Rabu, 02 November 2016

Review: The Match Factory Girl


Tahun rilis: 1990
Sutradara: Aki Kaurismäki
Bintang: Kati Outinen, Elina Salo, Esko Nikkari, Vesa Vierikko
My rate: 4/5

Sutradara Finlandia Aki Kaurismäki punya bakat mengubah film dengan karakter dan premis yang sangat biasa menjadi sesuatu yang membuat penonton sulit mengalihkan pandang. Hal itu nampak dalam The Match Factory Girl: sebuah film tentang gadis yang biasa-biasa saja, tanpa sedikitpun karakter "istimewa" layaknya seorang protagonis, menjalani kehidupan yang tidak menarik. Akan tetapi, jika akun Twitter Big Ben yang isinya cuma BONG BONG BONG saja bisa punya ratusan ribu pengikut, film sederhana yang entah bagaimana menghipnotis ini tentu juga pantas mendapat perhatian. 

The Match Factory Girl mengikuti keseharian Iiris (Outinen), wanita muda yang bekerja di pabrik korek api. Kehidupan Iris digambarkan datar dan mekanis, dengan keseharian yang sama: berjalan kaki ke pabrik, bekerja, pulang, belanja, memasak, dan makan di depan TV bersama ibu dan ayah tirinya, yang sama sekali tidak menghargainya kecuali sebagai sumber amplop gaji. Setiap kali mencoba keluar bersenang-senang, dia selalu kesulitan menarik perhatian pria.

Suatu malam, Iiris didekati oleh seorang pria, Aarne (Vierikko), dan mereka berdansa serta tidur bersama. Iiris untuk pertama kalinya merasa bahagia, namun yang tak dia ketahui, Aarne ternyata mendekatinya karena menyangka Iiris seorang pelacur. Ketika Aarne tak menyambut perasaan romantis Iiris walau yang terakhir ini akhirnya hamil, dan orangtuanya semakin lama semakin membuatnya tertekan, Iiris pun melakukan tindakan drastis yang mungkin tak akan terbayangkan jika melihat wajahnya yang selalu datar tanpa semangat itu.

Film ini sederhana, dengan durasi yang hanya sekitar 60 menit dan karakter utama yang ekspresi wajahnya nyaris tak pernah berubah sepanjang film: datar, tanpa senyum (kalaupun tersenyum, sangat singkat dan jarang sampai-sampai saya kaget sendiri saat melihatnya). Iiris juga tidak memiliki karakter "spesial" sesosok protagonis; sesuatu yang biasanya ditambahkan untuk membuat karakter utama menjadi menarik dalam cara tertentu walaupun digambarkan biasa-biasa saja. Dia benar-benar seadanya: datar, tidak lucu, tidak cerdas, tidak menggoda, tidak "kikuk yang memikat" ala Jennifer Lawrence. Iiris benar-benar seorang wanita biasa, model yang kalau Anda temui di jalan juga tak akan membuat Anda menoleh.

The Match Factory Girl dibuka dengan sorotan ala dokumenter; bagaimana sebatang pohon menjalani berbagai proses hingga menjadi batang-batang korek api dalam kotak kecil, sebelum akhirnya berpindah ke adegan Iiris bekerja. Dari sana, film ini terus berjalan dengan cara mekanis bak mesin-mesin pabrik yang mengolah batang-batang korek api tersebut. Kita melihat adegan demi adegan berjalan, hari demi hari mengikuti keseharian Iiris yang begitu-begitu saja, ditambah lagi dengan sikap diam dan nrimo-nya yang mungkin setara dengan karakter gadis cantik nan baik budi di sinetron Indonesia; setiap kali dirinya ditindas dan ditimpa kejadian buruk, tidak pernah mengumpat atau melawan dan hanya nangis bombay dengan ingus yang kemana-mana. 

Tapi Iiris tidak menangis. Tidak meratap. Tidak menjerit. Dia bahkan tidak menyentak balik ketika ayah tirinya, ibunya atau Aarne memperlakukannya dengan buruk. Dia menerima semuanya, menyerap semuanya bak keset basah. Mungkin itu yang membuat film yang nampak sederhana ini sangat menghipnotis; kita dipaksa mengikuti adegan demi adegan mekanis yang menghipnotis, dengan semburat aroma harapan bahwa kita entah kapan akan disuguhi adegan dimana Iiris mendobrak semua ketidakadilan ini dan menamatkan ceritanya dengan memuaskan. Akan tetapi, ketika Iiris akhirnya memutuskan "melakukan sesuatu," coba tanyakan pada diri sendiri apakah Anda masih merasa puas pada akhirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?