Senin, 11 Juni 2018

Review: Farewell My Concubine


Tahun rilis: 1993
Sutradara: Chen Kaige
Bintang: Leslie Cheung, Zhang Fengyi, Gong Li
My rate: 5/5


Farewell My Concubine mungkin mengisahkan tentang lika-liku kehidupan aktor Opera Peking, lengkap dengan sedikit bumbu cinta segi tiga (kalau mau dibilang begitu), tetapi tema yang terasa familiar ini dibingkai oleh kisah yang lebih besar, yaitu masa-masa paling bergejolak dalam sejarah Cina modern. Lewat sudut pandang Dieyi dan Xiaolou, dua bintang Opera Peking dengan sifat yang saling bertolak belakang, Farewell My Concubine mengambil frase "kehidupan menyerupai seni" (life mimics art) dan menuangkan kisah dua sahabat ini ke dalam film yang mengaburkan batas antara kisah di atas panggung dan kehidupan nyata.

Memadukan kemegahan ala panggung Opera Peking dengan kesuraman ala novel-novel Charles Dickens, Farewell My Concubine dibuka dengan keriuhan yang disusul realisme suram: sebuah kelompok opera menampilkan pertunjukan jalanan yang disambut meriah, dan seorang pelacur miskin yang menyerahkan anaknya ke sebuah grup opera. Si pemilik opera menolaknya karena si anak memiliki jari ekstra, namun setelah si ibu memotong jari tersebut dengan pisau daging, pemilik opera bersedia menerimanya. Anak tersebut, Douzi, akhirnya diterima masuk grup dan menjadi dekat dengan seorang bocah yang lebih tua bernama Shitou.

Douzi dan Shitou dilatih dengan keras untuk peran-peran yang sesuai dengan karakteristik mereka: Douzi yang berwajah halus dan bersuara lembut mendapat spesialisasi peran-peran wanita (dan), sedangkan Shitou yang lebih tinggi dan agresif memerankan ksatria atau raja. Mereka tumbuh menjadi pemain opera ternama dengan nama panggung Dieyi (Douzi) dan Xiaolou (Shitou), dan tetap bersahabat dekat. Akan tetapi, Xiaolou mulai dekat dengan seorang pelacur bernama Juxian dan bahkan ingin menikahinya, membuat hubungannya dengan Dieyi merenggang. Selain terlibat dalam hubungan cinta-benci yang rumit, ketiga karakter ini juga harus berhadapan dengan gejolak perubahan zaman saat melalui peristiwa-peristiwa besar yang menandai sejarah Cina modern, seperti Perang Tiongkok-Jepang Kedua dan Revolusi Budaya.

Farewell My Concubine adalah film yang dari awal sampai akhir menguarkan satu kata: ambisius! Chen Kaige berhasil memadukan elemen melodrama, kemegahan audio visual, kisah persahabatan dan cinta, tragedi, serta fiksi sejarah ke dalam film berdurasi hampir tiga jam ini. Chen Kaige sendiri memang orang yang tepat untuk menggarapnya: dia familiar dengan Revolusi Budaya, pernah menjadi anggota Pengawal Merah dan buruh di daerah pedesaan, dan tidak asing dengan grup Opera Peking. Walau film ini menawarkan kemegahan visual dan lompatan periode yang cukup tajam di beberapa bagian (pembagian film ini dibuat seperti perpindahan adegan dalam drama panggung), Chen Kaige tidak meninggalkan aspek realisme yang intim dalam kehidupan para tokohnya. Hal ini terutama ditunjukkan dalam bagian awal film yang mencakup tumbuh besarnya Dieyi dan Xiaolou di grup opera.

Sejarah modern dalam film ini ditunjukkan sebagai sesuatu yang penuh kekacauan, tidak bisa ditebak, dan mampu mengubah sifat serta kondisi manusia yang terlibat di dalamnya dalam sekejap. Jika orang-orang yang relatif punya kekuasaan saja tidak berdaya di hadapan pusaran sejarah, bagaimana dengan mereka yang hanya berusaha menenggelamkan diri di dunia yang mereka bangun sendiri? Dieyi dan Xiaolou ingin menjadi pemain opera hebat. Juxian ingin lepas dari kehidupan sebagai pelacur dengan membangun keluarga baik-baik. Tetapi, pusaran sejarah menyeret mereka masuk ke dalamnya, mengubah kehidupan masing-masing secara drastis, dan membuat mereka melakukan hal-hal yang tidak terpikirkan sebelumnya. Hal ini merupakan tren penceritaan para sineas Generasi Kelima Cina; mereka yang mengeksplorasi gaya-gaya lebih beragam dalam mengisahkan dampak gejolak politik Cina modern pada masyarakatnya, terutama setelah sineas generasi sebelumnya banyak memotret aspek traumatis dari pengekangan berlebih pada era Revolusi Budaya.

Leslie Cheung sebagai Dieyi dengan lincah berpindah antara menyembunyikan dan mengekspresikan gelombang emosinya. Terkadang dia melontarkan kata-kata sindiran tajam, mengekspresikan rasa sukanya pada Xiaolou sambil berusaha mengendalikan diri agar tidak kelepasan melontarkan perasaan sebenarnya demi menjaga persahabatan, hingga menggunakan bahasa tubuh seperti lirikan diam-diam atau gerakan tangan tersamar. Walau Dieyi digambarkan tertarik pada Xiaolou, yang telah menjadi sahabat, pelindung, serta "opposite attract" dirinya sejak kecil, gaya penceritaan film ini membuat kita bertanya-tanya apakah itu wujud rasa cinta atau obsesi Dieyi dalam mempertahankan fantasi panggungnya di dunia nyata. Lebih jauh, nuansa tragis film ini semakin terasa nyata ketika berita bunuh dirinya Leslie Cheung merebak, satu dekade setelah film ini dirilis.

Lakon Farewell My Concubine, yang digambarkan menjadi pertunjukan andalan Dieyi dan Xiaolou, menjadi pengikat kisah dalam film ini, baik sebagai motif maupun setting. Sama seperti Todo Sobre Mi Madre-nya Almodovar yang membaurkan film klasik All About Eve ke dalam dinamika kisah tokoh-tokohnya, Dieyi seolah selalu berusaha menjaga agar lakon tersebut tetap berlangsung hingga ke luar panggung, sehingga batas antara pertunjukan panggung dan kehidupan nyata seolah melebur baginya. Lihatlah adegan pertunjukan pertama Farewell My Concubine saat Dieyi dan Xiaolou sudah menjadi aktor sukses, dan perhatikan ekspresi wajah Dieyi (yang berperan sebagai selir) saat menyambut kedatangan Xiaolou (yang berperan sebagai kaisar serta kekasihnya). Ekspresi wajah Xiaolou tidak terlihat karena tertutup cat wajah hitam-putih, namun ekspresi memuja dari Dieyi begitu gamblang, sama sekali tidak terasa bagai akting.

Gong Li sebagai Juxian juga menunjukkan dimensi akting yang luas. Dia ditampilkan sebagai pelacur keras hati di awal, namun perlahan menunjukkan kecerdikan yang membuat dirinya mampu tegar melewati berbagai gejolak peristiwa politik yang mempengaruhi kehidupannya, Xiaolou, dan Dieyi. Juxian bisa menampilkan sosok wanita "rapuh", tangguh, berharga diri tinggi, lembut hati, hingga terpuruk, dan masing-masing ditunjukkan Gong Li dengan sangat meyakinkan. Juxian dan Dieyi pada akhirnya memang bisa akur, namun ketika perubahan zaman melindas kehidupan yang coba mereka bangun, pengkhianatan justru datang dari sumber yang tidak disangka-sangka.

Menonton Farewell My Concubine tidak terasa seperti menonton film, tetapi sebuah drama panggung epik yang merentangi berbagai zaman, lengkap dengan gejolak emosi yang tergambar sempurna lewat warna-warni cerah serta set panggung gemerlap. Ketika batas antara lakon panggung dan kehidupan nyata mulai melebur bagi karakter utamanya, saat itu juga film ini membuktikan bagaimana karya seni dan kehidupan nyata tidak banyak berbeda. Lebih jauh, Farewell My Concubine adalah rekaman sejarah berwujud fiksi, namun tidak melupakan potret mikro kehidupan para pelakonnya.

1 komentar:

  1. aku suka film ini dan juga film birdbox, kalau ada yang pengen liat review film lain bisa mampir ke websiteku ya

    BalasHapus

Gimana pendapat Anda?