Tahun rilis: 2005
Sutradara: Christian Alvart
Bintang: Wotan Wilke Möhring, André Hennicke, Norman Reedus, Heinz Hoenig
My rate: 3.5/5
Antikörper dibuka dengan serangkaian adegan serba kontras yang temponya meningkat cepat: dua polisi berseragam hitam menjawab telepon penghuni apartemen gelap kumuh di malam berhujan, close-up lukisan religius abstrak dengan dominasi warna merah, ruangan berubin putih dengan suara mesin pencatat ritme jantung layaknya kamar rumah sakit yang steril, dan pria bugil yang mengutak-atik kantung infus berisi darah. Adegan ini dengan cepat berkembang menjadi baku tembak dan kejar-kejaran, yang berujung pada ditangkapnya si pria bugil, Gabriel Engel (Hennicke). Engel ternyata adalah seorang pembunuh berantai yang telah memerkosa dan membunuh 13 anak lelaki, lalu menggunakan darah mereka untuk melukis.
Adegan lalu pindah ke sebuah desa, dimana seorang polisi bernama Michael Martens (Möhring) masih merasa tersiksa dengan memori terbunuhnya Lucy, putri salah satu penduduk desa yang masih berusia 12 tahun, tanpa diketahui siapa pelakunya. Martens digambarkan punya hubungan buruk dengan ayah mertuanya, yang menuduh Martens mengabaikan istri dan anak-anaknya. Anak sulung Martens, Christan, juga digambarkan sebagai anak bermasalah dan beberapa kali dilaporkan ke sekolah karena bersikap tak senonoh pada teman perempuan. Ketika Martens mendengar berita penangkapan Engel, dia pun pergi ke Berlin untuk mengorek pengakuan darinya, menduga bahwa Engel juga adalah pembunuh Lucy.
Apa yang tadinya diharapkan sebagai interogasi mudah malah berujung pada pertarungan psikologis antara Engel dan Martens. Walaupun Engel mengakui 13 pembunuhan yang dilakukannya, dia berkeras tidak membunuh Lucy karena korban favoritnya adalah bocah lelaki. Dia menggunakan rasa penasaran Martens untuk menguak sisi gelap Martens (yang selalu menganggap dirinya Katolik taat), bahkan menanamkan keraguan dalam benaknya tentang siapa sebenarnya pembunuh Lucy, yang mungkin jauh lebih dekat daripada yang disangkanya.
Kalau Anda hanya melihat poster filmnya, mudah mengira bahwa Antikörper (Antibodies) adalah horor slasher penuh darah. Deskripsi tentang pembunuhan dan pemerkosaan brutal 13 anak menjanjikan adegan-adegan sadis yang sebaiknya tak dikonsumsi jika Anda sedang mengalami saat-saat depresi terhadap umat manusia. Saya sendiri juga mengira begitu, sampai saya menontonnya, tapi bukan berarti saya memberi opini buruk. Antikörper adalah sebuah thriller yang mengeksplorasi sisi-sisi gelap manusia, dan hal itu ditangkap dari dialog serta potongan-potongan kecil adegan flashback yang seolah menggoda kita dengan cuplikan-cuplikan kengerian tak terbayangkan: sorot mata kosong seorang bocah yang menghembuskan napas terakhir, mayat anak perempuan dengan darah di bagian depan roknya, penemuan barang bukti sederet celana dalam yang penuh sperma. Antikörper sebenarnya relatif bersih dari ceceran darah, tapi cara Alvart menyelipkan adegan-adegan ini memberi imajinasi kita teropong kecil untuk diam-diam mencerna kengerian yang sebenarnya.
Hennicke sebagai Gabriel Engel menunjukkan performa yang luar biasa: sebagai seorang pembunuh yang "unik sekaligus terlihat sangat biasa." Ketika diinterogasi di rumah sakit karena terluka setelah ditangkap, Engel sama sekali tidak mencoba ngeles atau berputar-putar. Dengan kejujuran brutal, dia mendeskripsikan apa yang dilakukannya pada korban pertamanya, sampai ke rincian paling "sakit" yang bisa Anda bayangkan, dan butuh beberapa lama sampai si polisi menyadari bahwa Engel diam-diam ternyata bermasturbasi di bawah selimutnya selama bercerita. Adegan ini tentu saja langsung menggeser adegan interogasi fantastis terhadap Sharon Stone di Basic Instinct dari posisi pertama di memori saya.
Dialog demi dialog yang tepat sasaran membuat saya perlahan bisa "menandai" kapan tekad Martens untuk mempertahankan kemurnian jiwanya mulai runtuh. Ketika Martens bertanya pada Engel apakah dia yang membunuh Lucy, Engel justru menyodorkan pertukaran quid pro quo ala Hannibal Lecter terhadap Clarice Starling. Engel membalas pertanyaan Martens dengan pertanyaan singkat tapi menohok: "what do you feel when you fuck your wife?" Dan setelah pertanyaan itu terlontar, saya seolah bisa melihat keteguhan Martens untuk mempertahankan kemurnian cara berpikirnya perlahan runtuh seperti menara balok UNO. Tidak perlu ditunjukkan secara eksplisit, karena saya tahu saja. Saya yakin Anda juga akan bisa melihatnya ketika menonton adegan tersebut.
Seolah belum merasa cukup dengan tema sisi gelap jiwa manusia dalam filmnya, Alvart pun dengan murah hati menaburkan simbol-simbol religi yang dipelintir di sana-sini, mulai dari lukisan religius Engel yang dibuat dengan darah, hingga anting-anting salib besar di telinga seorang pelacur pinggir jalan. Jujur, ini sedikit mengusik saya, seolah tanpa itu, penonton tidak akan bisa menangkap tema berupa kegelapan jiwa pria yang di kehidupan sehari-harinya adalah orang alim. Kurang lebih seperti sinetron religi kita yang harus secara eksplisit memasukkan adegan berdoa atau sholat di sana-sini, lengkap dengan tokoh berkerudung dan berbaju koko, supaya ketahuan kalau itu, yah, sinetron religi. Tapi untungnya, itu tidak terlalu membuat pengalaman menonton terganggu.
Intinya? Antikörper bukan film yang tepat jika Anda menginginkan ceceran darah dan serangkaian adegan sadis. Ini adalah thriller yang bertempo pelan dan mengeksplorasi kebangkitan perlahan sisi gelap manusia, serta apa yang terjadi pada cara berpikir kita ketika dihadapkan para kengerian tak terbayangkan. Dan jika Anda ingin pesan moral, ini dia: kalau Anda suatu hari melakukan kejahatan dengan telanjang bulat, lalu digrebek dan ingin melarikan diri dengan cara lompat ke atas bak sampah dari lantai dua setelah menerobos jendela kaca, tolong pakai baju dulu. It could get really nasty.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gimana pendapat Anda?