Jumat, 05 Juni 2020

Review: Ginger Snaps


Tahun rilis: 2000
Sutradara: John Fawcett
Bintang: Katharine Isabelle, Emily Perkins, Mimi Rogers, Kris Lemche, Jesse Moss
My rate: 4/5

Film horor bertema manusia serigala biasanya memiliki benang merah tema: transformasi dan dualisme dalam kepribadian manusia. Jadi, agak mengherankan melihat genre horor ini terasa sangat maskulin, padahal tema-tema yang dibahas adalah pengalaman universal manusia. Ginger Snaps, salah satu karya paling terkenal dari sutradara Kanada John Fawcett, sukses membalik pakem film-film manusia serigala dengan mengadopsi pengalaman remaja wanita yang, dalam banyak hal, sangat sesuai dengan tema manusia serigala, termasuk segala horornya.

Karakter utama Ginger Snaps adalah dua bersaudari Ginger (Isabelle) dan Brigitte (Perkins). Keduanya sangat dekat dan digambarkan terobsesi dengan kematian, bahkan membuat tugas sekolah ekstrem yang menggambarkan berbagai diorama kematian mereka. Ketika menyelidiki rangkaian kematian hewan peliharaan di sekitar rumah, mereka diserang makhluk misterius yang menggigit Ginger sebelum keduanya berhasil melarikan diri.

Ginger mulai menunjukkan berbagai perubahan setelah digigit makhluk tersebut. Sifatnya semakin beringas, berani secara seksual, dan bahkan makin menjauh dari Brigitte. Akan tetapi, perubahan itu disertai dengan perubahan fisik seperti munculnya bulu halus dan ekor serta gigi yang perlahan meruncing. Ketika Ginger semakin kesulitan mengendalikan perubahan dirinya serta keganasannya,  bahkan mulai memakan korban, Brigitte harus berjuang melawan waktu untuk mencari penangkal serta menyelamatkan Ginger dan dirinya sendiri.

John Fawcett dan penulis naskah Karen Walton sejak awal sudah berniat menjadikan Ginger Snaps sebagai antitesis dari film-film manusia serigala pada umumnya. Meminjam pengalaman remaja perempuan yang kerap "dihantui" efek transformasi diri mereka saat pubertas, Ginger Snaps memasukkan banyak sekali tema intim seperti hubungan darah (secara harfiah dan metafora), menstruasi, hubungan yang naik-turun dengan saudara perempuan, tekanan sosial di dunia sekolah, paduan rasa takut serta penasaran saat mulai dekat dengan kaum pria, dan rasa tidak dipahami.

Ginger dan Brigitte diperkenalkan sebagai remaja perempuan tipe outcast yang di film horor lain biasanya akan otomatis diberi cap "emo" secara dangkal, tetapi karakter keduanya terasa segar dan otentik. Keduanya saling menyayangi sampai ke tahap berjanji untuk mati sama-sama, tetapi mereka juga kadang bertengkar hebat sampai rasanya hubungan mereka tidak akan bisa diperbaiki lagi. Isabelle dan Perkins sukses memotret dinamika persaudaraan remaja perempuan yang sama-sama memasuki masa pubertas, tercabik antara ikatan persaudaraan dan rasa ingin menjelajah serta "lepas" dari ikatan yang mereka buat sendiri.

Fawcett dan Walton tidak hanya menempelkan sosok manusia serigala sebagai metafora untuk pubertas dan dilema psikologis perempuan secara dangkal. Banyak adegan film ini memotret keseharian remaja yang realistis: berbicara sengit dengan sang ibu seolah apa pun yang dia katakan salah, bertukar ejekan saat menggosipkan teman sekelas, memilih-milih merek pembalut di toko ketika Ginger akhirnya menstruasi (sambil setengah membungkuk sepanjang adegan karena menahan kram perut), hingga menatap bengong ke omongan orang-orang dewasa yang berlagak mencoba memahami mereka tetapi akhirnya malah berakhir menggurui. Berbagai adegan, percakapan, dan pertengkaran berlangsung di kamar mandi, satu dari sedikit tempat di mana remaja putri bisa mendapat sedikit privasi.

Dalam film manusia serigala pada umumnya, transformasi mendadak di bawah sinar bulan biasanya menjadi adegan paling ikonik. Sebaliknya, Ginger Snaps menerapkan rentang waktu satu bulan sejak Ginger tergigit hingga adegan perubahannya menjadi serigala, sehingga memaksa penonton memberi perhatian ekstra pada proses transformasi fisik dan emosionalnya. Bahkan ketika Ginger mulai tampak lebih seperti monster ketimbang manusia, kita masih bisa berempati padanya, dan tidak memandangnya sebagai monster. Ginger mungkin perlahan memeluk sisi monsternya, tetapi kita masih bisa melihat ketakutannya ketika dia merasa kehilangan kendali dan tidak memahami tubuhnya sendiri.

Daya tarik lain dari Ginger Snaps adalah paduan sempurna komedi gelap, drama, dan horornya. Penonton film horor veteran mungkin tidak akan gemetar ketakutan menonton film ini, tetapi karakter, dialog, dan jalan cerita yang kuat memberi film ini pesona sendiri. Saya justru merasa lebih menikmati saat-saat ketika Ginger dan Brigette sama-sama menghadapi transformasi misterius Ginger ketimbang ketika sang monster akhirnya muncul, karena itulah momen ketika kemampuan akting Isabelle dan Perkins benar-benar diuji.

Ini bukan berarti efek khusus menjadi kelemahan Ginger Snaps. Fawcett berkeras menggunakan efek praktis untuk menciptakan tampilan Ginger yang bertransformasi serta manusia serigalanya, membuat Katharine Isabelle harus duduk selama tujuh jam setiap hari untuk didandani demi syuting adegan transformasi, dan dua jam setelah syuting untuk mencopot dandanannya. Sosok monster ini juga tidak muncul sampai adegan klimaks, dan sosoknya setengah tersembunyi oleh bayang-bayang dari setting malam hari serta ruangan sempit. Jadi, jika Anda tipe yang merasa bahwa efek khusus monster manusia serigala sering terlihat kikuk, film ini tidak akan terlalu sering "menyiksa" mata dengan tampilan tersebut.

Ginger Snaps tidak mendapat banyak publikasi saat pertama kali rilis sehingga kerap terlupakan. Akan tetapi, film ini membawa darah segar ke jajaran sinema horor remaja serta film bertema manusia serigala. Porsi pas antara berbagai genre, akting mumpuni, serta interpretasi unik terhadap transformasi manusia serigala dalam sosok-sosok remaja perempuan menjadikan Ginger Snaps suguhan unik yang cukup memuaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?