Sabtu, 14 Desember 2019

Review: Ali: Fear Eats the Soul


Tahun rilis: 1974
Sutradara: Rainer Werner Fassbinder
Bintang: Brigitte Mira, El Hedi Ben Salem, Barbara Valentin, Irm Hermann, Rainer Werner Fassbinder
My rate: 5/5

Ali: Fear Eats the Soul bukan proyek Fassbinder yang termegah. Digarap dengan terburu-buru di antara dua proyek berbujet besar, Fassbinder tadinya meniatkan film drama ini sebagai semacam latihan serta mengisi jadwal di antara penggarapan film Martha dan Effie Briest. Sederhana tetapi kuat, Ali justru mendapat status sebagai salah satu film terbaik Fassbinder. Menggantikan melodrama dengan keheningan, teknik visual, serta simbol-simbol kecil untuk menggambarkan cinta antar ras yang nyaris mustahil, Fassbinder mengikis semua "kecengengan" visual dan menggantikannya dengan tikaman tajam ke jantung kesepian kolektif para penontonnya.


Ali berkisah tentang Emmi (Mira), wanita usia 60-an pembersih jendela di Jerman Barat yang hidup sendirian karena anak-anaknya sudah memiliki kehidupan sendiri dan tidak menghiraukannya. Saat berteduh dari hujan di sebuah bar yang sering didatangi pekerja imigran, Emmi bertemu dengan buruh asal Maroko usia 40-an bernama Ali (Salem), dan Ali mengajaknya berdansa setelah ditantang teman-temannya. Ali mengantar Emmi pulang, dan mereka menghabiskan malam berdua, diikat oleh rasa kesepian masing-masing.

Ali dan Emmi kemudian menjadi dekat, dan akhirnya memutuskan menikah ketika anak pemilik apartemen Emmi mencurigai hubungan mereka. Emmi dikucilkan oleh para tetangga dan teman-teman Jermannya, sementara Ali menerima perlakuan rasis. Pengucilan dan tentangan dari orang-orang di sekitar mereka membuat Emmi mengadopsi perilaku rasis teman-temannya, sedangkan Ali mencari penghiburan dari Barbara (Valentin), bartender yang menaruh hati padanya. Pada akhirnya, keduanya harus menghadapi sisi gelap masing-masing sebelum mampu melewati lingkungan sekitar yang menatap dan memperlakukan hubungan mereka dengan kejam.

Membaca ringkasan cerita Ali: Fear Eats the Soul mungkin menimbulkan bayangan akan kisah cinta mendayu-dayu penuh melodrama dan eksploitasi emosi. Akan tetapi, Fassbinder mengambil rute berbeda, menjadikan filmnya penuh dengan keheningan, dialog yang disampaikan dengan nada datar, namun dengan efek yang begitu menusuk. Ada kecanggungan samar yang sengaja dimasukkan Fassbinder ke sini, sesuatu yang menurut saya wajar karena Emmi dan Ali adalah dua sosok dengan latar belakang dan bahasa yang sangat berbeda. Menjadikan mereka langsung "klik" karena alasan klise seperti "cinta sejati" justru akan membuat hubungan keduanya terlihat sangat tidak alami. Di tangan Fassbinder, kekakuan mereka terlihat sangat wajar, manusiawi.

Fassbinder menggunakan kamera serta komposisi untuk menggambarkan dinamika para karakter sekaligus tema besar filmnya, dan hal ini jelas terlihat bahkan sejak adegan awal. Ketika Emmi masuk ke bar, dia duduk dengan canggung, sementara Ali, para pekerja imigran, bartender, dan gadis-gadis bar menatapnya seolah dia bukan bagian dari mereka. Di tengah alunan musik Arab, Emmi terbata-bata memesan minuman dan berceloteh karena gugup sekaligus kesepian. Ali mendatanginya, menyapanya dengan lembut, dan mengajaknya berdansa. Kamera menyorot keduanya di bawah lampu merah lembut, dan seketika, keduanya sama-sama menjadi tontonan ketika kamera berpindah ke teman-teman Ali serta para karyawan bar, yang ganti menatap keduanya dengan aneh.

Fassbinder kerap memasukkan Ali dan Emmi ke dalam bingkai-bingkai sempit, misalnya di antara celah pintu, terapit dinding dan tempat tidur, atau terhalang garis-garis perabot. Di tangan Fassbinder, hal ini menimbulkan dua kesan. Ali dan Emmi terlihat dekat serta intim saat mereka berbahagia berdua. Akan tetapi, ketika keburukan dunia luar mulai mengancam memisahkan dan mengorupsi mereka, bingkai-bingkai sempit menjadi terasa mengekang dan memenjarakan. Mereka berdua juga sering disorot dari jauh, sehingga kesan isolasi yang dirasakan keduanya tercermin dalam visualnya.

Cinta mungkin mengaitkan hati Ali dan Emmi, namun Fassbinder memilih menonjolkan aspek kesepian, isolasi, dan keterasingan. Banyak hal dalam film ini yang mencerminkan kehidupan Fassbinder sendiri. Pemeran Ali, El Hedi Ben Salem, juga imigran asal Maroko yang mengalami kehidupan sulit saat pindah ke Jerman Barat karena tidak siap dengan perbedaan budaya serta isolasi yang dialaminya. Ben Salem dan Fassbinder sempat menjalin hubungan, namun paduan antara kebiasaan mabuk akibat stres serta sifat pemarah Ben Salem membuat mereka berpisah. Ben Salem pada akhirnya menggantung dirinya pada tahun 1977 setelah menikam tiga orang di Berlin. Sineas Jerman-Mesir Viola Shafik akhirnya menjadikan kisahnya film dokumenter bertajuk My Name is Not Ali (2012).

Fassbinder juga memasukkan elemen dari pengalaman masa lalunya ke tokoh Emmi. Dalam film tersebut, Emmi yang ingin diterima lagi oleh teman-temannya setelah menikahi Ali berkomplot untuk mengucilkan pekerja baru yang berasal dari Yugoslavia. Ibu Fassbinder juga sempat mengalami efek diskriminasi setelah kembali ke Jerman dari Polandia pasca Perang Dunia Kedua. Rasisme terhadap "pekerja tamu" (Gastarbeiter) di Jerman Barat pasca Perang Dunia Kedua juga bukan rahasia, terutama setelah peristiwa Pembantaian Munich yang membuat orang-orang Timur Tengah serta Afrika Utara seperti Ben Salem dan Ali dipandang penuh curiga.

Aspek rasisme selektif juga menjadi tema yang dijelajahi dengan cukup gamblang. Awalnya, orang-orang seperti penjaga toko, teman-teman, serta keluarga Emmi terang-terangan mengecam hubungan Emmi dan Ali. Ketika keduanya memutuskan berlibur panjang, orang-orang yang sama menyadari bahwa keduanya ternyata "bermanfaat" (Emmi adalah pelanggan setia toko tersebut. Anak-anaknya menyadari mereka membutuhkan bantuan Emmi untuk menjaga bayi. Teman-teman Emmi yang rata-rata janda senang karena mereka bisa minta bantuan Ali untuk mengerjakan ini-itu). Satu-satunya orang yang sepertinya menyayangi Ali dengan tulus selain Emmi hanya Barbara si bartender, namun melankoli hadir ketika kita menyadari bahwa Ali menyayangi bartender ini hanya karena dia bisa memasak couscous, sementara Emmi yang istri Ali menolak memasaknya di apartemen mereka lantaran malu.

Ali: Fear Eats the Soul "merayakan" kekakuan, keheningan, dan kecanggungan yang muncul ketika dua orang yang begitu berbeda memutuskan mendekatkan diri karena tidak punya alternatif lain untuk mengusir rasa kesepian. Bukan berarti film ini steril dan bebas dari eksplorasi emosional. Dengan menyingkirkan melodrama, Fassbinder langsung menusukkan pisau sinemanya ke jantung para penonton serta masyarakat di sekitarnya. Jika Anda, seperti saya, merasa canggung dan tidak tahu harus bereaksi bagaimana melihat Emmi dan Ali yang begitu intim sekaligus beracun terhadap satu sama lain, nikmati saja, karena itulah yang diinginkan Fassbinder: dia tidak sempat membumbui filmnya dengan hiasan melodrama ala film romantis pada umumnya, karena dia terlalu sibuk mendeskripsikan kebenaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?