Senin, 19 September 2016

Review: Manuscripts Don't Burn


Tahun rilis: 2013
Sutradara: Mohammad Rasoulof
Bintang: Nama-nama dirahasiakan
My rate: 4/5

Ketika kritikus film Roger Ebert mengunjungi Iran di tahun 90-an untuk memelajari sinemanya, dia bertanya pada seorang penggemar film lokal apa beda antara film-film Iran sebelum Revolusi 1979 (yang cenderung kurang dikenal) dan setelah revolusi (yang mulai menarik perhatian dunia). Jawaban si penggemar film: "di film-film pasca revolusi, tidak ada tokoh jahat." Kisah-kisah yang disampaikan rata-rata berakar pada tema besar sosial dan kultural, yang tentunya harus lolos badan sensor. Bahkan jika ada film-film yang berakar pada ketidakpuasan terhadap kehidupan masa pasca revolusi, seperti The White Meadows dan The Circle, idenya cenderung implisit dan bukan menohok langsung pihak-pihak tertentu di dalam tubuh pemerintah.

Inilah saat sutradara Mohammad Rasoulof nampaknya berpikir: "Fuck that. Let's be brave. Let's be mean this time." Dan Manuscripts Don't Burn pun lahir. 

Memasuki film ini, kita langsung bertemu Khosrow dan Morteza, dua pembunuh bayaran yang dipekerjakan oleh seorang pejabat inteligen Iran untuk diam-diam menyingkirkan tokoh-tokoh yang dianggap berbahaya. Mereka ditugaskan untuk menyasar sekelompok kaum intelektual yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah pasca revolusi (terinspirasi dari peristiwa nyata pembunuhan kaum intelektual dan aktivis Iran di tahun 80-an dan 90-an). Morteza cenderung lebih cuek terhadap pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya, beranggapan bahwa yang dilakukannya benar. Khosrow, walau dingin dan efisien, diam-diam gelisah karena menurutnya uang haram dari pekerjaannya membuat anaknya menderita penyakit berat. 

Beberapa kilas balik menunjukkan bagaimana Khosrow nyaris berhasil membunuh sekelompok penulis dan aktivis, namun di saat terakhir gagal melakukannya. Kini, dia dan Morteza ditugaskan memburu sekelompok kaum intelektual dengan satu tujuan: menemukan sebuah manuskrip "berbahaya" yang akan terang-terangan mengungkapkan peran atasan mereka, si pejabat inteligen, dalam upaya pembunuhan bertahun-tahun silam. Misi mereka diselingi dengan kilasan kehidupan kelompok kaum intelektual yang mereka buru; banyak di antara mereka yang sudah mulai menua dan menjalani kehidupan lumayan mapan, tidak menyadari bahaya yang akan menyapa mereka dalam wujud dua pembunuh bayaran.

Mohammad Rasoulof bukan pekerja seni pertama yang dianggap bermasalah oleh pemerintah Iran; ketika film ini tayang di Cannes untuk pertama kali, Rasoulof sempat dipenjara dan paspornya ditahan, walau kemudian dilepas dengan jaminan (bahkan saat ini, ancaman kurungan masih membayanginya). Film-film Rasoulof sebelumnya juga banyak yang bertema ketidakpuasan terhadap kehidupan di Iran pasca revolusi, tetapi tidak ada yang semenohok Manuscripts Don't Burn. Dalam film ini, Rasoulof melakukan apa yang kebanyakan film Iran lain tak berani lakukan: terang-terangan memasukkan konsep "tokoh jahatnya adalah orang pemerintah" dalam naskahnya (hal yang membuat nama-nama bintangnya juga harus dirahasiakan demi keamanan, yang sangat disayangkan karena tidak ada di antara mereka yang aktingnya tidak bagus!). Judul film ini sendiri dikutip dari The Master and Margarita, novel satir karya Mikhail Bulgakov, yang juga dikenal sangat kritis terhadap Uni Sovyet.

Mendengar kata thriller politik, yang terbayang biasanya adalah cerita penuh letupan-letupan aksi, dengan latar belakang intrik dalam tubuh suatu pemerintahan atau negara. Akan tetapi, Manuscripts Don't Burn adalah thriller yang "membuai" dengan lembut, menghantui secara dingin dan perlahan, sekaligus memajang para aktor dan aktrisnya sebagai sebuah bahan studi karakter. Berbagai kengerian yang disajikan berganti-ganti antara yang eksplisit dan implisit, efektif tanpa terlalu banyak menjejalkan darah ke mata penonton. Detail-detail kecil seperti bekas jari berdarah di leher Khosrow saat dia masuk ke mobil setelah membunuh seseorang, misalnya, menunjukkan kengerian tak bernama yang sama efektifnya dengan jika kita melihat adegan pembunuhan itu di depan mata. Bahkan pemandangan penutup mata hitam bisa membuat saya sangat gelisah walau adegannya hanya omong-omong.

Manuscripts bisa dibilang sebuah studi mikroskopik di balik pembunuhan dan "penghilangan" kaum intelektual serta kelompok kritis, yang walau terjadi di Iran, namun bisa mencerminkan hal serupa di berbagai negara. Dalam film ini, sulit untuk bersimpati atau membenci satu pihak, karena Rasoulof memaksa kita melihat berbagai sisi dari para karakternya. Ada kecemasan tersembunyi ketika hati nurani si pembunuh bayaran membuatnya gelisah. Ada kisah masa lalu si pejabat inteligen yang ternyata pernah menjadi aktivis. Kaum intelektual yang diburu kedua pembunuh bayaran ini pun menunjukkan dimensi yang manusiawi; banyak dari mereka yang susah-payah menjaga idealisme tetap menyala saat usia serta kehidupan mapan mulai memberi perasaan takut mati serta mengancam keruntuhan idealisme tersebut. Beberapa malah digambarkan agak picik dan kerepotan hanya karena hal-hal sepele.

Rasoulof juga tidak memberi kita kesempatan menarik napas lega. Keseluruhan warna film ini sangat muram, dengan dominasi warna kelabu. Banyak shot yang dibingkai tempat sempit atau sudut-sudut gelap berbayang, memberi rasa klaustrofobik sekaligus mencerminkan kemisteriusan kegiatan pembunuhan dan penghilangan aktivis. Tidak ada glamorisasi kekerasan; Rasoulof dengan senang hati menunjukkan banalitas kejahatan, dari adegan seperti Khosrow yang dengan santainya makan dari lemari es seorang profesor sementara dia menyiksanya. Tapi adegan ini tidak dibuat "keren." Hanya alami, sangat natural, dan oleh karenanya, membuat kita merasa dingin. Bahkan, ada juga semacam kritik sosial terhadap perbedaan "kelas" yang terjadi antara kaum intelektual terdidik kelas menengah dengan kaum pinggiran berpendidikan rendah bahkan buta huruf. Tak ada dikotomi pahlawan dan penjahat di film ini, dan Anda akan kesulitan sendiri saat mencoba memihak.

Terakhir kali saya merasa sedepresi ini saat menonton film adalah saat menonton Buried dan Martyr. Tapi Manuscripts terasa lebih nyata, karena apa yang disampaikannya adalah sesuatu yang telah terjadi, dan saya tahu itu. Tetapi, saya adalah orang yang tak punya pengetahuan terlalu rinci tentang tragedi itu (sesuatu yang detailnya pasti hanya diketahui beberapa orang saja), sehingga menonton film ini seperti ditunjukkan mengapa saya layak merasa putus asa dan geram. Satu-satunya harapan Anda untuk lepas dari rasa frustrasi dan depresi adalah menyelesaikan film ini, dan itupun tidak akan membuat Anda merasakan suatu "kemenangan." Pada akhirnya, Rasoulof memilih untuk menyingkirkan pola narasi umum film thriller, dan menyodorkan analisis tajam serta kritis di balik tindakan yang walau mengerikan, namun cenderung tertutup kegelapan serta rahasia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?