Tahun rilis: 2023
Sutradara: Lkhagvadulam Purev-Ochir
Bintang: Tergel Bold-Erdene, Nomin-Erdene Ariunbyamba, Bulgan Chuluunbat, Ganzorig Tsetsgee, Tsend-Ayush Nyamsuren
My rate: 3.75/5
Cerita tentang gejolak tumbuh dewasa (coming of age) bukan ide asing dalam film, tetapi City of Wind memberi perspektif yang unik. Kita mengikuti kehidupan Ze, seorang dukun remaja yang berusaha menyeimbangkan antara gaya hidup di Mongolia modern dengan kewajibannya terhadap komunitasnya. Dia menjalani rutinitasnya tanpa protes, menahan diri dari pelampiasan wajar gejolak jiwa remaja seperti melihat foto seksi atau ikut pesta dengan teman-temannya demi menjaga dirinya tetap "suci". Akan tetapi, rutinitas dan perspektifnya mulai terusik ketika berkenalan dengan Maralaa, gadis kota yang skeptis dengan statusnya sebagai dukun. Dunia Ze mulai terbelah, dan bersama konflik internalnya, hadir pula komentar sang sutradara terkait Mongolia sebagai negara di mana dua dunia yang tampak berbeda berdampingan.
Saya suka film ini karena perspektif otentik dari pembuatnya, sutradara muda Mongolia yang memulai debutnya dengan menyuguhkan gambaran negerinya di luar imaji populer. Purey-Ochir tidak berfokus pada visual eksotis Mongolia sebagai padang luas dengan tenda-tenda dan gambaran romantis orang-orang nomaden di punggung kuda atau menenteng elang. Ze adalah dukun yang berkomunikasi dengan gendang dan "suara nenek moyang" serta memberi harapan pada orang yang datang, tetapi dia juga remaja yang pergi ke sekolah dengan aturan seragam jas dan dasi. Padang luas, perbukitan, dan desa-desa masih ada, tetapi Ulaanbaatar adalah ibukota yang berkembang pesat, lengkap dengan gedung-gedung apartemen, perkantoran, kelab malam, dan mal megah.
Eksterior Mongolia modern menjadi visualisasi tarik-menarik dalam benak Ze ketika dia terombang-ambing antara kehidupannya sebagai dukun tradisional yang dihormati komunitasnya serta anak remaja yang ingin hidup normal dan jatuh cinta. Pasalnya, Purey-Ochir tidak memotret konflik batin ini sebagai pertentangan hitam-putih. Ze memang ingin merasakan hidup sebagai remaja normal, tetapi dia juga memiliki hubungan erat dengan komunitasnya dan memahami perannya untuk memberi mereka ketenangan yang mereka butuhkan (misalnya saat dia menenangkan orang tua Maralaa sebelum prosedur rumah sakit atau orang tua yang mencemaskan anaknya yang alkoholik). Bahkan, ada saat-saat di mana Purey-Ochir membuat situasi ambigu, membuat kita bertanya-tanya jika Ze benar-benar memiliki "bakat" spesial dalam perannya sebagai dukun remaja.
Uniknya, Ze dan Maralaa memiliki mimpi yang berlainan. Ze yang seorang dukun remaja justru berangan-angan memiliki apartemen mewah, dan dia menyukai suasana mall megah yang berkilauan. Sebaliknya, Maralaa yang terlihat seperti gadis skeptis dan tidak peduli pada status Ze sebagai dukun yang dihormati justru bermimpi tinggal di tenda nomaden di lahan pedesaan Mongolia yang luas serta dikelilingi perbukitan. Tarik-menarik antar dualitas Mongolia tidak hanya terlihat pada kehidupan keduanya, tetapi juga mimpi mereka.
Film ini cenderung mengalir secara realistis, membumi, dan "tenang", tetapi menarik melihat bagaimana Ze memandang masa-masa menjelang dewasanya. Walau menjalani kehidupan yang kurang umum dibandingkan remaja seumurnya, Ze melewati hal yang serupa: terombang-ambing antara beberapa dunia, berusaha menemukan arah di tengah gelombang kehidupan yang tidak selalu hitam putih, dan mencoba "paham" walau tidak selalu menemukan jawaban pasti. Mungkin mirip seperti Mongolia modern yang saat ini masih berusaha menentukan identitasnya, menemukan keseimbangan antara mengikuti arus modernitas membabi-buta atau mempertahankan identitas budayanya.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Gimana pendapat Anda?