Jumat, 04 November 2016

Review: Heavenly Creatures


Tahun rilis: 1994
Sutradara: Peter Jackson
Bintang: Kate Winslet, Melanie Lynskey, Sarah Peirse, Diana Kent, Jed Brophy
My rate: 3.5/5

Peter Jackson biasanya dikenal akan dua hal: sebagai sutradara film-film adaptasi novel-novel fantasi J.R.R. Tolkien seperti The Lord of the Rings dan The Hobbit, atau sutradara horor-komedi-zombie gila macam Bad Taste dan Braindead di awal karirnya. Akan tetapi, di antara film-film ikoniknya itu, Jackson juga menggarap film-film lain macam King Kong, The Lovely Bones, dan Heavenly Creatures. Jika King Kong dan Lovely Bones hanya membuat saya menatap lempeng ke arah layar dan melupakannya setelahnya, Heavenly Creatures membuat saya terpesona dengan kepolosan dan kedalaman persahabatan karakter Melanie Lynskey dan Kate Winslet, bahkan setelah mereka digambarkan melakukan pembunuhan.

Heavenly Creatures dibuka dengan adegan Pauline (Lynskey) dan Juliet (Winslet), berlari sambil menjerit-jerit dengan bercak-bercak darah di wajah dan pakaian mereka. Kita kemudian menyaksikan kilas balik ke keseharian Pauline, yang keluarganya menjadikan rumah mereka tempat kos untuk siswa. Pauline kemudian bertemu Juliet di sekolah khusus wanita tempat mereka sama-sama belajar. Pauline tertarik pada Juliet yang cantik, percaya diri dan berasal dari keluarga kaya, sedangkan Juliet merasakan ikatan terhadap Pauline karena sama-sama pernah menderita penyakit berat di masa kecil dan juga berbagi minat terhadap romantisme dunia fantasi.

Hubungan Pauline dan Juliet semakin mendalam, bahkan menjurus obsesif, terutama setelah mereka merasa bahwa dunia sekitar berkomplot memisahkan mereka. Untuk menghindari kesulitan hidup dan perasaan tak dimengerti, mereka "melarikan diri" ke kerajaan fantasi ciptaan mereka sendiri yang bernama Borovnia, di mana mereka menjadi pasangan putri, dan memiliki anak lelaki bersama yang diberi nama Diello. Fantasi ini begitu kuat hingga bahkan merembes ke keseharian mereka, membaurkan yang nyata dan fiksi. Akan tetapi, hubungan pertemanan yang berapi-api ini membuat orangtua mereka khawatir mereka terlibat hubungan homoseksual, dan berniat memisahkan mereka. Pauline dan Juliet pun bertekad untuk menyingkirkan pihak yang dianggap sebagai penghalang terbesar untuk mereka bisa bersama.

Film ini terinspirasi dari salah satu kasus pembunuhan paling menggegerkan dalam sejarah kriminal Selandia Baru, The Parker-Hulme Murder Case. Walau korbannya "hanya" satu orang, kasus ini menarik perhatian karena detail-detail renyah yang ada di baliknya: pelaku dua orang gadis muda yang masih bersekolah, dari dua kelas sosial berbeda, dengan kisah persahabatan obsesif yang memunculkan dugaan percintaan sesama jenis. Kalau dijadikan siaran langsung di TV seperti di Indonesia, bayangkan berapa keuntungan dari minggu-minggu penayangan laris yang bisa diraih stasiun televisi! Untungnya, sekali ini, Peter Jackson tidak memilih jalur sensasional itu dalam penggarapan filmnya.

Heavenly Creatures memilih berfokus ke kisah persahabatan antara Juliet dan Pauline, sejak saat mereka bertemu hingga masa-masa ketika mereka berteman. Alih-alih menjadikannya drama atau drama-thriller biasa, Peter Jackson justru membuat filmnya seolah kita memandang dunia lewat cermin fantasi dalam benak kedua gadis ini. Visual film ini cerah dan berwarna-warni, terutama dalam adegan ketika dua gadis ini bersama-sama. Akan tetapi, ketika mereka terpisah dan dikelilingi keluarga serta orang-orang yang mereka tidak sukai, visualnya sedikit muram. Ini seolah memberi kesan berbeda antara "dunia kami" dan "dunia nyata." Banyak juga close-up cepat diiringi musik untuk memberi kesan dramatis, yang semakin menjauhkan film ini dari kesan sebagai drama "dunia nyata."

Peter Jackson juga menggunakan efek dari studio Weta Digital, yang namanya mulai dikenal publik secara luas saat film The Lord of the Rings: The Fellowship of the Ring dirilis, namun masih terhitung sebagai perusahaan baru saat Jackson menggarap Heavenly Creatures. Karena Pauline dan Juliet gemar membuat figur-figur lilin untuk menciptakan para penghuni kerajaan Borovnia mereka, Jackson membuat adegan dimana para penghuni kerajaan ini benar-benar "hidup," dan dalam berbagai adegan bahkan berinteraksi dengan Juliet serta Pauline, namun masih dalam sosok lilin kelabu mereka. Beberapa adegan juga disorot seolah kita memandang dunia dari mata figur fantasi lilin ini.

Winslet dan Lynskey juga sangat memesona sebagai Juliet dan Pauline. Kate Winslet terutama memberikan performa terbaiknya dalam film yang merupakan debut akting layar lebar pertamanya ini sebagai gadis angkuh dan percaya diri yang diam-diam ternyata menyimpan kerapuhan lembut. Melanie Lynskey dengan sempurna memerankan Pauline yang lebih sinis dan bermulut tajam, namun sangat mencintai Juliet. Akting mereka bahkan dikabarkan begitu mendalam hingga Winslet dan Lynskey masih bersikap seperti Juliet dan Pauline bahkan setelah syuting selesai. 

Tidak seperti dalam kisah pembunuhan sesungguhnya dimana Juliet dan Pauline mengaku tak memiliki hubungan romantis, Jackson menambahkan bumbu hubungan romantis antar keduanya. Akan tetapi, saya sendiri merasa bahwa kisah persahabatan obsesif ini justru merupakan sesuatu yang sulit dikategorikan ke dalam narasi apapun. Kedua remaja ini penuh gejolak, emosional, saling tergantung satu sama lain, dan menganggap bahwa tak ada batas antara dunia nyata dan fantasi. Jika Anda menyayangi seseorang dengan cara menggebu seperti itu, tak akan ada kata yang cukup untuk menggambarkannya tanpa memberi batasan-batasan yang tidak perlu. Heavenly Creatures adalah kisah persahabatan menakjubkan yang mengajak kita melihat ke dunia di balik benak dua pembunuh muda yang hidupnya dijadikan obyek sensasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?