Minggu, 29 April 2018

Review: Loveless


Tahun rilis: 2017
Sutradara: Andrey Zvyagintsev
Bintang: Maryana Spivak, Aleksey Rozin, Matvey Novikov, Marina Vasilyeva
My rate: 4/5

Jika saya harus menempelkan satu kata sifat ke film-filmnya Andrey Zvyagintsev, mungkin itu adalah "suram". Bukan hanya karena flm-filmnya memelintir adegan kehidupan domestik menjadi kritik sosial tersamar terhadap iklim negaranya, tetapi juga karena berbagai gradasi abu-abu yang sepertinya menjadi salah satu tone warna favoritnya. Loveless juga tidak berbeda, walau Zvyagintsev memutuskan untuk meningkatkan intensitas dalam film ini dengan mencomot tema yang menohok: pengabaian anak yang berbuntut pada hilangnya dirinya secara misterius.

Loveless dibuka dengan sorotan jarak jauh ke adegan bubaran sekolah. Seorang anak lelaki bernama Alyosha (Novikov) terlihat mengambil rute jauh melintasi hutan kecil dan danau, dan terlihat tidak ingin buru-buru pulang. Adegan mendadak berpindah ke rumahnya, di mana orang tuanya, Boris (Rozin) dan Zhenya (Spivak) sedang dalam proses menjual rumah karena perceraian. Boris dan Zhenya digambarkan tidak akur, dan mereka saling lempar tanggung jawab soal siapa yang akan mengasuh Alyosha.

Setelah menghabiskan waktu dengan pasangan masing-masing, Zhenya menyadari kalau Alyosha hilang (tepat setelah adegan pulang sekolah di awal). Menyadari bahwa mereka akan mengalami masalah dengan Ombudsman dan bahkan pemerintah (dan mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan baru), Zhenya dan Boris memutuskan melapor polisi. Ketika pencarian dan penyelidikan yang semakin mendalam tidak juga berujung pada penemuan Alyosha, Zhenya dan Boris semakin tenggelam ke dalam lingkaran konflik, baik antar mereka maupun secara pribadi.

Loveless memang bertema hilangnya seorang anak, tetapi Alyosha sendiri hanya muncul di dalam sedikit sekali adegan, sebelum lenyap selamanya dari pandangan orang tuanya dan penonton. Kita sama tidak tahunya dengan Boris dan Zhenya soal nasib Alyosha sebenarnya. Apakah dia kabur karena tidak tahan dengan fakta bahwa dia tak dicintai? Apakah dia jatuh ke danau? Mungkin bunuh diri? Zvyagintsev membiarkan semua pertanyaan tersebut menggantung, dan kita semua tersiksa bersama Boris dan Zhenya sepanjang film.

Setiap anak berhak mendapatkan kasih sayang dan perhatian, itu jelas, tetapi terlalu muluk untuk membayangkan bahwa setiap anak yang hadir dalam pernikahan pasti lahir karena cinta. Zhenya dan Boris tidak menyensor kata-kata mereka soal anak mereka. Zhenya dengan telak menjungkirbalikkan konsep "semua ibu pasti sayang anaknya" dengan kata-kata seperti "Aku tidak menginginkan dia, aku hampir mati ketika melahirkannya, aku bahkan tidak menghasilkan ASI... Baunya lama-lama mirip ayahnya". Boris, tipikal karakter pasif-agresif yang selalu berusaha menyelamatkan diri sendiri, juga sama saja. Kekhawatirannya bukan soal anaknya, tetapi lebih karena prospek memulai hidup baru dengan kekasih yang lebih muda akan hilang. Dia juga takut kehilangan pekerjaan, karena bosnya adalah sosok religius ekstrem yang siap memecat karyawan mana saja yang ketahuan bercerai atau punya masalah keluarga (sesuatu yang ditekankan sekaligus dikritik habis-habisan oleh Zvyagintsev).

Pengaruh Michael Haneke terlihat samar-samar dalam Loveless, mulai dari shot pembuka yang diambil dengan sudut pandang lebar dari jarak jauh sehingga terlihat impersonal, hingga penekanan pada aktivitas sehari-hari serta kegiatan domestik yang sekilas terlihat hampa untuk menunjukkan makna tersirat, mirip seperti The Seventh Continent-nya Haneke yang hanya berupa sorotan tanpa dialog panjang ke kegiatan sehari-hari sebuah keluarga kelas menengah di Austria, sebelum temponya semakin naik di 15 menit terakhir dan akhirnya ditutup secara brutal. Tapi, Zvyagintsev tidak bermain-main dengan "kenakalan kreatif" macam Haneke, melainkan memilih realisme brutal tanpa tedeng aling-aling, dengan empati dan kehangatan yang seolah lenyap dari semua karakternya.

Zvyagintsev juga mengangkat tema-tema yang beberapa kali muncul dalam film-filmnya sebelumnya, seperti Leviathan dan Elena: Ketidakbecusan pejabat, hilangnya empati, hingga kebobrokan sistem yang membuat rakyat tidak puas. Ombudsman dan polisi dalam Loveless digambarkan sebagai sosok-sosok tidak kompeten, yang menjalankan prosedur tanpa mempertimbangkan aspek manusiawi dari hidup bermasyarakat. Bos Boris menerapkan aturan semena-mena berdasarkan aturan religius ketat, dan tidak ada yang berani protes karena pekerjaan terlalu berharga. Zhenya terobsesi dengan kehidupan glamor serta bernafsu mendaki tangga sosial, melarikan diri ke media sosial hampir setiap saat, dan tidak ragu menanggalkan semua masa lalu, termasuk anaknya, untuk memulai hidup baru dengan pria kaya.

Zvyagintsev juga dengan piawai menggunakan set dan adegan-adegan kecil sebagai cara untuk merefleksikan sesuatu yang lebih besar. Isolasi para karakternya digambarkan lewat "bingkai" sempit seperti ambang pintu yang setengah terbuka, jendela, atau bayang-bayang gelap. Sorotan perspektif ke lorong kantor Boris yang modern dan efisien tetapi hampa dipertegas dengan sesosok karyawan yang diam-diam bermain Solitaire saat dia seharusnya bekerja. Ketika Zhenya bersandar telanjang pada jendela kaca rumah mewah si pria kaya setelah bercinta, posenya lebih terlihat disengaja ketimbang spontan, seolah menegaskan pribadinya sebagai sosok yang terobsesi citra. Dalam hal ini, saya bilang Zvyagintsev justru agak lebih mirip Asghar Farhadi, terutama dalam hal penggunaan rumah sebagai bingkai adegan sekaligus simbol kondisi karakternya, serta penekanan pada situasi domestik dengan kemungkinan interpretasi politis dan kultural yang luas.

Pada akhirnya, Loveless bisa dinikmati dengan berbagai cara, baik sebagai drama biasa maupun komentar sosial-kultural-politis tersamar (apalagi setelah skandal pemilu AS yang melibatkan pemerintah Rusia, yang semakin menjadikan negara tersebut seolah entitas raksasa misterius, bukannya negara dengan masyarakat biasa yang juga punya masalah dan ketidakpuasan mereka sendiri). Tetapi, mau bagaimanapun Anda menontonnya, Loveless tetaplah sebuah eksplorasi suram tetapi indah terhadap sekelompok karakter tak simpatik yang terlempar ke pusaran kebingungan dan kegelisahan yang mungkin sangat relevan bagi siapa saja dalam kultur masa kini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?