Tahun rilis: 2006
Sutradara: Asghar Farhadi
Bintang: Hedye Tehrani, Taraneh Alidousti, Hamid Farokhnezhad, Pantea Bahram
My rate: 4/5
Jika dirimu adalah seorang gadis muda sederhana yang akan segera menikah, dengan benak penuh mimpi akan kehidupan pernikahan yang manis, apa yang akan kau lakukan ketika ekspektasimu akan pernikahan dikandaskan di depan mata oleh keluarga kaum kelas menengah yang mempekerjakanmu? Lewat sebuah drama yang sekilas nampak seperti bahan empuk untuk sinetron kejar tayang, Asghar Farhadi berhasil mengurai kisah mendalam tentang konflik berlapis yang menggambarkan kerapuhan dan gonjang-ganjing kehidupan pernikahan ketika curiga menerpa, serta menyelipkan sedikit pesan subversif dalam drama Iran yang sekilas hanya menyorot masalah hubungan domestik ini.
Rouhi (Alidousti) adalah seorang gadis muda dari keluarga sederhana di desa yang akan segera menikah dengan tunangannya. Untuk menambah-nambah biaya pernikahan, Rouhi bekerja sebagai pembantu rumah tangga sementara bagi pasangan suami istri yang tinggal di apartemen di Teheran, Morteza (Farokhnezhad) dan Mojdeh (Tehrani). Ketika Rouhi datang, dia disambut suasana kacau balau; apartemen itu serba berantakan, jendelanya ada yang pecah, dan pasangan suami istri tersebut terus-menerus ribut. Hubungan pasangan tersebut rupanya sedang gonjang-ganjing, dan Mojdeh mencurigai suaminya berselingkuh dengan Simin (Bahram), seorang janda pemilik salon yang tinggal tak jauh dari apartemen mereka.
Rouhi berusaha menulikan telinga terhadap konflik rumah tangga ini dan terus berusaha melakukan pekerjaannya. Akan tetapi, ketika dia pergi ke salon Simin untuk merawat wajah menjelang hari pernikahannya, Mojdeh memanfaatkan hal ini dengan memberi Rouhi uang tambahan, asalkan dia mau memata-matai Simin. Rouhi pun terombang-ambing antara berusaha menyelesaikan pekerjaannya tanpa masalah, ikut terlibat konflik para majikannya karena tidak diberi banyak pilihan, dan di saat yang sama berupaya menghapus kegelisahan pribadi akan masalah rumah tangga majikannya yang seolah merefleksikan masa depannya sendiri.
Semenjak namanya tenar di dunia sinema Barat lewat A Separation (2011) yang memenangkan Oscar, Asghar Farhadi mulai menikmati lonjakan ketenaran baru, terutama ketika publik mulai gencar mencari film-filmnya yang lain. Akibatnya, walaupun Fireworks Wednesday rilis secara resmi pada tahun 2006, tetapi film ini baru didistribusikan di Amerika Serikat pada tahun 2016. Farhadi cenderung tidak "sadis" dalam tema film-filmya, karena dia lebih suka menggarap drama psikologis dengan tema berlapis yang menyorot aspek-aspek terperinci dari kehidupan orang-orang biasa, dengan kritik sosial politik yang, jika ada, cenderung tersamar ketimbang gamblang (beda dengan, misalnya, Mohammad Rasoulof, yang memang sepertinya sudah bosan hidup). Tapi, saya tidak ada masalah dengan itu. Drama tentang "orang biasa" dengan aspek psikologis yang diurai secara cermat memang selalu menjadi kekuatan Farhadi, dan dia mengimbanginya dengan pemilihan aktor yang tepat, editing cermat, dan penggunaan properti serta simbolisme yang bermakna.
Simbolisme samar banyak bermain dalam film ini, dan ikut menjelaskan narasi. Dalam Fireworks Wednesday, kisahnya mengambil tempat di Teheran yang penduduknya sedang merayakan Chaharshanbe Suri (Festival Api), festival menjelang Tahun Baru Persia yang dirayakan dengan ledakan petasan dan kembang api di sana-sini. Ketika kita mengikuti Rouhi yang tiba di Teheran, telinga kita ikut dibombardir dengan suara-suara ledakan petasan dan sesekali seruan kemarahan ketika ada anak-anak nakal menyalakan petasan di tempat yang tidak semestinya. Suasana kemeriahan ini langsung mendapat makna berbeda ketika Rouhi masuk ke apartemen majikannya dan menemukan kondisi yang berantakan serta jendela kaca yang pecah bekas pertengkaran. Ledakan petasan jadi terkesan seperti letupan senjata, dan rumah itu adalah rumah yang habis dibombardir dalam pertempuran. Hal yang sama terjadi di adegan awal ketika Rouhi dibonceng tunangannya naik motor ke kota; pasangan yang tadinya saling bercanda ria itu mendadak nyaris jatuh ketika baju chador Rouhi tersangkut di jeruji roda, bagai sebuah pertanda.
Rumah juga nampaknya menjadi simbolisme favorit Farhadi dalam drama-drama terbaiknya, terutama drama yang menyorot kehidupan kelas menengah seperti The Past, About Elly, dan Fireworks Wednesday, drama di mana lapis demi lapis potensi konflik yang terbenam akhirnya menampakkan diri ketika suatu kesalahan kecil terjadi. Mulai dari rumah yang berantakan akibat pertengkaran, berantakan akibat renovasi, atau villa tua yang kotor dan lusuh karena tokoh utamanya lupa menyewa villa yang lebih bagus untuk wisata di pinggir pantai. Rumah, yang merupakan aset berharga bagi kaum kelas menengah di mana saja, berubah menjadi panggung untuk mengupas lapis demi lapis konflik seiring semakin terkuaknya rahasia tersembunyi serta hadirnya kesalahan-kesalahan kecil yang menjadi penentunya. Ciri khas Farhadi, yaitu pergerakan kamera yang konstan serta reframing di bagian-bagian rumah berbeda, seolah mencerminkan gejolak psikologis dari konflik yang semakin terurai seiring berjalannya cerita.
Farhadi juga menyelipkan sedikit jejak benturan antar kelas, yaitu kelas menengah bawah dan menengah atas. Rouhi beberapa kali harus bersitegang dengan salah satu tetangga pasangan tersebut, karena masalah sepele: bel pintu mereka rusak dan Rouhi tidak bisa masuk. Tetangga mereka pun mencurigai Rouhi dan menyuruhnya berdiri di luar pagar komplek. Keberadaan Rouhi pun dijadikan "senjata" bagi kedua majikannya untuk menjaga rahasia, memata-matai, hingga menolong menjemput anak di sekolah (yang membuat Rouhi sekali lagi dicurigai, kali ini oleh si kepala sekolah). Kecanggungan Rouhi tidak menjadi perhatian mereka, karena apa lagi tugas Rouhi di sana selain membantu mereka? Bukankah mereka sudah membayarnya? Walau itu berarti mendorong Rouhi melakukan hal-hal yang membuat si gadis menjadi gelisah dan tidak enak.
"Pembacaan" terhadap film ini, kalau mau disebut begitu, bisa dilakukan dari berbagai sudut pandang, terutama karena Farhadi tidak terlalu banyak menggunakan simbol sebagai kritik gamblang terhadap kondisi sosial di negaranya atau pemerintah Iran (tetapi apakah kita selalu mengira bahwa setiap film Iran pasti merupakan kritik sosial politik? Tak bisakah hanya merupakan drama biasa?). Mungkin itu juga yang menyebabkan film-filmnya cenderung lolos sensor pemerintah. Akan tetapi, kemampuan Farhadi merangkai adegan-adegan dengan rincian subtil memberi kebebasan bagi penontonnya untuk membuat interpretasi beragam, terutama penonton di luar Iran: mulai dari suami yang mengeluh "tak pernah lagi mencium bau masakan di rumah," janda pemilik bisnis salon yang dipandang dengan ganjil oleh para penghuni apartemen, hingga istri yang mungkin atau mungkin tidak membayangkan perselingkuhan imajiner karena rasa takut akan kehilangan arah hidup bila ditinggal suami. Pada dasarnya, Farhadi seperti berkata: "ini film saya. Sekarang terserah Anda, mau dilihat bagaimana."
Fireworks Wednesday juga bukan film untuk ditonton untuk "santai," karena suasana pertengkaran dan terbukanya konflik terpendam yang tak henti-hentinya melanda dalam rumah pasangan ini. Farhadi tidak membiarkan kita berada dalam posisi "serba tahu." Konflik dibiarkan terurai secara alami. Kita ditempatkan dalam posisi sama seperti Rouhi: canggung, bingung, gelisah, dan tidak tahu ke arah mana konflik tak berkesudahan ini akan melaju. Pada akhirnya, kita pun bertanya-tanya: apakah Rouhi masih menyimpan kepercayaan terhadap kehidupan pernikahannya sendiri? Atau adakah setitik keraguan ketika dia melihat salah satu dari sekian banyak cermin kehidupannya di masa depan terkuak di depan mata?
reviewnya baguus... (y)
BalasHapusTerima kasih sudah mampir yaa.
Hapus