Selasa, 16 Mei 2017

Review: The Full Monty


Tahun rilis: 1997
Sutradara: Peter Cattaneo
Bintang: Robert Carlyle, Mark Addy, William Snape, Paul Barber, Tom Wilkinson, Steve Huison
My rate: 4/5

Sekilas, The Full Monty menyuguhkan premis absurd yang cocok untuk bahan komedi seks ala Deuce Bigalow: sekelompok pekerja pabrik yang terkena pemutusan hubungan kerja mencoba menjajal menjadi penari erotis, walaupun tanpa badan roti sobek serta wajah rupawan ala kru Magic Mike. Akan tetapi, sutradara Peter Cattaneo berhasil membawa premis ini menjadi drama komedi yang nakal tetapi cerdas, dan menyelami berbagai isu seperti hak ayah, seksualitas, impotensi, isu body image pada priaserta sudut pandang baru terhadap maskulinitas. 

Gaz (Carlyle) adalah mantan pekerja pabrik yang kehilangan pekerjaan ketika pabrik pengolahan besi baja tempatnya bekerja ditutup. Kehabisan uang dan terancam tidak bisa lagi menemui anaknya karena tidak bisa mengirimkan tunjangan perawatan anak kepada mantan istrinya, Gaz mulai mencari pekerjaan yang bisa mendatangkan banyak uang. Dia terinspirasi setelah melihat sebuah pertunjukan tarian erotis pria yang selalu penuh didatangi kaum wanita setiap malam. Gaz pun mengumpulkan teman-temannya serta melakukan "audisi" untuk mencari anggota dan membuat klub serupa.

Gaz akhirnya berhasil mengumpulkan beberapa orang: Dave (Addy) yang sering rendah diri karena tubuhnya gemuk, Horse (Barber) yang pandai menari namun diam-diam gelisah karena masalah impotensi akibat usia, Lomper (Huison) yang depresi dan sempat ingin bunuh diri, Gerald (Wilkinson) si mantan mandor yang menyembunyikan fakta bahwa dia di-PHK dari sang istri, dan Guy (Speer) si tukang ledeng yang pernah memperbaiki toilet Gerald. Gaz dan teman-temannya pun berjuang untuk berlatih sambil berusaha menyelesaikan persoalan pribadi masing-masing, dan berpegang pada harapan bahwa aksi tersebut adalah pintu menuju kesuksesan finansial.

The Full Monty dengan apik membawakan topik yang mungkin rawan dipelesetkan menjadi komedi seks gila-gilaan, dan menunjukkan gaya penggambaran mengejutkan terhadap sosok kaum kelas pekerja di sisi Inggris yang lebih suram dan terpolusi (karena asap pabrik). Komedi ini tidak disampaikan secara berlebihan, membuat saya mampu tertawa dengan setitik kesadaran bahwa setiap adegan adalah sesuatu yang tidak aneh jika ditemui di dunia nyata. Tentu saja ada adegan "audisi" khas film-film bertema pertunjukan, tetapi bahkan adegan ikonik seperti itu dilakukan di ruang kosong yang kotor dan berantakan di bangunan bekas pabrik, dengan para peserta yang menyedihkan, dan mereka yang lolos bahkan tidak bisa dibilang "cemerlang" dalam keahliannya. 

Film ini sekilas berfokus pada kultur kelas pekerja di Inggris, kelompok yang kerap diidentikkan dengan maskulinitas tradisional dan nilai-nilai konservatif, di mana laki-laki sejati berarti mereka yang berperan sebagai pencari nafkah utama, mengerjakan "pekerjaan lelaki sejati" yang berhubungan dengan konstruksi, industri, bisnis, dan pembangunan. Akan tetapi, premis unik The Full Monty berhasil menjungkirbalikkan nilai-nilai ini dan bahkan mengajukan pertanyaan nakal: apakah yang menentukan nilai maskulinitas tradisional? Ketika hal-hal seperti usia muda, keharmonisan keluarga, dan kesempatan mencari nafkah tercabut dari seorang pria karena penyebab di luar kendalinya (seperti yang terjadi pada Gaz dan kawan-kawannya), apakah ini berarti pria tersebut tidak lagi bisa dianggap sebagai sosok "maskulin"? 

Ketika Gaz melihat kesempatan bisnis dari pertunjukan tari erotis pria (sesuatu yang biasanya tidak diidentikkan dengan nilai maskulinitas tradisional), dia berusaha mengambil kendali atas hidupnya serta menyangkal prasangka orang-orang di sekitarnya (termasuk mantan istrinya) tentang pemahamannya akan tanggung jawab. Akan tetapi, proses tersebut juga tidak mudah: teman-teman Gaz yang terbiasa dengan nilai-nilai maskulinitas tradisional terlihat kikuk ketika menyadari mereka harus membuka pakaian dan menari di hadapan penonton wanita, yang pasti akan bersorak-sorai saat menyaksikan mereka, sama seperti ketika penonton pria bersorak-sorai jika melihat penari erotis wanita. Akan tetapi, mereka menyadari mereka harus melakukannya jika ingin meraih kembali kepercayaan dan keyakinan diri yang sempat runtuh ketika kehidupan yang mereka kenal hancur berantakan.

Dalam dunia tari erotis, istilah "the full monty" merujuk pada saat ketika para penari benar-benar membuka pakaian hingga helai terakhir, dan tampil telanjang bulat di hadapan penonton. Dengan menunjukkan keberanian untuk memamerkan kerapuhan di balik upaya mempertahankan topeng maskulinitas tradisional, para pria ini justru perlahan belajar menemukan kembali apa makna "menjadi pria sejati" dalam cara yang sama sekali tak terduga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gimana pendapat Anda?