-kemari, membawakan lagu-lagu rock Barat populer. Ketika dia jatuh cinta dan akhirnya menikah dengan Tew, dia memutuskan melamar menjadi sipir penjara untuk mendapat penghasilan tetap.

Chavoret menjalani hari-harinya sebagai sipir penjara tanpa gejolak, hingga akhirnya dia diangkat menjadi petugas yang mengawal terpidana mati ke tempat eksekusi. Ketika dihadapkan pada kebutuhan finansial yang lebih besar serta utang keluarga, Chavoret akhirnya menerima tawaran menjadi petugas eksekusi. Chavoret mencoba menjalani kehidupan normal dan tidak membiarkan pekerjaannya memengaruhi keluarganya, namun gejolak batin yang timbul dari metode eksekusi membuat Chavoret tidak bisa mengabaikan jeritan nuraninya.

The Last Executioner, baik yang versi buku maupun film, menawarkan sudut pandang unik dari seorang algojo yang menjalankan hukuman mati dengan senjata api. Dalam sistem legal, eksekusi semacam ini biasanya melibatkan beberapa penembak sekaligus untuk menamatkan satu narapidana, dengan beberapa senapan dibiarkan kosong sementara yang lainnya diisi peluru. Dengan memerintahkan semua petugas untuk menembak daerah vital (tanpa memberitahu mereka mana senapan yang berisi peluru dan mana yang kosong), penjara bisa memberi mereka ilusi "pembagian tanggung jawab" (diffusion of responsibility). Hal ini membantu mengurangi beban psikologis para algojo, karena masing-masing bisa berpikir bahwa "bukan senapanku yang membunuh orang itu". Sebaliknya, eksekusioner Thailand seperti Chavoret hanya sendirian, dan dibekali senapan otomatis untuk melaksanakan tugasnya, sehingga solusi pengurangan beban psikologis itu tidak ada. Inilah salah satu aspek yang coba digali oleh Waller.

Menggunakan properti berupa senapan semiotomatis M1A1 Thompson serta Heckler & Koch HK33 (yang benar-benar digunakan Thailand untuk mengeksekusi), Chavoret menunjukkan wajah kalem bagaikan pegawai kantoran yang mengerjakan tugas rutin membosankan, walau masa-masa awal tugasnya menampilkan kecanggungan dan kecemasan yang berbuntut pada upaya eksekusi yang berantakan, mirip seperti adegan miris saat Del dieksekusi dengan kursi listrik dan spons kering tanpa sepengetahuan para petugas (kecuali sipir yang dendam padanya) dalam The Green Mile. Waller nampaknya berusaha meminimalisir darah dalam film ini karena ingin lebih berfokus pada cerita tentang karakternya, namun tentu saja Anda tidak bisa menghindari darah jika membuat film tentang eksekusioner yang menggunakan senjata api. Akan tetapi, bayangan sang narapidana yang digiring ke belakang kain putih sebelum letusan keras membuat darahnya terpercik ke permukaan kain menimbulkan kesan visual yang sama menohoknya.

Vithaya Pansringarm dengan cemerlang menunjukkan perubahan perlahan namun drastis, mulai pemuda penggemar musik rock serta peniru Elvis yang kocak di awal film, hingga menjadi algojo tunggal berseragam warna khaki yang menganggap menembak narapidana hingga mati sama normalnya dengan mengetik laporan piket. Penekanan yang berulang pada kata-kata "tugas" dan "kewajiban" seolah menggambarkan sekaligus mendikte setiap keputusan yang diambil Chavoret. Keputusannya untuk menjadi sipir penjara, membayar utang keluarga, memberi pendidikan baik untuk anak, hingga menerima tugas suram membunuh orang sendirian secara legal semuanya didasarkan pada kewajiban terhadap keluarga, anak, hukum, dan negara. Kita bisa secara jelas melihat kapan dilema moral seorang pembunuh pemula berganti menjadi topeng, lalu rutinitas, dan akhirnya kembali menjadi topeng yang perlahan mulai "retak" karena dilema moral.

Sedikit kejanggalan pada film ini terletak pada pergeseran tonalnya. Film ini menghadirkan karakter "roh" yang dijadikan representasi perang batin Chavoret. Karakter roh ini digambarkan sebagai pria berjas rapi dengan sifat sedikit nyentrik, dan terkadang terasa kurang cocok dengan suasana keseluruhan film yang gelap dan bertema berat. Film ini juga terkesan "memaksakan diri" untuk menunjukkan tokoh Chavoret yang akhirnya mendatangi biksu untuk meminta kedamaian batin, salah satu upaya "mendongkrak" daya jual kisah pria yang aslinya berkarakter datar dan tidak banyak bicara. Untungnya, hal ini tidak terlalu "mengganggu" saya dalam menikmati filmnya secara keseluruhan.

Lepas dari beberapa kekurangannya, The Last Executioner menghadirkan pandangan menarik terhadap sosok dengan pekerjaan yang dibenci sekaligus dikagumi dalam semangat antusiasme gelap. Chavoret yang asli memang sudah meninggal, dan hukuman mati tidak lagi menjadi bagian dari hukum Thailand. Akan tetapi, sang sutradara mengambil langkah tepat dengan memotret sang algojo tunggal sebagai bagian dari sistem tanpa berkutat pada pesan moral, sekaligus secara halus menyuruh kita untuk melihat wajah manusiawi di balik tangan yang memegang senjata karena diperintah oleh sistem hukum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?