Kamis, 26 Oktober 2017

Review: Capture, Kill, Release


Tahun rilis: 2016
Sutradara: Nick McAnulty, Brian Allan Stewart
Bintang: Jennifer Fraser, Farhang Ghajar, Jonathan Gates, Rich Piatkowski, Christina Schimmel
My rate: 3/5

Sineas horor/thriller yang ingin membuat film ala found footage kini menghadapi medan yang sudah jenuh dengan film-film serupa, sehingga mereka harus kreatif dalam penggarapannya agar tetap segar. Capture, Kill, Release mungkin tidak begitu istimewa, dengan nama-nama yang kurang dikenal, namun keterbatasan dana dan kreativitias berhasil membuat film ini menjadi tontonan cukup segar bertema pasangan urban yang nampak ideal tetapi menyimpan gairah gelap untuk membunuh. 

Film horor/thriller berkonsep found footage biasanya tidak memberi kita petunjuk apa-apa tentang "bencana" yang akan terjadi. Kita diajak menyaksikan para karakter melakukan hal-hal rutin membosankan (karena harus pura-pura kalau rekaman itu "ditemukan"), sebelum menampar penonton dengan twist di beberapa menit terakhir. Akan tetapi, dalam Capture, kita sudah tahu sejak awal kalau pasangan suami istri Jen (Fraser) dan Farhang (Ghajar) memang berniat membunuh orang. Yang unik adalah perjalanan penonton bersama kedua pasangan ini saat mereka merencanakan pembunuhan tersebut.

Jen adalah wanita yang ingin tahu bagaimana rasanya benar-benar mencabut nyawa manusia. Suaminya, Farhang, jauh lebih ragu dan pasif dari istrinya, namun toh tetap mendukung Jen dengan rencananya. Jen membeli video kamera dan mulai merekam proses persiapan sebelum melakukan pembunuhan; mulai dari memilih korban ideal, membeli perlengkapan, hingga latihan memotong-motong dan membuang mayat.

Kamera mengikuti kegiatan mereka berdua, bahkan hingga ke berbagai dialog tentang ukuran gergaji dan palu yang cocok untuk membunuh serta memutilasi secara efektif, cara menguras darah dari mayat, dan sebagainya. Namanya juga film dengan karakter yang membangun rumah tangga, jadi tentu saja Anda harus siap-siap mengikuti berbagai kegiatan dan obrolan ngalor-ngidul yang menjadi bagian dari rutinitas biasa. Gaya realisme dalam kehidupan pembunuh ala Capture memang tidak seperti Henry: Portrait of the Serial Killer. Capture tidak intens, tetapi lebih "kalem", dan di beberapa bagian malah agak lambat, tetapi ada banyak hal yang membuat film ini cukup menarik disimak.

Pertama, dialognya. Walau dialog biasa antara Farhang dan Jen terkesan biasa-biasa saja, beda rasanya ketika mereka sudah mulai bicara soal rencana Jen. Semua dialog gelap nan kejam disampaikan dengan gaya kasual, seperti kalau Anda mencoba edgy dengan mengobrol soal pembunuhan sadis bagaikan membedah film kartun saja. Sesekali bahkan ada percakapan absurd macam: "Kenapa harus menghindari orang dari jenis kelamin, orientasi seksual, atau ras tertentu? Kita tidak boleh mendiskriminasi korban-korban kita, dong, dasar kamu rasis dan seksis" yang dilontarkan Jen ke Farhang saat mereka duduk di mobil dan menyaring calon korban dengan memerhatikan orang-orang yang lewat, macam memilih menu di meja prasmanan saja.

Kedua, dinamika psikologis dari interaksi antara Jen dan Farhang sangat menarik untuk disimak. Lagi-lagi, tidak seperti Henry dalam Portrait of Serial Killer yang sadis dan dingin, Jen dan Farhang sebenarnya terlihat seperti pasangan muda yang normal-normal saja. Jen cenderung ceria, bubbly, dan suka bicara, sementara Farhang pendiam dan lebih menahan diri. Setiap kali Jen dengan antusias membicarakan soal rencananya, Farhang adalah pihak yang kerap melontarkan keraguan, untuk "mengerem" Jen. Akan tetapi, jelas siapa yang jauh lebih dominan dalam rumah tangga mereka, bahkan ketika melihat cara bicara mereka sejak awal.

Ketiga, walau di beberapa bagian Anda bisa menguap bosan (dan ini diolok-olok lewat sindiran meta oleh Farhang saat dia dan Jen mengintai seorang calon korban: "Di film-film, adegan memata-matai orang rasanya kok tidak sepanjang ini," yang langsung ditimpali Jen, "Diedit, lah!"), film ini cukup intens saat sudah memasuki adegan-adegan serunya. Biaya kecil tidak menghalangi kru untuk membuat efek praktis yang cukup meyakinkan, misalnya saat kamera menyorot dari dekat potongan tubuh mayat yang sedang dimutilasi.

Farhang Ghajar dan Jennifer Fraser terbilang pendatang baru, dan sutradara Nick McAnulty bahkan tidak memajang mereka sebagai bintang di film ini pada mulanya. McAnulty baru memutuskan untuk mengganti aktor-aktor utamanya dengan Ghajar dan Fraser saat syuting sudah memasuki sekitar seperempat bagian, namun keputusan itu terbukti tepat. Ghajar berakting andal sebagai suami yang tercabik antara sifat pasif dan peragu serta rasa cinta terhadap istri serta keinginan ingin membahagiakannya. Jennifer Fraser menguasai layar sebagai wanita muda ceria, antusias, dengan kegelapan tersembunyi yang tidak segera terlihat di balik senyum lebarnya; mendominasi namun mencintai suaminya dengan caranya sendiri.

Pasca Paranormal Activity, memilih film found footage hampir seperti berjudi. Banyak film yang pemasarannya jor-joran seringkali gagal menyuguhkan sesuatu yang baru, sementara yang terlihat seperti film-film murah kelas B justru bisa menawarkan sesuatu yang segar (bahkan saya lebih suka memilih film-film horor pendek di YouTube jika sedang tidak mood menghabiskan 90 menit yang sia-sia). Capture, Kill, Release bukan film berkesan, tetapi ada sesuatu yang memikat untuk ditawarkan di sela-sela kejenuhan tren film serupa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?